Perutku terasa penas. Aku tiduran di atas kasur. Menguap sedari tadi menahan kantuk. Gara-gara makan samyang, ini perut jadi gak bisa di ajak kompromi. Bolak-balik kamar mandi udah jadi rutinitas khusus di hari ini.
"Kalo perut lagi terasa sakit gitu, aku suka pakai kayu putih." Citrasena masuk ke dalam kamarku yang pintunya terbuka. Aku lupa menutupnya tadi. "Nih, cobain deh. Biar perutnya baikkan."
Kulihat Citrasena duduk di tepi ranjang sembari menyodorkan kayu putih padaku. "Ambil gih, daripada nanti tambah parah."
Aku duduk menghadap padanya, lalu mengambil benda itu sebelum kemudian kugunakan untuk dioleskan ke area perut yang terasa sakit. "Lumayan, jadi sedikit membaik."
Gadis itu tersenyum penuh arti. Aku pun membalas senyumannya. Kami saling tatap-tatapan tanpa kata kayak di film-film gitu loh. Romantis, kan?
Drrrttt!
Suara dering handphone mengejutkan kami berdua. Kulihat Citrasena tengah melotot saat membaca pesan masuk ke ponselnya. Setelahnya dia menepuk jidat seolah melupakan sesuatu.
"Ngedate-nya, Sufala? Ngedate?" katanya menarik lenganku untuk berdiri, lalu dia berjalan menghampiri lemari, "Malam ini 'kan kamu mau kencan sama Tia. Ingat? Astaghfirullah, kenapa aku bisa sampai lupa?"
Kencan? Bahkan aku sendiri pun sudah tidak mengingatnya lagi.
"Aku rasa kamu cocok pake baju ini, Sufala. Bagus gak?" usul Citrasena sambil menempelkan baju kotak-kotak ke arahku, "Eh.. Tapi, gak cocok deh kayaknya. Gimana kalo yang ini?" Dia mencocokkan baju yang satunya lagi seolah menimbang-nimbang.
"Ah, kayaknya kurang pas," lanjutnya sembari meletakkan baju itu ke tempat semula, "Bentar ya aku cari baju yang cocok buat kamu dulu. Biar malam ini kamu tampil beda."
"Memangnya janjian ketemu jam berapa?" tanyaku dengan menautkan kedua alis saat melihat Citrasena heboh sendiri memilih baju di lemari.
"Jam tujuh," jawabnya singkat.
Aku melirik ke arah jam tangan yang kupakai. Di sana sudah menunjukkan pukul 18:45 WIB. Itu artinya aku cuman punya waktu sekitar 15 menit lagi. Ah, yang benar saja. Aku sendiri pun belum apa-apa.
"Sufala, kenapa masih diam di situ? Sana mandi. Cepetan!" perintah Citrasena setengah teriak, "Ingat, gak pake lama!"
Kenapa dia bawel sekali?
Aku mengangguk. Dengan malas-malasan, aku pergi ke kamar mandi. Membersihkan dan menyegarkan tubuh secepat yang aku bisa.
Setelah selesai mandi, kulihat ada kaos berwarna hitam serta jaket senada di sampingnya. Tak lupa juga celana jeans di sisinya terletak di atas kasur dengan rapi. Aku tersenyum. Citrasena sangat tahu betul warna kesukaanku. Ah, dia begitu membantu.
Tapi ke mana gadis itu? Batang hidungnya sudah tidak terlihat lagi. Aku mengangkat kedua bahuku merasa acuh tak acuh.
Setelah itu aku segera mengenakan baju. Kupakai sedikit parfume, lalu menyisir rambut agar tampak cool. Dan tentunya gak malu-maluin. Kulihat diriku di cermin. Ternyata, aku terlalu tampan.
Tapi kenapa masih jomblo, ya?
Ckrek!
Blitz kamera secara tiba-tiba menyala dari arah samping. Saat itu juga aku menoleh. Kulihat Citrasena tengah tersenyum manis di ambang pintu sembari mengacungkan kedua jempolnya setelah ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku.
"Wish.. Kamu ganteng banget malam ini. Tampil beda, sampai aku pun terasa pangling."
Oh ya? Tapi memang aku ini selalu terlihat tampan di setiap harinya, bukan?
Betul, betul, betul?
***
Bersambung,
Sukabumi, 23 Februari 2019.
Ada yang mau sama Sufala? Kasian, dia jomblo dari lahir. Ups.. Keceplosan!
Maafkan daku, Sufala 🙏
Salam manis dariku,
Sri Azmi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sufala
Короткий рассказBAGIKU MENJADI PRIA TAMPAN ITU MASALAH. Namun, bagi kebanyakan orang di anugerahi wajah yang super tampan itu sangat menguntungkan. Mereka dapat berekspresi apa pun dan di mana pun dengan tanpa harus merasa malu. Kebanyakan kamu hawa di dunia ini pa...