14. Sepopuler itukah?

34 6 0
                                    

"Sufala, aku heran deh," kata Citrasena saat kami sedang duduk di kantin sembari menikmati makanan yang tadi kami pesan dengan lahapnya.

"Heran kenapa?" tanyaku tak mengerti.

"Kamu itu ganteng, tapi masih aja sampai sekarang belum ada cewek yang deketin kamu. Apalagi buat pacaran. Namun, Sekalinya ada, kamunya malah gak mau," jelas Citrasena yang sedang mengisap minuman jus jeruknya.

"Mungkin saking tampannya, sampai-sampai kemarin ada yang bilang aku ini kayak barbie. Kan kampret!" jawabku menggelengkan kepala, "Jadinya ya gini, jomblo karatan. Nasib. Nasib."

Citrasena tertawa, lalu dia menatapku dengan intens. Kemudian gadis itu tertawa lagi. Emangnya ada yang lucu?

"Makanya jadi cowok jangan terlalu tampan, jadinya deh di sangka perempuan." Citrasena memasukkan satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya sebelum kembali menatapku . "Kalo dilihat-lihat, emang cantik sih."

Aku melotot saat mendengar perkataannya yang terakhir. Itu sungguh menohok. Sahabat macam apa dia? Yang mengatai sahabat prianya seperti perempuan. Ah, aku tahu, mungkin otaknya lagi konslet.

"Aku cuman bercanda, jangan di anggap serius," katanya yang langsung mengangkat jari tengah dan telunjuknya dengan cengiran.

Namun, aku tidak menghiraukannya lagi. Mataku sedang terfokus pada sesosok gadis yang baru saja duduk di bangku yang kutempati. Siswi itu tersenyum, dan aku pun membalasnya.

"Bolehkah saya ikut duduk di sini?" tanya gadis itu saat sudah menyimpan makanannya di atas meja, "Soalnya bangku yang lain udah penuh."

"Boleh Kak, silakan aja." Citrasena menyunggingkan senyum. "Ini sama Kak Shila ya? Yang juara satu olimpiade matematika itu. Aku kagum sama kakak, pengen deh kayak gitu juga."

Kak Shila? Dia siapa? Aku baru melihat sosoknya. Gadis itu tampak anggun, dan ramah. Cantik? Jangan di tanya lagi.

Kalau gak percaya, lihat saja sendiri.

"Iya. Hehe." Kulihat gadis yang bernama Shila itu tersenyum canggung. Dia duduk di sebelah Citrasena. "Aku yakin kok, kamu juga pasti bisa kayak aku asal mau berusaha aja, dan di barengi dengan niat yang kuat."

Sementara aku sedang berpura-pura sibuk melahap makanan yang ada di depanku sembari menyimak pembicaraan dari keduanya.

"Itu pasti, Kak. Doain aja ya." Citrasena kemudian menatapku, lalu kembali menghadap Shila. "Oh ya, kenalin Kak. Ini namanya Sufala, dia sahabatku."

Kulihat Shila mengulurkan tangannya sebagai bentuk perkenalan yang akan terjadi di antara aku dan dia. "Namaku Shila. Kelas XII IPA-1."

Aku terdiam sejenak memandang tangannya, terakhir kali aku berjabat tangan dengan Septia kala itu. Ya, walau mungkin hasilnya tidak sesuai dengan yang di harapkan.

"Sufala. Kelas XI IPA-3." Aku menerima uluran tangannya dengan tersenyum semanis mungkin.

"Oh, adik kelasku dong ya." Shila melepas uluran tangannya dari genggamanku. "Aku dengar, kamu Sufala yang jomblo dari lahir itu ya? Kalo gak salah sih, soalnya banyak yang ngomongin. Maaf ya."

Apa sampai sepopuler itukah status jombloku ini?

"Dan aku dengar juga, kamu selalu ditolak sama para gadis yang kamu gebet ya? Itu gosipnya benar gak sih? Maaf ya kalo udah lancang nanya gitu."

Dan saat ini juga aku ingin mati saja.

"Padahal kamu ini tampan loh, tapi kenapa pada menolak buat pacaran sama kamu ya? Apa jangan-jangan karena wajahmu ini yang terlalu tampan sehingga cantik kayak perempuan? Jadinya, gadis-gadis itu gak mau tersaingi."

Oh, Tuhan, haruskah aku menyalahkan wajah tampanku ini karena status kejombloan yang menimpaku?

***

Bersambung,

Sukabumi, 01 Maret 2019.

Pernahkah kalian di ledek sebagai seorang jomblo oleh teman-teman?

Salam manis dariku,

Sri Azmi.

SufalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang