Kalimat classic ini pasti sering kalian dengar, cemburu itu tandanya cinta. Iis kira Kaffi akan seperti itu setelah meluapkan ketidaksukaannya pada Yuris tempo hari, namun hubungan mereka bukannya makin adem malah makin anyep saja.
Contohnya hari ini, Iis sudah setengah mati berkutat di dapur, sembari mengurus cucian yang sudah masuk pengering, belum lagi ia harus bersiap-siap ke sekolah.
Rumah mertuanya memang tidak memiliki asisten rumah tangga, sang ibu mertualah yang biasanya mengurus semuanya. Tentu dibantu Iis saat gadis itu sudah jadi menantu.
Kalau sedang malas, kadang ibu mertuanya menyewa tukang cuci dan membayarnya lebih untuk bersih-bersih. Namun ayah dan ibu mertuanya pergi pagi-pagi sekali dengan rumah yang super berantakan. Iis tahu, Kaffi tidak suka itu karenanya Iis langsung membereskannya semua.
"Itu pakaian kotor mas?" Iis menghampiri Kaffi yang baru keluar kamar dengan beberapa kemeja di tangannya.
"Iya. Ibu mana?"
"Udah berangkat sama Ayah. Sini aja mas bajunya, Iis cuci sekalian." Bukannya memberikan Kaffi malah mejauhkan kemeja-kemeja itu dari Iis.
"Kamu nyuci? Biasanya ibu yang nyuci."
"Iya soalnya udah numpuk banget, sini kemejanya." Pinta Iis sekali lagi, namun Kaffi hanya berdecih.
"Ck, biar ibu yang cuci. Kamu kalau mau nyuci, nyuci baju kamu aja lain kali," Iis hanya mengigit bibir mendengarnya.
"Ya udah Mas. Mas berangkat jam berapa? Mau sarapan sekarang?"
Iis membuka tudung saji di atas meja makan. Ada sop, daging yang tumis, serta nasi yang masih hangat. Kaffi langsung duduk, dan mengambil piring.
"Dagingnya gak ada rasanya." Komentar Kaffi.
"Ah masa?" Iis mendekat dan mencobanya, rasanya normal, bahkan kalau boleh narsis itu enak.
"Hambar, bisa masak gak sih?" Kaffi bangkit, seolah kehilangan selera makannya.
"Makan dulu mas, dagingnya ku bumbuin dulu bentar aja," Tahan Iis, namun jemarinya malah disingkirkan Kaffi.
"Di kantor aja." Balas Kaffi dingin.
Tidak tertahankan, air mata Iis menggenang di pelupuk. Kenapa segala yang ia lakukan salah di mata Kaffi?
Padahal sejak pagi buta ia sudah berjuang jadi istri yang terbaik. Berharap rasa sayang Kaffi menyentuhnya walau sejenak.
Tapi apa yang didapatnya pagi ini?
"Salah ku sama mas apa sih?"
Kalimat Iis membuat Kaffi berbalik.
"Aku ga minta dan nuntut apa-apa, tapi bisa gak sih mas memperlakukan aku seperti istri?"
Kaffi menarik senyuman, tapi bukan yang mengahangatkan jiwa. Senyuman remeh itu malah menghancurkan hati.
"Udah marah-marahnya? Kalau udah aku mau berangkat sekarang."
Iis menghela nafas berat.
"Aku mau pulang ke Jakarta,"
"Boleh, jangan lama nanti kamu dicariin ibu ku."
"Kamu gak nyari aku Mas?" Iis mendekati Kaffi yang sedang memasang sepatunya, tangannya yang lembut mengelus pipi Kaffi, bibirnya bergetar menahan tangis.
"Aku istri mu, kalau kamu lupa."
Tidak ada jawaban, Kaffi kaku di tempatnya.
☘️☘️☘️
KAMU SEDANG MEMBACA
I DON'T WANNA GET MARRIED!
General FictionMarriage just like walk in the park. Yes, jurassic park! Gue gak mau nikah!!!!