23. Sebuah Pertemuan.

24 7 0
                                    

Aku mengedarkan pandangan ke segala arah. Mencari gadis yang mengaku bernama Putri di media sosial yang baru saja mengirim pesan bahwa dia sudah sampai ke sini. Tak lama dari itu, aku pun melihat seorang perempuan yang sedang celingukan seolah kebingungan. Ciri-cirinya sama persis seperti yang Putri sebutkan tadi di chat facebook.

Badanku melemas saat melihat kelakuannya seperti laki-laki. Biar kutebak, dia itu tomboi, berkulit hitam, suka ngupil, dan satu lagi wajahnya yang----mohon maaf ya---jelek. Jangan protes, aku hanya berkata jujur apa adanya.

Dia mengenakan baju kotak-kotak berwarna hitam putih. Dengan topi di kepalanya dan celana yang robek terletak tepat di lututnya. Bisa di katakan seperti seorang preman di jalanan.

Ternyata foto profilnya yang ada di facebook sama wujud aslinya di real life itu beda jauh. Bagaikan air dan minyak. Tidak menyatu. Oke, lupakan. Pasti gak nyambung.

Lalu apa yang mesti aku lakukan saat ini?

Kabur? Tidak. Itu tidak sopan. Dan bukan pilihan yang tepat.

Pergi? Tidak. Itu sangat mencerminkan kalau aku tidak menghargainya yang sudah rela datang.

Lalu apa? Pingsan? Tidak. Hal itu sangat memalukan. Lagi pula ini bukan sinetron yang dramanya terkadang suka berlebihan.

Lantas apa yang akan kamu lakukan, Sufala?

Aku akan menghampirinya, dan mengajaknya berbicara walau sebentar saja. Bodo amat perihal nasihat dari Citrasena, yang terpenting untuk saat ini aku ingin menghargainya yang sudah rela datang demi menemuiku.

Bila sekarang aku pergi meninggalkannya, mungkin saja hatinya bisa terluka. Dan aku tidak ingin hal itu terjadi sebab menyakitkan. Asli.

Aku bangkit dari tempat duduk, lalu menghampirinya yang tampak kebingungan di tengah keramaian pengunjung. Dengan penuh keberanian, aku menyakinkan diri untuk siap siaga terhadap apapun yang akan terjadi.

"Hai," kataku menyapanya ketika sudah sampai di hadapannya dengan senyuman yang terus mengembang, "Putri ya?"

Gadis itu mengangguk. Dia menyipitkan kedua matanya seolah ingin memastikan sesuatu sebelum tersenyum bahagia. "Sufala ya? Yang di facebook itu bukan, sih?" Gadis itu mengangkat telunjuknya ke arahku, lalu memandangiku dari ujung kaki hingga ujung kepala.

Aku tersenyum tipis, kemudian menjawab, "Iya. Ini aku, Sufala." Setelah itu aku mengulurkan tangan, dan dia hanya menatapku kebingungan. "Mau kenalan lagi? Supaya kamu percaya."

Putri malah tertawa memandangku. "Gak usah. Aku percaya kok." Lalu dia mengupil sebelum membersihkan sisa upilannya ke baju yang ia kenakan tanpa ragu.

Satu kata buat Putri dari kalian. Ya, bisa di bilang pandangan kalian terhadap dia bagaimana?

Jangan sampai di hina loh. Kasian anak orang. So, jangan menilai setiap manusia dari luar, tapi lihat juga dari dalam.

Siapa tahu hatinya baik, bukan?

"Kalau gitu kita duduk yuk, Put? Di sana. Biar enak kita ngobrolnya," ajakku padanya sembari jariku menunjuk ke sebuah meja dan kursi yang ada di sebelah kanan paling pojok.

"Oh iya. Boleh." Putri tersenyum canggung. Dia lebih dulu berjalan meninggalkanku di belakangnya. See? Cara berjalannya pun sudah seperti laki-laki pada umumnya.

Aku heran, emaknya ngidam apa saat ia masih dalam kandungan?

"Jadi, kamu ke sini naik angkot atau motor? Soalnya cepet banget kamu sampai ke tempat ini," tanyaku penasaran, sekaligus basa-basi. Kini kami berdua sudah duduk dan saling berhadapan seperti pengujung lainnya.

"Aku jalan kaki. Rumahku lumayan dekat dari sini. Oh ya, kamu mau mampir?" tawarnya ramah sebelum mengupil lagi seperti tadi. Sebenarnya aku enek melihatnya, tapi aku tahan demi menjaga image.

Bukan apa-apa sih, tapi itu upilnya kelihatan gede banget.

Jadi, boleh tidak kalau aku bilang gadis ini jorok?

"Gak usah. Lain kali aja ya." Aku menjawabnya dengan sopan diiringi senyuman. "Oh ya, boleh tahu tidak kamu ini karakternya seperti apa? Aku lihat, maaf nih sebelumnya, kamu semacam gadis tomboi bila dilihat dari tampilanmu sekarang ini." Aku memandanginya dari atas sampai bawah.

"Kenapa? Aneh ya?" Putri tertawa cukup keras, membuat semua pengunjung yang ada di sini menoleh pada kami. Dan aku pun langsung meminta maaf dengan suara pelan kepada mereka ketika sadar ditatap mengerikan. Lalu aku kembali melihat Putri yang tampak sudah siap bercerita.

"Aku tuh hobi banget berkelahi. Apa lagi pukulin orang sampai babak belur. Terus kalau aku marah, rasanya pengen makan kepala manusia sampai lembek. Dan aku paling benci sama pria yang sukanya nyakitin hati wanita. Rasanya itu jadi pengen ngebuat mereka pincang aja sebelum aku antar ke surga." Putri bercerita penuh semangat tanpa melihatku yang sudah berkeringat dingin mendengarkannya berbicara semacam itu.

"Terus kalau ada pria yang suka PHP-in perempuan, aku lebih ke ingin memotong tangannya hingga dia meraung kesakitan biar ngerasain sakitnya di kasih harapan palsu itu kayak gimana. Jadi, ya seperti itulah karakterku," lanjutnya menatapku yang sudah tidak mengerti lagi tentang jalan pikiran Putri saat ini, "Untungnya kamu baik, jadi aku juga bakalan baik padamu. Tapi kalau kamu sama seperti pria yang kusebut tadi, maka aku akan----"

Suara ponsel berdering. Membuatku langsung mengalihkan pandangan, dan mengangkat telepon itu dengan mengucapkan syukur berulang kali. Akhirnya bisa bernapas lega juga.

"Iya, Ma, ada apa? Apa, Ma?! Kapan, Ma? Nanti Sufala ke sana. Ini lagi ketemu sama temen. Apa, Ma, mesti sekarang? Penting? Oh. Oke. Oke. Sufala segera pergi ke sana. Udah dulu ya, Ma. Assalamualaikum."

Setelah itu aku bangkit dari duduk, lalu menatap Putri yang tengah kebingungan memandangku penuh tanya.

"Maaf ya, Putri. Aku gak bisa lama-lama di sini. Mama tadi telepon aku, katanya ada urusan keluarga. Penting banget. Jadi, gak papa, kan, jika aku pulang duluan? Mungkin lain kali kita bisa berjumpa lagi," kataku menjelaskan mesti dalam hati aku berkata 'Ini bohong, tidak benar' semua ini aku lakukan agar umurku masih panjang dan nyawaku terselamatkan.

"Oh ya. Gak papa. Hati-hati." Putri menjawab dengan tatapan yang sulit kuartikan. Biarlah. Yang jelas aku ingin pergi, jauh darinya.

Aku mengangguk. Setelah itu aku segera bergegas pergi menaiki kendaraan beroda dua yang terparkir di halaman dekat cafe shop yang baru saja kutempati. Kemudian aku melajukannya dengan kecepatan di atas rata-rata. Sungguh, perkataan Putri barusan berhasil membuat jantungku berdegup kencang.

Perempuan macam apa dia ini? Psikopat? Preman? Pembunuh?

Dan kemungkinan selanjutnya, gagal dalam menjalin asmara dengan seseorang itu karena....

Si calon gebetan karakternya tidak cocok dengan kita.

"Aku masih hidup, kan, ya? Gila aja bila tokoh utamanya mati dengan tidak terhormat. Kalau kata Bang Rhoma Irama nih ya, sungguh terlalu!"

***

Bersambung,

Sukabumi, 16 April 2019.

Besok itu mesti memilih capres dan cawapres ya? Jadi, bijaklah dalam memilih. Yeay! Jangan golput.

Yaudah sih, ngingetin doang. Wkwk

Salam manis dariku,

Sri Azmi.

SufalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang