"Kau mengenalnya?" Aogan dengan napas tersengal mencoba bertanya, dua luka di dua kakinya ia tahan.
"Ya."
Hanya kata itu yang muncul dari Sophie. Ia kaget dan juga lupa pada luka di kedua kaki Aogan, walau kenyataanya tak apa, hanya peluru menyerempet dan kini telah diperban. Ia berusaha berdiri dibantu Sophie dan Dokter Edwin.
Aogan bisa saja melawan tadi saat dirinya harus memperban lukanya sendiri. Namun, tidak, ia masih ingin bernapas, melawan berarti merelakan peluru bersarang di kepalanya.
Sophie masih menatap tak percaya, ternyata, sahabatnya masih hidup setelah penyerangan kapal di selat Singapura. Namun, saat ia mendekat dan melihat lebih jelas.
Rikaz tak mungkin setua ini. Bahkan wajahnya ada kerutan, jelas bukan dia. Brewok itu juga, ada ubannya.
Dugaan itu juga diperkuat oleh perkataan orang gondrong di depannya. Ia dengan tegas berkata, "Aku sama sekali tak mengenal kalian."
"Tapi, wajahmu, kau mirip sekali dengan Rikaz, siapa kau?"
"Mirip siapa kau bilang tadi?" orang yang kemungkinan berjarak dua puluh atau dua puluh lima tahun dari Rikaz itu dengan pelan melangkah maju, wajahnya sangat haus akan jawaban dari Sophie.
Sophie dan Aogan sedikit mundur. Orang itu sadar jika menakuti, ia melempar jauh pistolnya sampai masuk ke kolong meja. Juga mengangkat tangan sebagai tanda tidak akan menyakiti.
"Rikaz, teman kami mirip denganmu."
Rikaz? Nama itu? Apakah mungkin?
"Jangan mendekat lagi, tuan, kau menakutkan," ujar Aogan sembari meringis sakit saat orang itu masih berusaha mendekat dan saat ini pun berhenti, dengan kata maaf yang keluar.
"Selama ini, tak ada yang pernah ke sini, sudah bertahun-tahun lamanya." Orang itu menjelaskan sembari menunduk, lalu tegap kembali dan bertanya lagi. "Rikaz, dia punya ibu? Siapa namanya?"
"Ya, tentu, aku pernah bertemu di Tallessa, dulu."
Aogan berusaha duduk di kursi, meringis sesekali. Darahnya pun terlihat masih merembes di kain putih yang membalut kakinya itu.
"Namanya?"
Sophie tak tahu kenapa orang di depannya terus bertanya, tetapi ia memikirkannya lagi karena wajahnya sangat mirip dengan Rikaz. Mengingat nama ibu sahabatnya itu.
"Aku lupa," Sophie terlihat menyesal, lalu penasaran dengan pertanyaan sedari tadi yang dilayangkan, "Aku tak mengerti, siapa kau, tuan? Kau tiba-tiba saja menyerang kaki dan menembak kaki Aogan."
Orang itu diam dan beberapa saat kembali bertanya, "Adik, Rikaz itu punya adik?"
Sophie menggeleng. Ia merasa kesal, tetapi tak bisa juga menahan rasa penasaran, "Seingatku, dia punya."
"Siapa namanya?"
Sophie kembali mengingat. Ia harus menggali memori setahun lebih itu karena sudah tertumpuk masalah lain yang begitu banyaknya.
"Wi ..., Wi, Ah! Aku lupa namanya."
"Winny?!"
"Ah, iya, namanya Winny." Sophie terlihat senang karena berhasil mengingatnya, tetapi ia kembali penasaran, "Bagaimana kau tahu?"
Saat pertanyaan itu melayang, air mata tumpah tak tertahankan. Pria yang terlihat tangguh itu menangis, membuat semuanya bingung.
Ada apa?
"Kau kenapa, tuan? Kenapa kau menangis seperti itu?" Sophie mendekati, tak tega dan mencoba menenangkan. Ada apa dengan orang ini?
"Rikaz," orang itu mulai berbicara. "Dia, Winny, keduanya adalah anakku."
Sophie terkejut. Tak heran jika wajahnya sangat mirip, tetapi ada yang aneh, sesuatu yang mengganjal.
Rikaz pernah berkata, jika dirinya lahir tanpa ayah. Alias orang tua laki-lakinya itu pergi pas ia masih dalam kandungan, jika begitu, bagaimana ia bisa punya anak bernama Winny yang seorang adik kandung Rikaz?
Seolah membaca pikiran Sophie, ayah Rikaz itu kembali berkata, menjelaskan, "Aku hanya bajingan, aku meninggalkan istriku saat ia mengandung."
Aogan berusaha menahan sakit dikakinya. Ia juga tetap sabar mendengarkan, tak mungkin juga merusak suasana, ia orang yang memiliki perasaan walau terkadang kasar.
"Pasti kalian bertanya-tanya, bagaimana seorang Winny? Siapa ayahnya, kan?"
"Aku tak bermaksud--"
Ayah Rikaz memotong, "Winny anak kandungku dengan wanita lain."
Di sini, Sophie sudah berpikir memang jelas pria di depannya ini seorang bajingan. Namun, ia masih ingin mendengarkan apa cerita selanjutnya.
"Aku pergi jauh dari rumah saat itu dengan meninggalkan uang sepuluh juta di dalam lemari." Ayah Rikaz mengusap air matanya. "Dan di luar sana aku menikahi perempuan lain."
Saat ini Sophie sangat ingin membentak atau bahkan memukul isi otak dari pria di depannya. Ia muak, tetapi lagi-lagi rasa penasaran masih menumpuk dalam hatinya.
"Aku memang bajingan, aku mengakui itu. Istri baruku meninggal saat melahirkan, sementara dia sudah tak memiliki orang tua, aku bingung dan saat malam hari, aku bawa bayi itu dan meletakkannya di depan rumah ibu Rikaz dengan sobekan kertas berisi nama 'Winny'"
Kembali, Ayah Rikaz menahan sedih. Wajah bersihnya kini penuh air mata. Sophie masih jengkel, tetapi di satu sisi merasa kasihan, entah kenapa.
"Lalu, bagaimana kau bisa berakhir di sini?" Aogan angkat bicara. Ia juga diliputi rasa penasaran.
"Setelah itu, aku selalu mencopet, merampok dan akhirnya tertangkap dan dimassa warga, setelah hukuman berlangsung beberapa tahun, aku dipindahkan dengan mata tertutup, kaki teringat dan mulut tersumpal kain, tak bisa melakukan apapun."
"Kau dipindahkan ke sini?" Dokter Edwin juga bertanya.
Ayah Rikaz mengangguk, lalu kembali bercerita, "Awalnya aku senang berada di sini karena makanan tersedia banyak, air bersih juga, tetapi entah kenapa setelah mengetahui kebenarannya, aku ingin kembali, tapi sekali lagi, aku takut dengan para zombie itu, terlebih aku dijanjikan akan aman di sini sampai hari itu tiba."
Zombie? Hari itu tiba? Apa yang dimaksud orang ini?
*****
Hai, apa kabar? Semoga semuanya baik dan diberi kesehatan untuk melakukan kegiatan rutin tiap harinya, ya ^^ tapi jangan lupa beristirahat juga ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
OutbreaK II : Madness
Science FictionAkibat Praka dan Darius menghubungi orang asing lewat radio, kapal mereka mendapat serangan. Satu hal yang mereka tahu, ini adalah hal yang sangat buruk. Mereka terdampar di sebuah pulau dekat dengan selat Singapura setelah kapal yang ditumpangi itu...