Jangan pernah ungkapkan cintamu dan jadikanlah ia cinta yang terpendam; karena angin membuai lembut. Dalam kelam, dalam diam ---William Blake
❌❌
Cameron's POV
"Simpan saja kembalian nya," aku tersenyum sambil melangkah dari meja kasir, "Bye."
"Oh, terimakasih. Semoga hari mu baik!" Wanita penjual bunga itu berseru dan melambai pada ku, wajah nya sangat berseri seolah mempengaruhi awal pagi ku.
Rumah Ernest sepi, semua jendela dan tirai juga di tutup. Aku makin tidak yakin untuk menghampiri tapi aku tetap melakukan.
Aku mengetuk pintu dan berseru, "Selamat pagi."
Dan akhirnya seseorang membuka pintu, "Hei, anak muda," dia seorang wanita setengah baya yang wangi pai apel, yang jelas dia bukan ibu Ernest, "Cari siapa?"
"Um, apakah Ernest ada didalam?" aku bertanya, dan wanita itu tertawa sambil menggeleng.
"Dia masih sekolah, ingat?"
Jadi aku pergi ke sekolah nya, aku tau letak sekolah itu, karena tidak jauh dari kampus ku berada. Tapi aku tidak bisa masuk ke selolah Ernest karena pasti mereka tidak mengizinkan tapi aku menungtu diluar.
Kalau aku menelfon dan memintanya keluar yakin deh, dia tidak mau jadi aku memanfaatkan seorang anak laki-laki untuk memanggilkan nya untuk ku dan memberi nya 3 dolar.
Jaman aku sekolah aku akan sangat kesal bila ada yang mengganggu makan siang ku hanya untuk minta maaf, aku beharap Ernest tidak marah.
Ernest akhir nya datang ke halaman depan sekolah nya dengan membawa kantung makanan dan sebotol air. Raut wajahnya bingung dan matanya menyipit karena terik matahari ketika melihat ku, aku melambai sambil tersenyum miring.
Dia duduk di samping ku, menghadap gedung sekolah di depan kami, dibawah pohon yang rindang.
Pertama-tama aku menyapukan tangan ku untuk menghilangkan kotoran di sisi bangku taman yang hendak ia duduki, barulah dia duduk.
"Apa kau senang dapat pengunjung?" Aku bertanya, dia cuma cekikikan pendek diikuti suara berisik kantung bekal yang ia buka.
Dia tidak terlihat marah. Biasa nya gadis-gadis seusia nya bakal cemberut dan menangis marah kalau ada di posisi nya. Lalu berteriak semua laki-laki sama atau apalah. Tapi dia tidak menunjukan bahwa kemarin aku memarahi nya.
Dia melirik tangan ku terpaku, lalu aku menyadari sesuatu sebelum dia tanya apa yang aku bawa, "Oh iya, aku bawa ini untuk mu," aku menyodorkan nya tulip putih yang di bungkus karton coklat padanya, dia terlihat sangat senang melihat itu, "Apa kau senang dapat bunga?"
Dia cekikikan lagi, nampak nya mood nya sedang bagus. "Tentu, aku belum pernah dapat bunga."
Aku penasaran apa dia mengerti makna dari bunga tulip putih atau tidak tapi dia terlihat tidak peduli, malah sibuk menyengir sambil memandangi tulip-tulip di tangan nya.
"Untuk apa bunga ini?" dia bertanya.
"Untuk kau beri air agar mereka tidak mati." balas ku.
Dia tersenyum lagi, "Mereka sangat indah, terimakasih."
Aku tersenyum sangat lega, "Tentu."
"Aku tau ada hal yang membuat mu kemari sampai bawa bunga, apa hal itu?" dia bertanya lagi sembari melahap sepotong pizza tanpa sayuran.
"Tujuan ku sudah kau lakukan sebelum aku berusaha," balas ku, "Membuat mu tersenyum dan mengatakan hal terindah yang akan ku dengar dari mu, ternyata itu 'terimakasih'."
"Wah, puitis sekali." puji nya.
"Awal nya ku kira kau akan datang dengan wajah di tekuk tapi kau tersenyum dan itu sangat.. sangat.. tidak bisa ku percaya. Katakan padaku apa yang terjadi, kau terlihat sangat senang." jelas ku.
Tapi iPhone ku berdering. Setelah aku cek ternyata aku dapat undangan dari Curtis 3 jam lagi.
x
Ernest's POV
Tempat duduk Isha kosong.
Baru saja aku kembali dari ruang biologi, aku berpisah dengan nya karena aku ingin ke toilet dan dia tidak, dia bilang iPhone nya tertinggal di kelas dan itu membuatnya gelisah; takut-takut ada yang mencuri, makanya dia ingin cepat-cepat.
Tapi tempat duduk nya kosong, seharusnya dia sudah kembali lebih dulu dari aku. Jadi aku meletakan kembali buku ku ke dalam tas dan memakainya. Ibu ku tidak bisa menjemput ku, begitu pula ayah atau nenek ku yang menginap dirumah menggantikan ibu. Dan sekarang aku malu berurusan dengan Jack, jadi yang kupunya di sekolah ini hanya Isha.
Gara-gara bertia di tv, anak-anak sekolah ku membuat ku tidak nyaman setiap kali aku berjalan melewati mereka; mereka menunjuk ku, berbisik-bisik, kadang terang-terangan bertanya dengan sopan tapi tetap saja mengganggu.
Sekarang aku berjalan sendiri sambil pura-pura sibuk dengan iPhone ku, tapi akhirnya aku mengirim pesan untuk Isha bertanya dia dimana sebanyak empat kali. Aku mendongak, sialan. Kumpulan anak cowok memenuhi koridor. Hal yang paling aku benci ketika berjalan sendiri adalah cowok-cowok.
Aku menempelkan iPhone ku ke telinga pura-pura menelpon lalu berjalan cepat melewati mereka semua.
Kenapa mereka semua tidak langsung pulang saja sih.
Sekarang, aku tidak tau mau kemana. Aku bingung harus cari dia kemana tapi, seolah tuhan memberi jalan, aku mendengar suara teriak-teriak seorang gadis. Suaranya melengking dan penuh semangat. Aku mendekati sumber suara perlahan. Ternyata sumber itu terletak sangat jauh dari dugaan ku.
Itu adalah dua orang gadis yang berbincang di balik semak di depan lapangan sepak bola sekolah, kedua nya bertubuh kecil. Rambut pirang si gadis tertiup angin dan tubuh nya terdorong nyaris jatuh ketika si rambut coklat mendorong bahu nya kasar.
Isha dan Erena.
Cameron's POV
"Hai nak," sapa Curtis ketika aku keluar dari mobil,"Siap-siap."
"Kau dapat apa?" aku bertanya.
"Aku dapat teman baru untuk mu, dia cantik." Curtis tersenyum.
Aku mengikutinya masuk kembali ke tempat di mana aku di introgasi. Kembali lagi ke ruangan kaca itu. Tapi kini banyak sekali orang; wanita maupun pria. Tangan mereka terborgol ke belakang berbaris menyamping dengan wajah tegas.
Aku melihat Gilinsky, dia melirik lalu kembali menatap kedalam ruangan dari balik jendela kaca. Aku mengikuti arah mata Gilinsky.
Aku menatapi gadis berambut coklat bergelombang, dengan bulu mata yang panjang tapi basah; tebakan ku dia menangis. Entah karena apa, kesal? Malu? Sedih? bersalah? Tapi aku ingat perempuan itu. Pertanyaan terlontar dalam benak ku; Kenapa? Bagaimana bisa? Apa? Untuk apa dia disini?
"Tidak mungkin," kata ku kaget, "Kenapa dia--"
Aku masih memandangi gadis itu dengan mata terbuka lebar dan bibir bergetar. Dia seolah-olah tidak punya kaitanya dengan hal ini. Perempuan ini tidak pernah terpikirkan oleh ku akan berakhir berdiri disana.
Aku menunjuknya perlahan sambil menutup mulut ku dengan tangan satunya. Dan orang-orang langsung membawa nya.[ ]
❌❌❌
IMAGINE CAMERON COME TO UR SCHOOL WITH WHITE TULIP AND BRIGHTEST SMILE ON HIS FACE.Brb dying.
Who the hell is that gurl? You'll find out later in the next chapter. Ily♥
KAMU SEDANG MEMBACA
Opposites 2 [c.d]
FanfictionErnest seharusnya berhutang budi pada Cameron, cowok yang menyelamatkan nya dipantai dan mati-matian melindungi nya. Bukan nya malah pergi dengan senyuman lebar dan meninggalkan Cameron dengan ancaman bahaya teror telfon yang mengubah diri nya sendi...