76 - Menunggu

523 68 17
                                    

"Maaf, tak ada yang dapat kita lakukan."

Ucapan itu membuat semuanya terdiam. Suasana begitu hening, tak ada yang dapat menebak hal ini. Semuanya sudah berjalan, bahkan berlari entah sampai di mana dan yang didapatkan hanya omong kosong. Omong kosong yang didapat dari orang yang  mulai mereka percayai karena masih mau menunggu.

"Apa maksudmu, hah?!" Brama hilang kendali, tetapi Darius menghalanginya agar tak melakukan tindakan kekerasan. Belum, belum saatnya Praka harus mati.

Darius pun mempersilakan Praka, "Kumohon jelaskan, Praka ...."

"Tak ada, kita hanya bisa pasrah. Di sini, di tempat kita berdiri."

"Pasrah kau bilang? Jadi, untuk apa kami mengikutimu?" tanya Sophie yang mulai angkat bicara.

"Setidaknya kita berada di posisi paling ujung dari tempat ini. Aku berharap ledakan itu tak berdampak pada daerah yang kita pijak ini," Praka memegang pintu besar di belakangnya, "Ini sudah tak bisa digunakan."

Diaz pun mulai berbicara, "Kita keluar saja lewat lubang saat kita masuk ke tempat ini, kenapa malah ke sini?"

"Justru itu, tempat itu jelas sudah tak bisa digunakan, banyak pergerakan dan pergeseran dalam bangunan ini dan itu membuatnya tertutup rapat." Praka berbicara sambil duduk bersandar pada pintu besi di belakangnya.

Praka menunduk. Namun, itu cuma sesaat sebelum Sophie bangkit mendekati, mencengkeram kerah baju Praka. Hantaman keras ia lancarkan hingga dua kali beruntun.

Namun, Praka tetap Diam. Ia hanya menahan bibir pecahnya yang mengeluarkan cairan merah.

Tak ada pula yang menghalangi seorang Sophie sampai ia juga menyerah. Percuma memukuli Praka, sudah terlambat.

Sekali lagi, sudah terlambat.

Telinga mereka mendengar suara nyaring. Pertanda 10 detik terakhir.

Pada detik kesembilan, semuanya menatap lorong panjang yang entah akan ada apa di sana. Cuma Praka yang masih menunduk.

"Apa kita akan mati?" Diaz memegang kepalanya, meremas rambutnya yang sudah memanjang dan menutupi dahinya.

DELAPAN ....

Brama mulai ikut duduk, menyelonjorkan kedua kakinya. Sesekali menatap pintu besi besar di belakang Praka. Tak ada, tak mungkin bisa dibuka.

TUJUH ....

"Kak, Rifal laper," Rifal memegangi perutnya.

Resha berusaha tersenyum, menatap Rifal, lalu mengucapkan, "Tahan, ya, setelah ini kita tidak akan merasa lapar, merasa sakit."

ENAM ....

"Emang, setelah ini kita mau ke mana?" tanya Rifal. Ada sebuah harapan di raut wajahnya.

Semua diam. Resha mengelus rambut Rifal secara lembut. Ia menarik napas panjang, tak tahu harus berkata apa lagi. Karena tujuan mereka tinggal beberapa detik lagi ....

LIMA ....

"Kita akan mati, kan?" Moriz memperjelas. Mata semuanya tertuju pada anak ini.

Moniq langsung menyenggol lengan Moriz untuk memperingatkan. Itu adalah kata-kata yang seharusnya tak diucapkan, jujur memang, tapi kejujuran juga harus diucapkan dalam kondisi yang tepat.

EMPAT ....

Secara tiba-tiba udara menjadi lebih panas. Keringat mulai menetes satu-persatu.

Praka memejamkan mata, menunduk pasrah dan lebih pasrah lagi.

TIGA ....

Praka membuka matanya, membalikkan badan. Tidak hanya dia, tetapi juga yang lain pun merasakan.

Getaran terasa, sedikit mengguncang lorong. Decitan pintu besi itu terdengar.

Semuanya berdiri. Menatap pintu besi, berharap ada seseorang yang keluar dan memberi bantuan.

Benar, pintu itu terbuka ke atas dan berhenti setengahnya saja.

DUA ....

"Masuklah, cepat!!!"

*****

OutbreaK II : MadnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang