29. Surat Kapal Kertas.

19 2 0
                                    

Aku memandang langit dari rumah pohon yang berada di belakang rumahku dengan perasaan tak karuan. Setelah tadi mendengar kabar dari Adi, aku langsung pulang. Alhasil di sinilah aku berada. Merenungi sesuatu yang dapat menyakiti hati. Dan memikirkan sesuatu yang terus mengusik pikiran, juga mengundang kegelisahan. Ah, ini sungguh membingungkan.

Apa kalian juga pernah merasakan?

"Sufala, kamu masih ingat sama Manda gak? Dia bakalan pindah ke Kanada. Besok merupakan hari terakhirnya di sekolah. Katanya sih mau pamit gitu sama kita-kita."

Perkataan Adi saat itu masih saja terngiang di telingaku dengan cukup jelas. Kuhela napas secara perlahan untuk menenangkan diri. Apa mencintai harus sesakit ini?

"SUFALA!"

Suara teriakan itu mengagetkanku hingga diri ini tersadar dari lamunan. Lalu kulihat ke bawah dari jendela rumah pohon yang terbuka untuk memastikan bahwa tadi yang memanggil namaku itu benar manusia, bukan makhluk jadi-jadian seperti di film horor. Menyeramkan.

Tidak. Aku bukan pria penakut, tapi aku belum siap saja jika harus bertemu mereka saat ini karena kondisi hatiku sedang buruk. Mungkin bila di hari-hari biasa aku akan mengajak para hantu itu untuk berjoget ria bersama sambil menyanyikan lagu Bang Jali di jalan raya.

Aku menyipitkan kedua mata saat orang yang tadi memanggilku tengah menaiki tangga kayu secara perlahan. Tak lama dari itu, dia sudah sampai di tempatku berada seraya tersenyum manis dan tanpa dipinta gadis itu langsung menyalakan lampu yang sedari tadi sengaja kumatikan.

"Kenapa lampunya dinyalakan, hmm?! Aku tuh sengaja mematikannya agar---" ucapanku terpotong begitu melihatnya kembali menghampiriku yang masih berada di dekat jendela sembari membawa sebuah buku dan pulpen. Setelahnya aku mengernyit, tak mengerti. "Ah, sudahlah!"

"Agar kamu bisa menikmati kesedihan tanpa gangguan gitu?!" Citrasena memasang wajah garang bak singa yang siap menyerang mangsa. Aku bergidik ngeri melihatnya. "Sepertinya bukan ini sosok Sufala yang aku kenal. Dulu, dia pria yang kuat, ceria, dan pantang menyerah. Namun, apa yang aku lihat sekarang? Malah sebaliknya! Ingat Sufala, perpisahan itu pasti akan ada di setiap pertemuan. Dan hal itu sudah menjadi hukum alam. Pasti terjadi."

"Bagaimana kamu bisa tahu?" tanyaku bingung. Pasalnya aku belum bercerita apapun pada gadis ini.

"Seisi sekolah juga tahu kalau Manda akan pindah sekolah besok."

"Kenapa kamu tidak memberitahuku?!"

"Update dong, Sufala! Update! Di group kelas juga banyak yang ngebahas hal ini. Kemarin juga di sekolah banyak yang ngomongin. Masa kamu sendiri ketinggalan informasi sih, Sufala?!"

Ini anak minta di kasih asupan bon cabe apa ya mulutnya? Pedas benar.

"Emangnya aku ini tukang gosip apa?!" kataku yang kurang setuju di bilang tidak update, "Dasar perempuan!"

"Tanpa perempuan, kamu tidak akan pernah lahir ke dunia." Gadis itu tersenyum simpul. Dia menatapku dengan satu alis terangkat.

"Tanpa pria, perempuan tidak mungkin hamil dan melahirkan!" balasku tak mau kalah dengan tangan yang kulipat di depan dada.

"Kata siapa?! Pada zaman dulu ada ya yang kayak gitu. Contohnya kisah Siti Maryam."

Baiklah. Perempuan tidak mungkin salah. Mereka selalu benar dan pintar dalam membolak-balikkan fakta. Mengalah saja, mengalah.

"Kamu kenapa ada di sini?" tanyaku mengalihkan pembicaraan, "seharusnya kamu itu tidur di rumah. Ini sudah malam," lanjutku sembari menatapnya bingung.

"Sebagai sahabat yang baik, aku ingin memastikan bahwa kamu fine-fine aja." Citrasena kemudian memandang ke arah langit yang di penuhi bintang. "Kamu tahu? Aku suka bintang dan selalu menaruh harapan di atas sana sambil memejamkan mata ketika rasa sedih menghampiri." Gadis itu melirikku sebelum menarik lenganku untuk lebih dekat dengannya. "Kita coba bareng-bareng yuk? Tutup mata, lalu berdoa dan luapkan segala harapanmu di dalam hati."  Kemudian dia memejamkan mata sambil menyunggingkan senyum. "Satu, dua, tiga. Mulai!"

Mau tak mau, aku pun menurutinya. Memejamkan mata, berdoa, dan meluapkan segala harapan di hati. Tanpa sadar bibirku ikut tersenyum. Ternyata cara ini menyenangkan. Tidak terlalu buruk untuk dilakukan. Sesudahnya aku membuka mata, lalu melihat Citrasena yang masih terpejam. Entah harapan apa yang gadis itu ucapkan, dia tampak khusyuk berdoa. Dan tanpa sepengetahuannya, aku memotret wajah gadis itu dari samping dengan terkikih geli. Setelahnya aku kembali memejamkan mata agar Citrasena tidak curiga.

Maksudku biar dia tidak kepedean. Gila aja kalau nanti gadis itu jadi salah tingkah. Siapa yang mau tanggung jawab?

"Sufala," panggil Citrasena yang rupanya sudah selesai berdoa.

Aku melirik padanya dengan dua alis yang saling bertautan sebelum menjawab, "Apa?" kulihat gadis itu sedang merobek dua kertas di buku yang tadi dia bawa dalam genggamannya.

"Ini buatmu." Citrasena memberiku selembar kertas putih berserta pulpennya. Tanpa berpikir lama, aku langsung mengambil barang itu dari tangannya dengan satu alis terangkat---tak mengerti.

"Apaan nih?" tanyaku bingung sembari membolak-balikkan kertas putih itu di depannya. "Isinya kosong."

"Ya iyalah kosong 'kan belum di apa-apain!" jawabnya sewot dengan nada tinggi yang langsung membuatku mengelus dada berulangkali sambil menenangkan diri di dalam hati.

Astagfirullah. Sabar. Sabar. Sabar.

"Jadi di kertas ini kita akan tulis sebuah surat yang mewakili isi hati, seperti harapan atau impian besar yang ingin kita capai di masa depan nanti." Citrasena menjelaskan dengan penuh semangat. "Contohnya gini, di masa depan aku pengen jadi dokter biar bisa nolongin banyak orang. Nah, aku tulis deh harapanku itu di sini." Dia menunjuk selembar kertas yang di pegangnya. "Terus kalo udah selesai kita lipat kertasnya dan bentuk jadi sebuah kapal. Ouhiya, jangan lupa lubangin sedikit di layar kapalnya biar kita bisa langsung simpan kertas ini di atas sana." Citrasena menunjuk dinding kayu yang ada pakunya sembari menyunggingkan senyum.

"Sepertinya seru!" sahutku penuh semangat.

"Ya iyalah seru," ujarnya percaya diri, "nanti 'kan kita bisa lihat kembali isi kertas ini di masa depan biar kita tahu harapan apa aja yang kita tulis waktu masih sekolah." Citrasena melihatku penuh harap. "jadi gimana? Apa kamu akan menulis sesuatu di kertas ini?"

Aku terdiam. Merenungi semua perkataan Citrasena yang membuatku tertarik. Banyak sekali harapan yang ingin aku wujudkan di masa depan. Menurutku hal ini tidak terlalu buruk untuk dilakukan. Apa salahnya mencoba, bukan?

"Ayo mulai!"

***

Assalamualaikum. Alhamdulillah akhirnya aku update lagi. Siapa di antara kalian yang rindu Sufala - Citrasena? Ayo, ngaku!

Jangan lupa follow ig aku ya, guys!

Ig : Sriazmi06

Salam rindu,

Sri Azmi.

Sukabumi, 06 Mei 2020

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 10, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SufalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang