31 - Rikaz? ""

533 90 14
                                    

"Sudah aku bilang, harus memutar jika ingin ke sana." jelas Moriz.

"Tapi, lebih baik jangan ke sana, Kak," anjur Moniq.

"Kenapa? Ada sesuatu di seberang?" Rikaz curiga. Ia meringis sesaat karena beberapa luka di tubuhnya belum sembuh total.

"Bukan, bukan sesuatu." terang Praka sembari memandang hutan di seberang lubang mayat hidup. Ia melihat ada pergerakan tepat di sana.

"Lari, Kak!" teriak Moriz, tangan kanannya memegang lengan Moniq. Mereka berdua berlari entah dari apa.

Rikaz ikut melihat sesuatu itu. Tidak terlalu jelas. Ia mendekati Praka dan berdiri di depannya. "Mayat hidup?"

Praka yang ditanya hanya mengerutkan dahi. Sedangkan Diaz dan Resha mengejar dua anak kembar tadi.

"Lebih baik kita kembali dulu." ajak Praka, ia berbalik badan dan berjalan beberapa langkah, lalu berhenti saat mendengar suara tolong dengan sedikit teriakan. Ia berbalik badan.

Rikaz tersungkur, perutnya tertusuk anak panah kayu. Lebih buruk lagi ia kini bergelantungan di bibir lubang. Mayat hidup perusaha meraih kakinya.

Praka memegang erat lengan Rikaz dan berusaha menolong serta menenangkan. "Pegang tanganku! Kau akan baik-baik saja, oke ..."

Rintihan Rikaz bertambah keras. Anak panah yang tembus dari pinggang ke perut itu mempersulitnya. Ia menatap Praka, serasa sulit untuk berucap. Kakinya kini tercengkeram oleh satu tangan mayat, kulitnya tergolek, lukanya membesar seiring bertambah kuatnya cengkeraman.

"To-tolong .... Sampaikan ke Re-resha," rintih Rikaz, mulutnya mengeluarkan darah dan terbatuk sesekali. "aku menyuk--"

Satu anak panah melesat dan mengenai leher Rikaz hingga tembus ke depan sebelum ia melanjutkan kata-katanya. Praka tidak tahu siapa yang ada di sana, ia tak punya pilihan selain melepaskan tubuh Rikaz hingga terjatuh di antara mayat hidup yang langsung menyantapnya tanpa menunggu lagi.

Praka berdiri. Ia menelan ludahnya sendiri, melangkah mundur dan masih menatap pergerakan di hutan di seberang. Beberapa saat muncul sosok dengan jubah hitam berkerudung hoodie, tinggi besar dan berjalan menunduk mendekati lubang.

Praka waspada. Pria di seberang sana kini berhenti berjalan, ia mendongak dan tatapan tajam seketika terpancar, tertuju pada Praka.

"Ini wilayah kami! Dan kalian tidak boleh menyeberangi! Tadi adalah peringatan!"

Praka berdiam diri. Ia berusaha mencerna kata-kata orang di sana itu. Tetap belum paham. "Apa salah kami! Kenapa kau menyerang kami di saat seperti ini! Apa yang salah dengan kami, hah!"

Pria di seberang diam. Resha dan Diaz datang dan ingin bertanya sebelum Praka menyuruh keduanya diam.

"Apa salah kalian? Jangan pura-pura lupa! Jangan pura-pura bodoh!"

Diaz berbisik. "Siapa dia?"

Praka tak menjawab. Resha sedari tadi mencari Rikaz, tetapi tetap tak menemukannya. Saat ini ia belum menyadari.

"Kalian lihat mayat-mayat ini?!" Pria itu semakin mendekat dan berdiri tepat di bibir lubang. "Sembilan puluh persen! Sembilan puluh persen dari mereka adalah orang-orangku! Dan kalian yang melakukan ini pada mereka!"

Praka sangat terkejut. Ia tak tahu harus berkata apa. Resha mulai menanyakan di mana keberadaan Rikaz, begitu pula Diaz bertanya hal yang sama.

"Hah! Kalian baru ingat!?" Pria itu berbalik badan, dan menengok ke arah lubang berkumpulnya para mayat. "Kematian satu orangmu tadi bukanlah apa-apa dibandingkan saat kalian dengan tega menjadikan kami sebagai bahan percobaan!"

Kata terakhir orang itu membuat Resha berpikiran buruk. Ia merasa jika kata mati tadi ditujukan untuk salah satu dari mereka. "Praka .... Siapa satu orang yang mati itu?"

"Kurasa, kita harus kembali dan bertanya sama Moriz dan Moniq." Praka tak menjawab pertanyaan Resha.

Tamparan keras lantas Resha layangkan dan itu membuat Praka menghentikan langkahnya untuk pergi. Keduanya saling tatap, Resha telah berlinangan air mata dan Praka kini merasa harus berkata.

Pria tadi telah pergi. Diaz menatap diam mayat yang seolah mengerubungi sesuatu.

"Mereka makan apa, Praka?" tanya Diaz dengan nada datar. Ia tidak mengharapkan kata yang keluar adalah Rikaz.

"Apa yang kalian berdua pikirkan itu benar. Itu dia." Praka tak sanggup menatap Resha yang kini sangat terlihat shock. Namun, ia melanjutkan kata-katanya. "Itu dia Resh. Dia Rikaz ..., Rikaz yang selama ini, menyukaimu."

Resha tak tahu harus melakukan apa. Ia hanya dapat meluapkan rasa sedih yang teramat sangat dengan tangisan sejadi-jadinya.

*****

TBC ....

OutbreaK II : MadnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang