Entah berapa lama Alam menghujam wajah Bram dengan kedua tinjunya. Sebab itu pula, Resha, Praka, dan Diaz memisahkannya.
Moniq dan Moriz melihat adegan itu tanpa ekspresi. Mereka berdua sudah terbiasa, semenjak kejadian para mayat datang bangkit kembali.
Memar tak karuan dengan darah keluar di semua bagian wajahnya. Bram tak mampu bangkit, tatapannya ke atas melihat langit dengan badan telentang pasrah. Sebelumnya ia tak pernah sampai begini, tak pernah terlihat lemah pada orang-orangnya.
"Maaf, aku hilang kendali."
Resha merasa kasihan terhadap orang bernama Bram. Entah kenapa ia tak lagi merasa kesal.
Praka lantas mendekati Bram. Membantunya untuk duduk dan tak tahu apa yang akan ia lakukan, tak ada obat atau air untuk membersihkan lukanya.
Alam terduduk menyandar pada pohon di dekatnya. Resha mendekatinya, lalu bertanya sembari memperhatikan luka di punggung jari-jari, "Kau juga tak bersama yang lain?"
"Tidak, kecuali Darius. Aku bersama dia sebelum terjebak di pulau ini."
"Darius? Di mana dia sekarang?" tanya Resha penasaran.
"Aku tak tahu, dia lupa ingatan waktu itu dan sama sekali tak mengenaliku," Alam meringis, kedua tangannya gemetar karena luka dari hasil meninju Bram.
Tidak lama, segerombolan orang datang. Mengepung dengan panah dan senjata di tangan mereka.
Praka lantas bangkit tegap dan Resha tak kalah terkejut. Wajah Alam memucat. Sementara dua anak kembar bersembunyi di balik tubuh mereka.
Alam ikut berdiri. Terlihat satu di antara banyaknya orang itu berlari, awalnya ia diwaspadai hingga Alam menjelaskan.
Dia Amara, mendekati Bram dan bertanya apa yang terjadi. Alam terlihat menyesal dan meminta maaf.
"Simpan maafmu, bantu aku membawanya kembali. Ajak teman-teman mereka juga."
Alam termangun, Amara tak marah. Ia lantas membantu memapah Bram.
"Lam, mau ke mana?" tanya Praka.
"Ikut saja, mereka orang baik." jawab Alam. Ia dan Amara lantas terlebih dulu berjalan.
Orang-orang yang membawa senjata juga mengikutinya. Resha dan Praka serta dua anak kembar lantas juga ikut dengan mereka, tak punya pilihan. Begitu pula Diaz.
****
Beberapa menit mereka sampai, di tanah yang atasnya terbangun layaknya perkemahan, tak hanya satu, tetapi belasan. Tempat di mana Alam di selamatkan oleh Amara.
Bram terlihat duduk di bawah pohon dekat dengan tenda kayu miliknya. Wajahnya sudah diobati tadi oleh Amara. Ia diam membaca sebuah buku entah berisi apa.
Hubungannya dengan Alam dan teman-temannya pun renggang. Mereka tak saling sapa.
Resha menatap Bram dari kejauhan, di dekatnya ada Alam serta Praka dan dua anak kembar Moriz Moniq, serta Diaz.
"Aku tahu perbuatannya tak dapat dimaafkan," Amara datang sembari membawa makanan dalam wadah mangkok kelapa dan nampan yang terbuat dari bambu. Ia kemudian duduk di dekat Resha, lalu melanjutkan ucapannya, "Dia tak mudah percaya akan orang asing, apalagi dari seberang jurang mayat itu."
Resha memilih diam tak berkata, dalam hatinya ada dua pilihan yang saling bertolak belakang. Mungkin, ia hanya perlu mendengarkan cerita Amara sekarang ini.
Mereka semua berada di depan meja dari papan dan bambu. Hampir semuanya terbuat dari alam. Meja ini tak hanya satu, tetapi ada beberapa yang tertata rapi, penuh akan orang-orang.
Sepertinya mereka telah berada di sini begitu lama, karena ada meja yang telah rusak dimakan usia. Amara membagikan apa yang ia bawa, makanan dari jamur dengan kuah sederhana.
Entahlah, sepertinya mereka punya perkebunan. Itu terasa ketika Praka memakan terlebih dulu sayurnya dan terasa rasa pedas dibumbunya.
"Aku Amara," tukasnya sembari menyodorkan tangan kanan, menyalami Resha yang langsung menyambutnya.
"Resha," senyum mengembang di wajah Resha saat menjawab. Ia lantas memperkenalkan yang lain,"Ah, ini Praka, anggota TNI."
"Itu dulu, sekarang sepertinya tak usah menyebutkannya," jawab Praka, tawa kecil mengiringinya. Amara menyambutnya juga dengan senyuman.
"Ah, ini teman yang berjasa dulu, Diaz." Resha memperkenalkannya, Diaz tersenyum saja tanpa berkata apapun.
"Dan ini, dua anak imut ini," Resha mempersilakan dua anak kembar berkenalan.
"Aku Moniq," ia tersenyum sembari menyolek Moriz yang mulutnya penuh akan sayur tadi.
"Ah," jawab Moriz," Aku Moriz dan inj makanannya enak."
Mereka tertawa bersama. Sementara Resha hanya sesaat saja, tiba-tiba teringat akan Rikaz. Tidak lama tatapannya tertuju pada pria bersama Bram.
"Mara, dia membaca apa?" tanya Resha. Amara juga menatap Bram dan menggeleng.
"Brama, dia menemukan buku itu di pulau ini. Entahlah apa itu, tapi aku sempat membacanya sekilas, seperti buku panduan," Amara menatap Resha, "maaf atas perbuatannya, maaf atas semuanya, ya?"
Resha mengangguk, senyum terukir, walau hatinya masih enggan memberinya maaf.
"Dia pemimpin kami, dia memang tak banyak bicara, tegas dan sikapnya kali ini agak berubah," ucap Amara sembari menyeruput kopi miliknya.
Kedua wanita itu masih menatap Bram atau Brama. Sampai pria berusia hampir tiga puluh tahun itu berdiri, entah apa yang dilakukan.
"Kenapa dia?" tanya Resha, curiga.
Belum sempat Amara menjawabnya. Alam malah bertanya hal yang sama kepada Praka.
Praka juga berdiri. Keningnya berkerut, mendengarkan sesuatu, hingga suara itu terdengar oleh semua.
Angin bertiup lumayan kencang. Suara baling-baling terdengar jelas, menerbangkan daun-daun kering ke tanah.
Mata semua orang menatap benda itu. Helikopter berasap di bagian atasnya terbang melintas, tak seimbang dan sedikit menjauh dari posisi mereka.
Ledakan keras menyayat telinga. Hingga sunyi kembali, lantas asap hitam membumbung tinggi.
Brama dan Praka telah berlari, bersamaan dengan berhentinya suara ledakan. Mereka berdua tak membawa senjata, hanya berupa pisau saja.
Alam mengikuti. Amara menghentikan Resha yang mau ikut dan hanya beberapa orang saja untuk memeriksanya.
"Itu helikopter yang biasa lewat di atas sini dan setahuku, Alam juga dijatuhkan dari heli itu," ujar Amara.
Resha hanya menurut. Ia juga harus menjaga dua anak kembar karena hanya kenal dengan dirinya.
Diaz yang sebelumnya tak diizinkan oleh Amara juga lantas berlari. Hingga mereka bersama memeriksa, entah siapa dan bahaya atau tidak.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
OutbreaK II : Madness
Science FictionAkibat Praka dan Darius menghubungi orang asing lewat radio, kapal mereka mendapat serangan. Satu hal yang mereka tahu, ini adalah hal yang sangat buruk. Mereka terdampar di sebuah pulau dekat dengan selat Singapura setelah kapal yang ditumpangi itu...