Ini hanya tentang Ratu Arsandita yang mengaku salah jatuh cinta. Nyatanya, mencintai seorang Regantara Bima seperti sengaja menjatuhkan diri dari tebing. Bukan sakit lagi karena patah dan hancur saja tak cukup menggambarkan keadaan hatinya.
Namun, b...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu yang menghampiri, jadi jangan salahkan jika aku tak akan pergi ***
Arsa mengendarai motornya melewati hiruk pikuk jalanan kota. Ucapan Rijal tadi begitu mengganggunya. Harusnya itu tidak menjadi masalah karena Regan sendiri yang dengan suka rela mendatanginya. Arsa tidak mencurangi Gea, hanya memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya.
Cewek itu terkejut melihat anak kecil berlari ke tengah jalan. Arsa langsung menghentikan motornya, tapi terlambat karena anak itu sudah terjatuh dan menangis dengan darah mengalir di lutut serta lengannya. Teriakan ibu dari anak itu membuatnya tambah syok.
"Neng tanggung jawab, dong! Anak orang nih! Makannya jangan ngebut-ngebut!"
"Ini anak saya gimana? Tanggung jawab dong Mbak!"
"Iya nih, gimana sih Mbaknya? Mau kabur ya?"
Arsa merasakan tubuhnya melemas. Ketakutan menggrogotinya saat orang-orang yang tidak tahu duduk perkaranya langsung menghakimi. Ia berusaha membela diri dengan mengatakan yang sebenarnya, tapi tidak ada yang mau mendengar. Ma, Sasa takut. Rintihnya dalam hati. Selain anak itu, Arsa juga membutuhkan pertolongan.
"Ada apa, Pak?"
Cewek itu menunduk dalam. Mengabaikan suara-suara di sekitarnya. Yang dipikirannya saat ini adalah bagaimana jika terjadi sesuatu pada anak itu? Bagimana juga jika mereka membawanya ke kantor polisi, padahal dirinya tidak sepenuhnya bersalah.
"Dia temen saya," ucapan yang terdengar datar tersebut membuatnya mendongak. Arsa terbelalak mendapati Jenar yang berjalan mendekat. "Mau sampai kapan diem terus?"
Arsa mengernyit, tak mengerti maksud dari perkataan Jenar.
"Tanggung jawab! Bawa anak itu ke rumah sakit!"
"T-tapi, g-gue gak salah. Dia yang tiba-tiba lari ke tengah jalan." Arsa berusaha membela diri, berharap Jenar memahaminya.
Terdengar helaan napas dari cowok itu. "Dan akhirnya dia tetep ketabrak sama motor lo. Mending sekarang lo anterin dia."
Arsa terdiam cukup lama sebelum mengangguk ragu. Ia mendekati motornya dengan tubuh gemetar. Apakah ia bisa sampai rumah sakit dengan keadaannya yang tak memungkinkan untuk menyetir? Sampai kemudian Arsa merasakan seseorang menariknya paksa.
"Naik motor gue!"
"Tap-"
"Biar anak itu dibawa pake motor lo. Kasihin kuncinya!" suruh Jenar membuatnya manut, mengikuti perintah tersebut. Arsa merasa dirinya tak bisa lari lagi. Hanya cowok itu satu-satunya yang ia kenal. Mereka berangkat ke rumah sakit terdekat dalam keadaan saling diam. Turun dari boncengan, Arsa bergegas mendekati ruangan di mana anak itu berteriak kesakitan. Ia menggigit bibir bawahnya menahan sesak di dada. Dirinya baru saja kehilangan seseorang dan apakah sekarang akan membuat orang lain pergi?