Tiga ruang, penuh akan mereka yang akan menyerang tanpa ragu. Menggigit, lalu memakan dan di saat yang sama pula mereka menyebarkan, menukarkan virus itu.
Sebenarnya ada pilihan untuk hal ini, Darius tak mau keluar dari ruangan itu. Ia sudah lelah, bahkan melangkah saja sudah hilang semangatnya. Namun, demi sebuah kebenaran maka ia memantapkan diri. Kini, tas yang tidak terlalu besar sudah dibawanya setelah di isi oleh beberapa botol air mineral untuk bekal.
"Kubilang, lebih baik kau di sini," ucap Darius, sembari melirik ke kanannya, yaitu Sophie.
"Tidak, kau tahu kalau berdua lebih baik. Lagipula, kita tidak mau berlama-lama di sana, kan?"
Awalnya Sophie tidak diperbolehkan oleh Darius untuk mengikutinya. Darius tahu jika hal ini penting, bahkan berbahaya.
Tiga lokasi, arah barat, timur, dan selatan. Hanya Utara yang tidak tergambar atau tersebut dalam peta. Berdua mereka akan ke sana, barang-barang penting telah dibawa beserta tekad untuk mengetahui siapa sebenarnya Praka dan benda apa yang akan ditunjukkannya.
Pak Winar mengernyit. Ya, dia menyangka tetap akan diikat begitu saja dan ditinggalkan. Namun, Darius segera membuka ikatan di lengan dan kakinya.
"Kau serius?"
"Kami bukan pembunuh." Darius melangkah agak jauh, mengambil tas, lalu meletakkannya di depan Pak Winar. "Kau ikut, bawa itu."
Pak Winar menunduk untuk mengambilnya. Tas yang cukup berat, ketika dibuka, isinya hanya berupa air mineral dalam botol terkenal di Indonesia.
"Lebih baik aku di sini, kan?" Pak Winar terlihat enggan.
"Kau bawa tas itu! Sophie akan dan aku akan mengawasimu dari dekat!" Darius tahu, beberapa pintu yang mengurung monster itu dapat dibuka lewat ruang ini. Jadi, jalan satu-satunya adalah dengan membawa si Pak Winar ikut. Selain itu, mereka berdua, terutama Sophie tak perlu membawa tas berisi air minum.
Persediaan air minum di dalam ruang ini memang cukup banyak. Sebab itulah mereka membawa dalam tas hingga penuh, berjaga-jaga jikalau tidak dapat kembali ke ruangan ini.
Darius ingat, sebelum masuk ke ruangan ini. Saat masih di luar, ia seperti melewati sebuah labirin. Sebuah lorong yang pintunya dapat berubah setiap waktu, membingungkan. Sebab itu, ia memerintahkan Pak Winar mematikan fungsi itu dan benar, memang bisa dimatikan.
Entah apa yang dipencet Pak Winar, sebuah kombinasi huruf dan angka layaknya kata sandi dan tulisan off dengan warna merah pun tercetak.
Sophie memanggil Darius, mereka sedikit menjauh dari Pak Winar. Sebuah pembicaraan kecil, tetapi membuka pikiran Darius.
"Bagaimana kita tahu kalau Pak Winar tidak menjebak kita?" Begitulah kira-kira bisikkan yang dilontarkan Sophie.
"Benar, kau memang benar. Namun, jika itu terjadi." Darius mengambil pistol yang terpasang di pinggangnya, ia memeriksa sisa peluru, lalu memandang Sophie, "Aku yakin, ia juga takut akan kematian. Jangan biarkan dia melangkah jauh dari jangkauan kita, dan biarkan dia yang terlebih dulu masuk ke ruangan yang tidak ketahui. Jika memang benar jebakan, ia sendiri yang akan tertelan."
Sophie hanya bisa mengiakan, terlebih lagi memang itu cukup memberi napas lega.
"Pak! Sekarang buka pintu ini!" Darius berteriak walau jaraknya sama sekali tidak jauh, hanya satu ruangan.
Pintu beton bergerak. Darius sudah mempersilakan Pak Winar berdiri di depan mereka dan menyuruhnya keluar lebih dulu.
Tidak, sewaktu pintu terbuka tidak ada apapun di sana. Namun, terdengar suara erangan yang tidak asing.
KAMU SEDANG MEMBACA
OutbreaK II : Madness
Ficção CientíficaAkibat Praka dan Darius menghubungi orang asing lewat radio, kapal mereka mendapat serangan. Satu hal yang mereka tahu, ini adalah hal yang sangat buruk. Mereka terdampar di sebuah pulau dekat dengan selat Singapura setelah kapal yang ditumpangi itu...