Ini patah kesekian dan aku hidup tanpa kepastian
***"Lo aneh!"
Cowok berseragam rapi yang baru selesai membaca bait puisi di depannya menoleh. Kernyitan di dahi urung membuat Kana kembali mengulang perkataannya, "Iya, lo aneh. Akhir-akhir ini suka ngintilin gue ngambil karya anak-anak lalu berdiam diri kayak gitu."
"Na," panggil Jenar mengabaikan ucapan cewek itu sebelumnya. Kana hanya berdehem, tangannya sibuk menempelkan kertas pada mading yang dihias dengan menarik.
"Lo masih gak mau ngasih tau siapa yang suka buat puisi ini?" Jenar menunjuk tepat pada puisi yang selama beberapa minggu terakhir menjadi perhatiannya.
Kana terdiam beberapa saat sebelum menjawab, "Ya ampun, Je! Penting banget gitu tau siapa yang nulis? Lagian yah lo harusnya tau alasan dia ngasih nama samaran pasti karena gak mau ada yang ngenalin."
Kana tidak berbohong. Memang itu tujuan Arsa menyembunyikan identitasnya, tak ingin diketahui. Lagipula, ia sudah berjanji tidak akan memberitahu siapa pun.
Jenar terdiam, ada dorongan dalam dirinya untuk melakukan hal lebih setiap selesai membaca bait yang terasa menyayat hati itu. "Gue pingin ketemu sama orangnya."
Ucapan cowok itu membuat Kana hampir tersendak ludahnya sendiri.
"Na." Jenar melambaikan tangan di depan wajah cewek itu. "Lo biasa aja dong responnya. Gue cuma geregetan tiap baca puisinya. Dia tuh, seolah hidup cuma sendirian di dunia ini, padahal gue yakin masih banyak yang peduli sama dia."
Kana mengangguk setuju. Andai saja Arsa mendengarnya langsung, mungkin sepupunya akan syok setengah mati. Entah bisikan darimana, tiba-tiba ide gila melintas di benak Kana. "Mau gue bantu sampain sesuatu sama dia?"
"Katanya tadi lupa yang ngasihin ini siapa. Gimana sih lo?"
Cewek itu gelagapan. "Y-ya maksud gue em nanti kalau gue nagihin karya-karya lagi gue bakal cari dia. Kalau ketemu, langsung deh gue sampein pesan dari lo. Gimana?"
Jenar berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk. Kana tersenyum senang dan menyodorkan selembar sticky note yang senantiasa ia bawa. "Nih, lo tulis aja di sini."
"Gue gak bawa pulpen," ujar Jenar. Dengan sigap Kana menyodorkan perkakas sekolahnya yang ia kalungkan di leher. Cowok itu langsung menuliskan sesuatu di sana.
"Nih!" Jenar menyerahkan kertas tersebut setelah melipatnya. "Jangan dibaca!"
"Iya iya, takut banget sih." Kana mengambil kertas tersebut dari tangan Jenar. Ia sempat berdecak kagum dengan idenya yang ... entah akan berakhir seperti apa nanti.
Semoga gak jadi masalah suatu saat. Harap Kana. Ia hanya merasa apa yang dilakukan adalah hal benar. Sikap bijaksana Jenar membuatnya yakin bahwa cowok itu akan mampu membuat sepupunya bangkit dari keterpurukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARSANDITA ✔
Teen FictionIni hanya tentang Ratu Arsandita yang mengaku salah jatuh cinta. Nyatanya, mencintai seorang Regantara Bima seperti sengaja menjatuhkan diri dari tebing. Bukan sakit lagi karena patah dan hancur saja tak cukup menggambarkan keadaan hatinya. Namun, b...