33 - Mencintaimu Dalam Diam

83K 4.4K 63
                                    


"Apakah Bapak sibuk?"

Arvino menoleh kearah pintu, Kumala berdiri menatap Arvino dan memasuki ruangannya. "Aku sedang sibuk. Lebih baik kamu pergi saja dari sini."

Kumala mendecak sebal. "Kenapa akhir-akhir ini Bapak menolak saya? Apakah Bapak sudah mulai bosan dengan saya? Sudah hampir setahun. Saya butuh kepastian."

Kumala mendekati Arvino. Bahkan dengan berani hendak mengulurkan tangannya untuk membelai rahang dan pipi pria itu namun dengan cepat Arvino menepisnya.

"Singkirkan tanganmu dan jangan pernah menyentuhku lagi!"

Kumala menatap Arvino sinis. "Ternyata benar. Bapak sudah bosan dengan saya.". Kumala merasa tidak terima, ia tidak pantang menyerah dan seraya berbisik.

"Biasanya Bapak tidak pernah mengindari saya. Kenapa? Apa karena gadis sialan itu yang sudah memuaskan Bapak?" Tanpa diduga, Kumala lebih memberanikan diri dari sebelumya. Ia hendak mendekatkan wajahnya untuk mencium wajah Arvino.

"Itu tidak benar! Menjauhlah-" Brak! 

Aiza menjatuhkan skripinya begitu saja di lantai kelas dan membulatkan kedua matanya tidak percaya. Ia terkejut. Hatinya sesak, bahkan air matanya kembali meluruh tak di inginkan. Aiza tak mampu berkata.

🖤🖤🖤🖤

Arvino menatap lokasi hunian kost yang menjadi tempat Aiza selama tiga tahun ini. Dari jarak beberapa meter, Arvino menunggu kedatangan Aiza sejak satu jam yang lalu.

Ia butuh menjelaskan semuanya pada Aiza. Semua ini adalah kesalahpahaman. Kedatangan Kumala tadi siang adalah hal yang tidak terduga terjadi mengingat wanita itu memang tidak pernah menghubunginya lagi semenjak Arvino memberikan ponselnya pada perampok beberapa Minggu yang lalu. Bahkan ia pun rela mengganti nomor ponselnya dengan nomor baru. Arvino bertekad untuk tidak menghubungi wanita-wanita itu lagi.

Arvino melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah satu jam ia berada didalam mobil. Menunggu dan menunggu Aiza. Mencoba untuk menelpon? Sepertinya mustahil. Aiza pasti tidak akan mengangkat panggilan darinya.

Untuk mempersingkat waktu, Arvino memilih opsi kedua dan mengemudikan mobilnya menuju minimarkert tempat gadis itu bekerja dan berharap bila gadis itu masih ada disana meskipun jam tutup minimarkert tersebut sudah berkahir satu jam yang lalu. Sebisa mungkin, Arvino berusaha untuk bersikap tenang dan berpikir positif jika malam ini Aiza sedang lembur.

Sesampainya disana, Arvino bertemu dengan Shin yang bersiap-siap untuk pulang.

"Shin!"

Shin menoleh. "Kak Arvin?"

"Sejak tadi saya hubungin kamu. Cuma mau tanya Aiza ada atau tidak?Apa kamu tidak tau?"

"Maaf kak tadi saya sibuk bikin laporan keuangan buat ibu." ucap Shin. "Dan Aiza..."

"Katakan dimana Aiza? Hari ini dia masuk kerjakan?"

Shin menatap Arvino yang terlihat cemas. Ia sudah tau jika pria itu menyukai Aiza meskipun awalnya ia sempat menaruh hati pada Arvino. Mengetahui fakta jika pria itu menyukai teman kerjanya sendiri membuat Shin memilih mengalah dan tidak ingin mendekati Arvino lagi.

"Dimana Aiza.. aku, aku ingin bertemu dengannya." lirih Arvino.

Shin menghela napas dan menatap Arvino dengan serius. "Dia sudah resign kak."

"Apa? Resign?! Sejak kapan?"

"Tadi sore. Dia... menitipkan ini ke saya buat kakak."

Shin mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya kemudian menyerahkan sebuah amplop coklat pada Arvino. Arvino menerimanya yang ternyata berisi beberapa lembar uang seratus ribu.

"Aiza minta tolong sama saya buat nyerahin ini ke kak Arvino. Itu saja. Tidak ada yang lain."

Tanpa Arvino tanya lebih lanjut, ia sudah paham jika gadis itu ternyata menitipkan sejumlah uang pada Shin. Tentu saja semua itu adalah sisa hutang Aiza padanya yang ntah tersisa berapa. Arvino tidak pernah menghitungnya.

"Baiklah terima kasih. Aku harus segera pergi dari sini."

🖤🖤🖤🖤

Keesokan harinya.

Reva menunggu seseorang disebuah taman yang lokasinya tidak jauh dari kostnya. Ia menunggu kedatangan Arvino ketika pria itu meminta bertemu dengannya.

Sebuah mobil terparkir di pinggiran taman lima belas menit kemudian. Arvino keluar dari mobilnya dan berjalan cepat kearah Reva yang sedang duduk dibangku taman. Arvino sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Reva sejak semalam hanya untuk meminta informasi tentang Aiza secara langsung.

Oh astaga ini sungguh menyiksa bagi Arvino. Ia nyaris gila ketika semalaman ia tidak bisa menghubungi Reva ketika wanita itu memberi alasan bahwa ia sengaja mematikan ponselnya agar bisa fokus dalam menyelesaikan skripsinya.

"Langsung saja ke intinya."

Reva menoleh kebelakang. Ia terkejut jika Arvino sudah tiba bahkan tanpa basa-basi.

Reva menghela napasnya. Ia mencoba memaklumi kekhawatiran Arvino yang sepertinya benar-benar mencintai Aiza. Tidak seperti adiknya, si kutu buku yang menyukai wanita lain ketimbang dirinya. Siapa lagi kalau bukan Fikri.

"Aiza sudah pindah."

"Apa?" Arvino terkejut. Ia tidak salah dengarkan? "Sejak kapan? Kamu tidak bohongin saya kan?"

Reva memaksakan senyumnya. "Untuk apa saya membohongi bapak? Bohongin diri sendiri saja rasanya saya tidak suka. Tidak enak. Apalagi orang lain?"

Arvino menundukan wajahnya. Ia mengusap wajahnya dengan kasar. Raut wajahnya terlihat lelah karena semalaman suntuk ia tidak bisa tidur.

"Aiza sudah pindah kemarin sore. Tanpa pamit sama sekali dengan saya dan saya baru tau dia pindah itu tadi malam. Lampu kostnya gelap. Tidak menyala. Bahkan tadi pagi ibu kost bilang sama saya kalau Aiza sudah mengemas semua baju-bajunya kedalam koper kemudian menuju terminal bus untuk ke Balikpapan."

"Kamu tau rumahnya dimana? Saya-"
Arvino terlihat lelah. Dengan terpaksa ia memilih duduk di bangku taman tersebut. "Saya ingin mendatanginya secara langsung. Saya ingin minta maaf sama dia. Saya sudah salah sama dia. Saya bodoh. Tidak semestinya saya menyerah. Aiza memang menolak saya. Tapi saya tidak ingin menyerah. Saya ingin memperjuangkan dia sampai dia benar-benar lelah dan menerima saya. Saya ingin meruntuhkan pertahanan dirinya yang begitu takut dengan ancaman wanita lain diluar sana sampai dia yakin kalau saya bisa jaga dia. Sampai dia tidak pernah meragukan saya lagi. Dia-"

Arvino kembali berdiri. Ia terlihat gelisah. Ia terlihat gundah. Hatinya sesak. Ia kepikiran Aiza. Cinta memang buta. Tapi Arvino tidak peduli, dia yang mencintai Aiza, Bukan orang lain meskipun Alex berusaha mendekati gadis itu. Ia tidak akan berhenti. Tidak bisa. Nama Aiza sudah terukir dihatinya.

"Lebih baik bapak datangin dia. Alamatnya di Balikpapan. Butuh waktu kurang lebih dua jam dari sini."

"Saya tidak perduli!" Arvino menatap Reva dengan serius. "Saya harus kesana sekarang juga. Ini masih pagi. Terima kasih atas semua bantuanmu Reva."

Reva hanya mengangguk dan menatap kepergian Arvino saat itu juga. Ia memaksakan senyumnya dan berkata lirih.

"Kamu sangat beruntung Aiza. Aku harap kamu segera menerima pria sebaik Pak Arvino. Seperti aku, Ketika aku mencoba ikhlas menerima kenyataan bila Fikri akan menikah dengan Devika."

Bersambung.

🖤🖤🖤🖤

Mencintaimu Dalam DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang