Keesokan harinya, aku berjalan keluar rumah menghampiri motor sport berwarna merah untuk pergi ke sekolah. Dari kejauhan, kulihat Citrasena baru saja keluar dari rumahnya dengan beberapa kali merentangkan kedua tangan.
"Nana!" panggilku meneriakkan namanya. Dia menoleh, menatapku dengan cengiran.
"Gimana tadi malam? Berhasil gak?" tanya Citrasena saat gadis itu sudah menghampiriku dengan setengah berlari.
Aku mengedikkan bahu. Lalu menyilangkan kedua tanganku dengan begitu dramatis sambil menggelengkan kepala sebelum berkata, "Gagal total!"
"Loh, kok bisa gagal sih? Padahal nih ya, aku udah bayangin kalo kamu itu jadian sama si Tia." Citrasena melipat kedua tangannya di depan dada seraya memajukan bibirnya. Lucu.
Eh, barusana aku bilang apa? Lucu? Astaghfirullah.
"Dia belum di bolehin pacaran sama orang tuanya. Emangnya kamu gak tahu?" tanyaku, spontan.
"Lah, aku kan gak nanya."
"Kamu itu gimana sih? Katanya mau ngejomblangin aku, tapi kamu sendiri enggak mau nanya buat memperoleh informasi lebih lanjut. Jadinya kan gini, gagal!"
"Ish, kenapa jadi aku yang di salahin? Niatku udah baik loh, mau bantuin kamu. Seharusnya kamu itu berterima kasih, bukannya kayak gini. Dasar cowok!" Citrasena berkacak pinggang di depanku.
"Ya, salah lah. Siapa suruh gak nanya dulu ke Tia? Kalo dia udah pernah pacaran atau belum? Udah di bolehin pacaran atau belum? Udah punya pacar atau enggak?" kataku tak mau kalah.
"Yaudah, aku yang salah. Aku minta maaf," kata Citrasena dengan memasang wajah memelas.
Baru kali ini ada cewek yang mau mengalah. Biasanya kaum seperti mereka ingin menang sendiri. Jarang-jarang ada yang mengalah. Benar gak sih?
"Sebagai permintaan maaf, gimana nanti aku traktir kamu makan di kantin? Mau?" tawar Citrasena mengulurkan salah satu tangannya dengan senyuman yang mengembang.
Aku berpikir sejenak sembari mengetuk-ngetukkan jari telunjuk ke keningku yang mengerut seolah sedang berpikir keras. "Hmm, gimana ya?"
"Ayo lah. Mau lah, mau lah, mau lah." Citrasena menarik-narik lenganku seperti anak kecil yang meminta belas kasihan.
Eh, emang iya sih. Dia lagi minta belas kasihan dariku. Apa? Kalian gak setuju? Emang faktanya begitu, kan?
"Oke lah. Setelah aku pikir-pikir, tawaranmu boleh juga." Aku merangkul Citrasena sembari menyunggingkan senyum. "Kita ini kan sahabatan. Jadi, maukah kamu berangkat ke sekolah bareng pangeran tampan sepertiku?"
Citrasena tertawa, dia mengangguk kecil. Hal itu entah kenapa, membuat hatiku menghangat. Seperti ada kebahagiaan yang pernah hilang, dan kini kembali hadir.
Ah, tidak. Itu mungkin cuman perasaanku saja.
"Yaudah kalo gitu, let's go!"
***
Bersambung,
Sukabumi, 28 Februari 2019.
Enak ya punya sahabat seperti itu? Apa kalian mempunyai sahabat semacam Citrasena atau Sufala?
Salam manis dariku,
Sri Azmi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sufala
Historia CortaBAGIKU MENJADI PRIA TAMPAN ITU MASALAH. Namun, bagi kebanyakan orang di anugerahi wajah yang super tampan itu sangat menguntungkan. Mereka dapat berekspresi apa pun dan di mana pun dengan tanpa harus merasa malu. Kebanyakan kamu hawa di dunia ini pa...