Selalu cam kan bahwa kau adalah sosok yang unik, sama seperti semua orang lain nya --Margaret Mead
❌❌
Cameron's POV
"Kenapa gadis itu ada disini? Memangnya apa yang dia lakukan?" tanya ku super bingung pada Gilinsky.
"Jelas-jelas yang di lihat Erena Hood adalah seorang perempuan. Saat aku kejar, jejak kakinya berakhir di dalam rumah. Aku percaya dia menghapus jejak nya sendiri dengan jaket yang ia kenakan dan membuang nya ke lantai karena panik. Tapi setelah itu kami tidak menemukan nya. Semua barang bukti sudah ada di tangan kami, untungnya sehelai rambut tertinggal di jaket itu tapi hasil tes belum keluar dari dua hari lalu.
Jadi kami membongkar lagi tempat itu, jejak kaus kaki berdebu menuntun ku kearah pintu di sudut ruangan walau susah melihat jejak yang sangat samar itu. Tapi tebak apa yang ku temukan didalam sana?"
"Apa itu sesuatu yang Curtis katakan padaku tapi merahasiakan nya?" aku berntanya.
"Kali ini aku tidak merahasiakan nya padamu," balasnya, "Kami menemukan mayat yang di awetkan."
"Gi--" kata-kata ku terputus. Rasanya pori-pori ku membesar sehingga keringat mengucur deras di tubuh ku. "Itu gila.."
"Mayat wanita yang wajah nya mirip sekali dengan ibu Ernest. Tambah gila, ya?"
"Tapi siapa wanita malang itu?"
Gilinsky menunduk sembali memainkan kuku-kuku tangan nya, "Ketiadaan Will sebenarnya membuat kasus ini makin sulit."
"Jadi Will merahasiakan sesuatu yang sangat penting." kata ku.
"Sebentar lagi tidak." balasnya.
"Bagaimana dengan Fernando? Bagaimana dengan keluarga ku?" kata ku ketika ingat hal itu begitu penting.
"Masa sih ibu mu belum telfon juga?" mendengar kata itu aku menatapnya dengan mata membulat, "Ulangtahun mu sudah lewat, kan?"
"Apa maksud mu?"
"Setau ku Ibu mu akan mencari rumah baru disini," Kata Gilisnky penuh percaya diri, "Tapi pura-pura saja tidak tau."
Aku tersenyum, sangat senang. Mereka tidak akan lebih jauh lagi dari ku kalau begitu, karena NJ juga sudah sangat kacau. Dan aku dengar bar kami tidak akan tutup. Aku sangat senang, sekaligus lega. Tapi aku langsung ingat Fernando.
"Kau menemukan mayat, kau menemukan gadis teropong, tapi kenapa belum menangkap pelaku pembunuhan Fernando?" tanya ku berusaha menghilangkan senyum di bibir.
Dia menghela nafas panjang, dan berat. "Dia diracun," Aku menaikan alis, lalu dia melanjutkan, "Tebakan mereka, para penyelidik, seseorang yang masuk ke rumah mu meracuni makanan keluarga kalian."
"Tapi Fernando yang kena," tambah ku, "Tunggu dulu-- maksudnya orang ini mau meracuni ibu atau Sierra?!"
"Tenang--" katanya, "Sebentar. Fernando punya luka tusuk di jantung dan kepalanya di bentur papan besi. Terlihat jelas siapa target mereka, bukan?"
"Mereka membunuh Fernando karena akan menyelakai Ibu dan Sierra, Jack." kata ku tidak sabar.
"Tidak, tidak. Bukan begitu. Cam, Fernando tidak ada hubungan nya dengan mu." katanya.
Aku memiringkan kepala tidak percaya.
"Dia punya... Cerita lain," lanjutnya, "Pokoknya tidak ada sangkut paut dengan Will. Hanya ada dendam dari orang lama yang ia kenal."
"Jadi orang itu yang mengacak-acak rumah ku?"
"Maaf ya, aku tidak pernah cerita kalau kasus Ferando sebenarnya sudah di tutup. Ya, dia orang yang menghancurkan rumah mu karena Fernando ternyata pembohong, dia mengatakan pada orang ini kalau itu rumah nya."
"Sinting. Pantas saja orang itu meratakan rumah ku."
Kami terdiam beberapa saat entah apa yang di pikiran Gilinsky. Tapi kami tidak bicara beberapa saat sampai ia menyikut legan ku dan berkata, "Oiya, dari mana kau kenal gadis itu?"
Aku meliriknya, awalnya aku bingung siapa yang ia maksud. Tapi aku akhirnya sadar, "Adik kelas di SMA," jawab ku, "Madison Beer."
Ernest's POV
"Hei, bisa bicara?"
Isha muncul begitu aku menutup loker, wajahnya berseri-seri tapi penuh kebohongan. Aku melirik kanan-kiri entah untuk apa, lalu aku mengikutinya. "Kalau boleh aku juga mau tanya sesuatu." kata ku sembari berjalan cepat.
Isha memutar kepalanya sambil tersenyum dan berkata, "Tentu saja."
Itu bukan senyuman nya, Isha memakai topeng.
"Apa yang kau lakukan kemarin saat makan siang?" dia bertanya.
Pop. Cameron. Dia pasti melihat ku duduk bareng bersama Cameron di halaman depan sekolah. Padahal jarak duduk kami tidak dekat-dekat amat. Tapi tetap saja, kalau Isha yang melihat aku bisa tamat. Sayang sekali, aku tidak pandai berdusta, karena kadang itu di perlukan.
"Dia cuma mau mengobrol masalah peneror telfon." Aku berbohong.
"Lalu kenapa dia bawa bunga tulip?"
Aku berfikir sejenak, apa dia melihat ku membawa tulip atau tidak. "Itu untuk ibu ku."
Isha tersenyum, senyuman yang di tulus-tuluskan dengan paksa karena sedih, aku tau itu. Pasti Jack lagi. Pasti Jack. Aku menggosok-gosok hidung beberapa saat sampai aku ingat kalau itu adalah tanda kalau orang sedang berbohong, aku berhenti.
"Kenapa cowok itu meminta maaf pada ibu mu?" dia bertanya sedangkan aku kebingungan. Lalu ia mendesah, "Kau tidak tau arti bunga tulip putih?"
Aku mengangkat bahu, "Mungkin dia juga tidak tau arti tulip putih?"
Oh, jadi Cameron meminta maaf pada ku? Tebakan ku tentang perkelahian kami di halaman kampus nya waktu itu, karena jujur saja kemarin aku bingung suasana hati Cameron sangat berbeda.
Tapi Isha tau aku berbohong, "Aku rindu kita bertiga."
Aku cuma diam.
"Sudah ku bilang waktu itu. Panjang lebar. Kenapa kau ulangi kesalahan ini lagi?"
Aku mendecak tanpa di sengaja, dan ku akui aku menyesal, "Aku tidak melakukan apa pun, dia yang tiba-tiba seperti itu."
Isha tersenyum, "Pasti ada alasan--"
"Tunggu, bisakah kamu berhenti menyuruhku menjadi seseorang yang sempurna untuk orang lain dengan cara mu?" desak ku.
Isha terdiam kaget dengan senyuman yang makin hilang di bibirnya. Melihat raut wajah itu aku jadi menyesal untuk kedua kali nya karena berkata kasar. Aku tidak bisa lihat Isha menangis sekarang. Dia terlalu baik, tapi kadang menyebalkan.
"Oke, Maaf," katanya, "Tanpa kuberitau seharusnya kau sudah tau, kan bagaimana keadaan Jack kalau di rumah?"
Aku mengangguk. Aku sudah hafal.
"Oke, oke. Aku malas membicarakan ini, aku akui." katanya.
Aku menyimpulkan, bahwa Jack yang menyuruhnya berkata begini pada ku dari cara Isha bicara. Apa benar Jack yang mendesak saudari nya ini? "Apa yang ingin kau bicarakan pada ku?"
"Oh iya," balas ku, "Kemarin kau kenapa dengan si kapten itu?"
Dia tertawa pendek, "Kau melihat ya?"
Aku mengangguk. Isha menyilangkan lengan di dada dan menunduk, biasanya dia ini sedang menahan tangis. Tunggu saja sampai tubuh dan suaranya bergetar.
"Masalah kecil, aku tidak suka padanya." balasnya.
"Hei, ada apa? Harusnya kau cerita padaku."
"Itu loh," katanya sambil menggoyangkan kaki kanan nya, "Sifat 'kapten' nya. Pokoknya saran ku sih jangan terpancing oleh nya."[ ]
❌❌❌
Woaaaaaa udah sampe sinii, lil spoiler kalau seri kedua ini bentar lagi tamaaaatAda yang udah tergambar siapa peneror telfon itu? Kalau ada, i love you so much.
And yepp we hit 6k readers and 300 votes!
yayy thankyou !
KAMU SEDANG MEMBACA
Opposites 2 [c.d]
FanfictionErnest seharusnya berhutang budi pada Cameron, cowok yang menyelamatkan nya dipantai dan mati-matian melindungi nya. Bukan nya malah pergi dengan senyuman lebar dan meninggalkan Cameron dengan ancaman bahaya teror telfon yang mengubah diri nya sendi...