Aku mundur beberapa langkah, tapi Alien itu malah terus saja mendekatiku. Kuhela napas perlahan, mencoba untuk menenangkan diri. Kulihat kembali Alien itu dengan terperangah kala dia melepaskan kedua mentimun yang tertempel di matanya begitu cepat.
"Gak usah lebay deh, Sufala. Ini aku, Citrasena," katanya menjelaskan sebelum menarik lenganku untuk masuk ke dalam kamar gadis itu dengan pintu terbuka. Ya, biar tidak terjadi fitnah.
Karena fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan.
"Kamu kenapa teriak histeris gitu tadi, hah?!" tanya Citrasena seakan menginterogasiku.
"Ya, aku kaget lah. Ngapain coba kamu pake begituan? Kayak Alien hijau lumut. Mengerikan!" jawabku santai setelah duduk di tempat tidurnya yang empuk.
"Apa kamu bilang? Alien?!" Citrasena memandangku dengan ekspresi yang tampak kesal. "Ini tuh aku pake masker, Sufala. Masker. Ingat ya sekali lagi, ini tuh masker." Dia menunjuk-nunjuk wajahnya sampai beberapa kali.
"Ngapain sih pake begituan segala?" tanyaku lagi yang masih tidak mengerti.
Mengapa tingkah laku perempuan itu selalu unik? Dan terkadang tidak masuk akal bagi laki-laki pada umumnya.
Misalnya saja ketika sedang mengandung. Dulu saat aku masih berusia 12 tahun, tetanggaku waktu itu meminta sesuatu pada suaminya yang berhasil membuatku terperangah dengan mulut menganga.
Coba tebak apa yang di inginkan oleh istrinya itu?
Dia minta supaya kepala suaminya itu di botakin sampai mengkilat. Lalu di suruh berkumpul bersama para suami yang botak lainnya untuk datang ke rumah pasutri itu. Katanya mau mengadakan acara syukuran karena anaknya sebentar lagi akan lahir. Namun, yang menghadirinya itu di khususkan bagi para suami yang tidak memiliki rambut, alias botak.
Dan aku balik lagi ke rumah. Tidak jadi ikut acara yang menurutku aneh tersebut. Karena secara tidak langsung yang menghadirinya itu semacam tuyul semua. Maksudnya bentuk rambutnya seperti tuyul. Jadi, jangan salah paham. Oke?
"Ini tuh masker kecantikan. Jadi fungsinya sudah jelas untuk merawat kulit, terutama wajah. Biar lebih bersih, halus, dan juga kencang." Citrasena masih saja berdiri di hadapanku dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada.
"Ribet banget sih jadi cewek! Meski pakai itu lah, ini lah. Sekalian aja semuanya tempelin di muka." Aku menatap Citrasena, sudah siap untuk beradu mulut.
"Karena kebutuhan perempuan itu banyak, Sufala. Tidak seperti laki-laki yang cukup tampil sederhana. Misalnya semacam ketemuan dengan lawan jenis. Pasti kamu itu cukup mandi, mengganti pakaian, nyisir rambut, pake parfume, dan udah selesai. Sementara perempuan itu beda lagi, Sufala!" Citrasena berkacak pinggang sambil menjelaskan secara panjang lebar. "Mereka itu cenderung memerhatikan penampilan. Seperti dandan biar terlihat cantik, dan pastinya tidak malu-maluin. Terus kadang kala aku sebagai perempuan aja suka bingung mau pakai baju apa buat ketemuan biar tampil beda dan menawan. Namun, terkadang usaha kami itu tidak di hargai oleh kalian. Malah dikatakan dandannya lama lah, ini lah, itu lah. Emang kamu pikir kita dandan itu untuk siapa? Ya, pastinya untuk kalian para pria. Jadi, tolong hargai lah usaha kami para perempuan untuk membahagiakan kalian. Sekalipun dalam hal kecil, tapi itu sangat berarti bagi kami."
Aku melongo saat mendengarkan Citrasena berbicara seperti itu. Bukan apa-apa, tapi panjang sekali kayak cerita novel. Baru kali ini juga aku melihat gadis itu berkata panjang kali lebar saat menjelaskan. Sungguh hebat, bukan?
"Satu lagi, tadi saat aku nelepon kamu, kenapa kamu memanggilku dengan sebutan Mama, hah?! Emangnya kamu pikir aku ini Mamamu apa?!" tanya Citrasena yang menatapku tajam. Setajam pisau. Mengerikan.
"Oh itu. Aku sengaja bilang begitu biar hidupku bisa terselamatkan." Aku bangkit, lalu memeluk Citrasena saking senangnya. "Terima kasih, Nana. Karenamu, aku masih ada di dunia." Namun, gadis itu tidak menjawab. Dia malah membeku di tempat.
Keheningan seakan menerpa kami berdua. Merasa canggung dengan hal ini, aku pun segera melepaskan pelukanku dari Citrasena dengan cengiran sambil menggaruk tengkukku yang tidak gatal.
"Maaf, Nana, tadi gak sengaja," kataku saat sadar dengan apa yang barusan kulakukan, "Saking senengnya, aku jadi refleks seperti itu. Maaf ya. Sumpah, gak sengaja!" Aku mengangkat tinggi-tinggi jari tengah dan telunjukku dengan perasaan bersalah.
Citrasena masih terdiam. Dia menatapku dengan tidak berkedip maupun bergerak sedikitpun. Semacam patung barbie di toko baju.
Apakah gadis itu mati?
Tak lama kemudian, terdengar suara gelak tawa yang berasal dari Citrasena. Dia begitu mengejutkanku atas tingkah lakunya itu.
Sebenarnya ada apa dengan Citrasena?
"Gak papa kali. Santai aja," jawab Citrasena kembali ramah, "Aku mau cuci muka dulu. Setelah itu kamu harus berutang budi padaku."
"Berutang budi apaan?"
"Kamu harus menceritakan semuanya padaku tentang pertemuanmu dengan gadis yang kamu kenal di medsos itu."
"Kenapa harus kuceritakan semuanya padamu?"
"Karena aku sudah menyelamatkan hidupmu. Ingat?"
"Sip. Sip. Oke."
Setelah itu Citrasena pergi meninggalkanku. Katanya sih dia mau cuci muka dulu. Dan aku memilih untuk tiduran saja di kasurnya sambil melihat langit-langit kamar Citrasena dengan pikiran yang menerawang ke mana-mana.
"Kenapa perjalanan kisah cintaku begitu rumit seperti ini, ya Rabb?"
***
Bersambung,
Sukabumi, 19 April 2019.
Bagaimana dengan chapter ini menurut kalian?
Vote + komen dari kalian selalu kutunggu ya.
Oh ya, jangan lupa bila kalian suka sama cerita ini, kalian juga harus kasih tahu ke teman-teman kalian biar mereka juga baca.
Salam manis,
Sri Azmi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sufala
KurzgeschichtenBAGIKU MENJADI PRIA TAMPAN ITU MASALAH. Namun, bagi kebanyakan orang di anugerahi wajah yang super tampan itu sangat menguntungkan. Mereka dapat berekspresi apa pun dan di mana pun dengan tanpa harus merasa malu. Kebanyakan kamu hawa di dunia ini pa...