27 - Kita Semua Sekarat

2.8K 346 15
                                    

Bawa aku pergi dari sini, aku sekarat. Mainkan sebuah lagu untuk membebaskanku. Tidak ada yang menulis lagu seperti dahulu. Biar aku saja yang melakukannya ---Belle and Sebastian

Cameron's POV

"Mereka berdua di lukai," aku berbisik, "Kesepakatanya tidak ada polisi, tidak ada hal buruk."

"Gadis itu gila." bisik Matt kesal.

"Kita harus keatas, tanpa ia ketahui." usul Nash.

Matt memutar matanya dan tersenyum memaksa, "Kita tau, Nash."

"itu agak tidak mungkin, Bagaimana caranya?" aku bertanya.

"Gadis itu tidak tau kita disini, sebaiknya cepat telfon polisi." kata Matt tidak sabar.

"Kalau para polisi itu mau menyamar, aku setuju dengan mu. Masalahnya gadis itu pasti bersenjata. Kita juga tidak tau apa teman-teman nya ada di sana atau tidak." kata ku.

Aku melihat kesekitar, menatapi setiap inci bangunan. Bagaimana bisa Isabelle menemukan tempat yang paling bagus untuk persembunyian? Tebakan ku, tempat ini telah di kuasai nya untuk jadi pelampiasan. Tebakan ku.

Terjadi satu teriakan lagi, aku rasa itu Ernest. Jantung ku jadi tidak karuan, rahang ku kaku serta tenggorokan ku jadi super kering. Keringat tidak berhenti menyebrangi wajah ku. Serta bau busuk dari dalam gedung yang tak tertahan kan.

"Itu Ernest," bisik Nash.

"Terimakasih sudah memberi tau." kata ku sinis.

"Dia mau kau," kata Matt. Aku menoleh padanya kaku, "Dia sangat tergila-gila pada mu. Seharusnya Bukan Erena atau Ernest yang kesana, tapi kau."

Aku menyimpulkan bahwa Matt memang tidak ingin gadis favoritnya terluka, dalam segi ini Matt seperti menyalahkan ku tapi dia ada benarnya juga. Kalau sekarang aku keatas untuk menyusul, aku takut kita bertiga habis.

"Kau mau aku keatas sana?" tanya ku berbisik, "Oke, oke. Aku bisa lakukan itu."

Maka aku bangkit, Nash awalnya menarik-narik celana ku untuk kembali tapi aku tetap berjalan ke atas dengan perlahan. Lalu menaiki tangga yang sebentar lagi mungkin roboh.

Di lantai kedua aku tidak menemukan siapapun, dan apapun. Samapai-sampai secara tidak sadar aku berjalan di dinding yang bolong dan seseorang bisa melihat ku, "Siapa disana?!" gadis itu berteriak, aku mematung.

Dia malah tersenyum.

"Korban mu." kata ku sambil berusaha terlihat berani, "Kalau kau butuh aku, maka lepaskan mereka."

Isha tertawa senang, "Aku sangat malu tertangkap basah. Apa aku bicara terlalu keras?"

Dengan berani aku mendekati tangga untuk mencapai lantai ketiga, sambil berjalan aku mendengarkan pembicaraan nya yang megerikan.

"Aku selalu ada untuk mu. Aku mengingat segala hal tentang mu. Lalu kau datang dengan perempuan jelek berambut merah? Dan menulis segala keindahan nya di buku harian mu? Lalu aku ini apa? Dia tidak melakukan apapun terhadap mu, dia mendapat begitu banyak perhatian dari mu. Lalu aku harus jadi apa suapaya kau memperhatikan ku?!"

Aku sampai di lantai ketiga, Ernest dan Erena ada di sana dengan tangan terikat dan berbaring memunggungi ku. "Ernest.." Tidak, kumohon. Kumohon gadis gila ini tidak membunuh mereka. Karena mereka tidak bergerak. Sialan. Mereka tidak bergerak.

Aku berteriak marah, "Apa yang kau lakukan pada--"

"Apa yang kau lakukan pada ku?!" dia memotong dengan teriakan sehingga urat-urat di lehernya tertimbul dan pisau mengacung kearah ku, "Harus kan aku jadi korban ayah ku sendiri demi mendapat perhatian mu?!"

Opposites 2 [c.d]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang