《20》 King of My Heart (B)

2.5K 496 164
                                    

"'Cause all the boys and their expensive cars
Their Range Rovers and their Jaguars
Never took me quite where you do,

And all at once, you are the one I have been waiting for"—T. Swift, King of My Heart

𝕽𝖊𝖕𝖚𝖙𝖆𝖙𝖎𝖔𝖓

"Jihoon?"

Jihoon mendongakkan wajahnya dari buah apel yang sedang Ia kupas untuk menatap ke arah Hyungseob yang baru saja memanggilnya. "Ya?"

"Mengapa kau tidak membenciku?"

Jihoon terdiam sejenak mendengar perkataan mantan sahabat—atau bisa dikatakan telah kembali menjadi sahabatnya itu.

Selama 4 tahun Jihoon selalu mengunjungi Hyungseob, bertingkah seolah tak pernah ada yang terjadi di antara mereka—dan hal itu berlaku bagaikan sebuah kesepakatan tidak tertulis di antara mereka.

Hyungseob tidak pernah membahas perihal masa lalu mereka karena Jihoon terlihat menghindari pembahasan itu, sedangkan Jihoon sendiri menghindari pembahasan itu karena tak ingin menyakiti Hyungseob.

Rumit, memang. Tapi mereka berpura-pura tak pernah ada yang terjadi di antara mereka karena ingin menjaga perasaan satu sama lain.

"Mengapa aku harus membencimu?" Jawab Jihoon pada akhirnya, balik bertanya seraya meletakkan piring berisi apel yang telah terpotong di atas meja nakas dan meletakkan pisaunya sejauh mungkin dari jangkauan Hyungseob. Jihoon akan mengembalikannya pada perawat nanti.

Hyungseob sudah sering memikirkan soal ini, tapi— astaga. Apakah Jihoon memang benar seorang manusia?

Pria itu seolah tak memiliki sedikitpun rasa dendam di dalam hatinya atas apa yang telah Hyungseob lakukan padanya, dan Hyungseob benar-benar tak habis pikir.

Apakah Jihoon seorang manusia, atau memang benar pria itu seorang malaikat tanpa sayap?

Jika orang yang hanya mengenal Jihoon melalui media mendengar ini, mungkin mereka akan mengira Hyungseob gila—dan pada dasarnya, Ia memang gila, tetapi Hyungseob tahu betapa murninya hati Jihoon sebenarnya.

Pria itu tumbuh dengan penuh cinta di sekelilingnya, dan itu menjadikannya orang yang baik.

Benar-benar berbeda dengan Hyungseob.

"Jihoon, jangan berpura-pura bodoh" ujar Hyungseob pada akhirnya. Ia tertawa miris, menertawakan dirinya sendiri. "Aku merebut kekasihmu, merusakmu, membuatmu dibenci oleh begitu banyak orang yang percaya bahwa kau orang yang buruk, menyebar entah berapa banyak fitnah tentangmu, dan—" Hyungseob menggantungkan kalimatnya sejenak, sedikit berhati-hati untuk menyinggung masalah ini. "Secara tidak langsung, aku-lah yang memisahkanmu dengan Guanlin, kan? Secara tidak langung, aku membuat putrimu tumbuh tanpa seorang Ayah, dan astaga— Jihoon, I knew how bad it feels like to grow up without your parents. Dan kau masih berani bertanya mengapa kau harus membenciku?"

Jihoon mengulas sebuah senyuman. "Hyungseob, aku tidak sebaik itu" lirihnya. "Aku pernah membencimu. Aku pernah membenci keadaan. Segera setelah aku sampai ke rumahku setelah aku meninggalkan Guanlin, aku menangis sejadi-jadinya. Menangisi semuanya. Menangisi keadaan" lanjutnya. Ia mengulas sebuah senyum miris. "Mengapa aku harus mengenalmu? Apa artinya persahabatan kita dulu bagimu? Apa yang telah aku lakukan sampai kau begitu membenciku? Mengapa aku harus mengenal Woojin? Jika dulu aku menyerahkan Woojin begitu saja padamu, apakah semua ini akan terjadi? Mengapa dulu aku membiarkan diriku terjerumus bahkan semakin dalam dan membiarkan siapapun menyentuhku? Aku menangisi itu semua sampai rasanya air mataku tak bisa keluar lagi"

Reputation // pjh+lglTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang