Pernah ditolak

27.8K 4.5K 828
                                    

Iis memandangi kalender ponselnya, beberapa hari lagi ulang tahun pernikahannya dengan Kaffi.

Pikiran guru kimia itu mengelana mencari kenangan, tapi selama setahun rasa belum ada yang begitu membekas.

Skinship terjauh mereka hanya bergandengan tangan atau rangkulan. Itupun hanya saat ada acara keluarga, saat berdua, Kaffipun kelihatan enggan jika Iis ingin salim padanya.

"Udah setahun aja," Gumamnya.

Beberapa rekan kerjanya yang menikah di tahun yang sama sudah ada yang hamil, sebenarnya bukan itu yang membuat Iis iri, kadang suami mereka menjemput, atau menemani kemana saja.

Tapi Iis harus pergi sendiri, lalu apa gunanya punya suami kalau begini?

"Bu Iis, ini nilai Bahasa Jepang kelas 12 Ipa 1 yah," Yuris mengedip bingung kala tidak mendapat respon, dicoleknya pelan pipi rekan kerjanya itu.

"Duh, bu Iis kalau di sekolah konsen dong, jangan mikirin suami melulu. Ntar kalau pulangkan ketemu," Godanya.

"Enggak pak Yuris, asal nebak deh. Saya gak mikirin suami kok." Bantah Iis yang memaksakan bibirnya tersenyum.

"Lah terus mikirin siapa bu Iis? Saya jangan-jangan? Mentang-mentang saya jomblo sendiri di sekolahan," Yuris pura-pura menggerutu.

"Nih, nilai Bahasa Jepang anak walinya bu Iis."

"Enggak lah pak, lagian pak Yuris jomblo tapi fansnya di sekolah banyak btw Makasih pak Yuris nilainya, hehe." Iis sibuk membolak-balik nilai anak walinya sementara Yuris berjalan menuju dispenser di sudut ruang guru, Yuris membuat dua gelas kopi instant.

Satu untuknya dan satu untuk Iis.

"Kopi, biar ga ngantuk."

"Makasih pak Yuris. Eh gak balik?"

"Bareng aja bu, masih ada guru yang lain juga. Bu Iis di jemput suami?" Iis langsung menggeleng namun senyuman ramah tidak lepas dari wajahnya.

"Kok enggak? Selama bu Iis pindah ngajar di sini saya gak pernah loh liat bu Iis dijemput suami."

"Suami saya sibuk pak Yuris, lagian saya bisa kok kemana-mana sendiri. Kan mandiri," Balas Iis. Padahal di dalam hatinya, ia juga ingin dijemput tapi Kaffikan berhati batu, mana mau manusia itu menjemputnya?

"Bu Iis kalau diluar jam ngajar atau gak ada murid, bu Iis boleh kok manggil saya Yuris aja. Kitakan seumuran," Yuris si guru Bahasa Jepang itu tersenyum lepas sebelum menyalakan laptopnya.

"Oke Yuris, kamu juga bisa manggil saya Iis."

"Oke Iis." Mereka berdua kemudian sibuk dengan pekerjaan masing-masing, Yuris membuat soal-soal ujian dan Iis menginput nilai harian anak wali kelasnya, keduanya sibuk satu sama lain namun tidak berhenti tersenyum karena percakapan singkat nan akrab tadi.

"Di Bogor sini tinggal dimana Is?"

"Di rumah mertua, aku ngikut suami."

"Wah, gak nyari rumah lain? Pisah gitu sama mertua? Biasanyakan gitu kalau mau mandiri, biar makin mesra juga sama suami."

Iis menghentikan pekerjaannya, sebuah pemikiran melintas dikepalanya. Apa karena tinggal dengan orang tuanya Kaffi menjadi tidak terbuka dengannya?

Mungkin dengan pindah rumah hubungannya dengan Kaffi akan membaik karena mereka akan saling membutuhkan satu sama lain.

"Mau sih, nanti deh saya bicarain sama mas. Itukan gak boleh diputuskan sendiri, harus diskusi dulu."

Yuris ikut tersenyum melihat Iis kelihatan bahagia setelah mendengar idenya.

I DON'T WANNA GET MARRIED!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang