Mikirin Kamu

18.2K 3.4K 262
                                        

"Aku istri mu, kalau kamu lupa."

Kaffi kaku di tempatnya mendengar kalimat pedih itu keluar dari mulut Iis, terlebih saat istrinya itu mendekat dan memeluknya dari belakang, erat disertai isakan pedih.

Sejahat itukah Kaffi pada Iis selama ini? Kaffi sudah berusaha mengontrol sikapnya, menjadi suami yang seharusnya. Namun dari isakan Iis ia tahu ekspektasinya sangat jauh dengan realita.

Harus Kaffi akui Iis istri yang teramat sabar setahun ini, tapi sayang sekali itu tidak menggerakkan hatinya. Sudah beberapa kali Kaffi mencoba manis namun sia-sia aja, Kaffi merasa kotor dan itu sama sekali bukan dirinya.

"Mas, aku cinta kamu."

Pernyataan cinta Iis membuat Kaffi memejamkan mata lama.

Apa ini titik balik bagi ia untuk mengubah segalanya? Bukannya ini kesempatan dari Tuhan bagi dirinya yang selalu bilang semuanya sudah terlambat untuk diperbaiki dan dimulai lagi?

Pada kenyataanya Iis bahkan sudah ditahap mencintainya. Kini langkah selanjutnya hanya ada di pihak Kaffi saja.

Mau terus seperti sekarang? Atau berjalan di jalan seharusnya bersama Iis?

"Kamu marah ya? Kamu masih gak percaya soal pak Yuris itu? Serius Mas dia cuma anterian aku—"

"Aku gak marah Is." Kaffi berbalik, kedua tangannya mencengkram lembut bahu Iis, maniknya terlihat lebih hangat, apalagi dikolaborasikan dengan senyumannya.

Kaffi itu tampan, sangat. Hanya tertutup dengan sikapnya saja.

"Aku juga salah, temen kamu jauh-jauh ke sini tapi aku malah ke Surabaya. Maaf yah."

Rasanya Iis ingin menangis mendengar kata maaf dari bibir Kaffi, apa sekarang suaminya itu luluh? Kalau iya tentulah Iis amat bersyukur.

"Kamu jadi ke Jakartanya?"

Iis otomatis menggeleng.

"Gimana aku bisa pisah lama-lama sama suami ku Mas? Entah karena kebiasaan atau gimana," Iis memberanikan diri menatap Kaffi dalam dan membelai pipinya.

"Aku susah tidur kalau kamu gak di samping aku."

Kaffi terkekeh pelan mendengarnya.

"Jangan diketawain!"

Iis memukul pelan dada Kaffi namun ditahan pemuda itu dan malah menggantinya dengan pelukan hangat. Pelukan hangat pertama sejak mereka menikah, seolah beban yang dipendamnya dipertaruhkan disana.

Rasanya ternyata sama saja. Kaffi yakin ia bisa mencintai istrinya. Apa yang kurang dari Iis? Dia baik, cantik, menggemaskan namun sekaligus dewasa.

Jangan lupa ia perempuan mandiri, bukannya perempuan mandiri itu lebih sexy di otak para lelaki dibanding perempuan manja tukang merengek?

"Is, Mas punya satu permintaan." Pinta Kaffi di tengah pelukannya.

"Apa Mas?" Iis penasaran.

"Mau tidak memulainya kembali mulai hari ini? Semuanya. Aku janji tidak adalagi Kaffi yang kasar, Kaffi yang egois, yang ada hanya ada Kaffi yang sedang belajar mencintai kamu." Iis mengangguk dalam pelukan Kaffi, anggukan yang dihadiahi kecupan di keningnya.

Hangat kecupan itu masih sama kala Kaffi selesai mengucapkan ijab kabulnya setahun lalu. Ini bukan akhir bagi Iis dan Kaffi tapi awal...

Entah untuk sebuah sad ending atau sebuah happy ending.

🏵️🏵️🏵️


Setelah menutup liburan dengan cekcok kecilnya dengan Gita di Bogor karena tiba-tiba ia diserang bad mood karena kedatangan Maria baru kali inilah Januar kembali mengajak Gita bertemu.

Januar tahu, film yang terputar di bioskop sekarang pemain utamanya adalah actor idola Gita, dengan itu ia punya kesempatan mengajaknya.

Tentu Gita tidak menolak, kapan lagi nonton cowok ganteng ditemani cowok ganteng, ditraktir pula.

Bedanya Gita masih menaruh kesal pada cowok ganteng di sebelahnya itu, masih kekesalan yang sama 'jauh-jauh ke Bogor buat tidur doang' yang membuat liburan mereka jadi tidak asik gara-gara Jose pulang duluan dan Januar yang not in a good mood.

"Eung, pipi mu udah gembul kalau manyun gitu makin kayak bakpau Git," Saking gemasnya Januar menjepit kedua pipi Gita meski gadis itu tak juga tersenyum padanya.

"Masih ngambek gara-gara di Bogor minggu lalu?" Januar mengkonfirmasinya.

"Siapa coba yang ngambek? Ngapain ngambek sama orang yang jauh-jauh ke Bogor, mesen hotel mahal sama temen-temen terus ga main malah tidur. Ye." Jawaban Gita membuat Januar terkekeh pelan.

Tuhkan masih ngambek dia.

"Mau main apa coba di hotel mahal sama temen-temen? Kalau sama istri mah baru enak, bisa main."

Pukulan pelan Gita mendarat di lengan Januar, tawa mereka berdua tidak bisa ditahan lagi.

"Ye, otaknya kotor nih." Tunjuk Januar yang kini menggota Gita.

"Ih, enggak. Kak Januar tuh jawabannya menjurus." Gita tidak mau kalah.

Diujung perdebatan mereka malah masuk ke bioskop dengan senyum yang sama lebarnya, hati yang sama berdegupnya, perasaan yang sama besarnya meski ada yang mengganjal di satu pihak. Entah bagaimana Januar memberitahu Gita soal Maria?

"Git," Gita berbalik namun ternyata jarak yang mereka ciptakan teramat tipis setelah tadi saling berbisik agar tidak menganggu penonton yang lain.

Gita mengedip bingung, wajah Januar hanya 5cm di hadapannya.

"Kenapa kak?" Tanyanya hanya dengan gerakan bibir tanpa suara.

Lalu bagaimana Januar bisa menjawab dengan betapa menggodanya manik coklat gita, betapa lentiknya bulu matanya, betapa tipisnya bibir yang bahkan tidak dipoles lipstick itu. Januar terpaku menganguminya.

Disatu sisi jantung Gita sudah terasa tidak beres, lebih tepatnya makin tidak beres. Sudah sejak tadi ia berdebar kencang karena Januar, kala hidung mancung pemuda itu bahkan menyentuh pipinya kala membicakarakan film yang mereka tonton dan kini degupan itu makin menggila.

"Mau ciuman-ciuman aja Mas, kita ga liat kok. Bisa kita mah tutup mata buat kebahagiaan Mas dan Mba." Goda beberapa anak muda yang sepertinya kelompok mahasiswa yang duduk di seat samping Januar.

"Si..siapa yang mau ciuman ye." Balas Januar yang membuat mereka malah makin meledeknya.

Kini Januar hanya bisa menggaruk tengkuknya dan menatap Gita yang ikut tertawa kecil.

"Aku gak mau cium kamu kok." Bantah Januar.

"Ya iyalah. Masa kakak mau cium Gita? Kitakan gak dihubungan yang menghalalkan hal itu. Bwek." Ledek Gita yang sudah menjulurkan lidahnya, ikut meledek Januar.

Kitakan gak dihubungan yang menghalalkan hal itu.

Jawaban Gita menyentak sanubari Januar. Apalagi mengingat bagaimana kedua orang tua Januar terlihat tidak senang kala ia menceritakan tentang Gitanya.

Gita yang ingin Januar jadikan partner abadi dalam sebuah hubungan halal. Tapi apa daya Januar jika Ayah Ibunya sudah menolak gadis itu meski belum pernah bertemu.

Apa Januar harus mengamuk dan menyalahkan Maria? Maria yang keluarganya inginkan jadi menantu mereka.

Bagaimana Januar harus bercerita kalau seminggu dari sekarang ia harus bertunangan dengan gadis lain? Bukan dengan Gitanya.

Sudahlah, Januar ingin menghabiskan waktunya yang tersisa dengan Gita sekarang. Sembari berharap sang waktu melambat karena ia sungguh ingin berlama dengan Gita.

"Kok kak Januar tiba-tiba diem gitu? Mikirin apa?"

"Mikirin kamu Git."

-To be continued -

Jose X Taufik chapter depan ya. Doakan inspirasinya lancar biar cepet update. Hahaha. 😎✌️

(Don't forget to touch the stars Button if you like the story 😊 👉🌟) 

I DON'T WANNA GET MARRIED!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang