Mata Iis berkedip beberapa kali, ia menikmati pemandangan dari jendela kereta yang kini berjalan, tidak bisa dikatakan menikmati juga karena kepalanya penuh dengan rasa khawatir dan cemas pada keluarga suaminya.
"Jadi orang yang terlalu baik itu tidak baik Is, you must thinking of yourself first." Iis mengingat kata-kata Yuris sembari mengingat bagaimana tangannya digenggam erat seolah enggan dilepaskan.
"Aku ke Jakarta bukan karena dilarang Yuris buat ke rumah sakit, ini karena aku mikirin keluarga ku dan diri ku sendiri," Iis bermonolog, tidak peduli dengkuran dari kursi sebelahnya.
"Tapi Ayah sama Mas Kaffi gimana?"
Iis mengigiti kuku ibu jarinya, beberapa kali ia mengusap layar ponsel dan menguncinya kembali sembari menimbang apakah ia harus menelepon atau tidak?
Dua stasiun lagi tempatnya akan turun, namun Iis masih juga tidak merasa tenang jika tidak mengetahui keadaan ayah mertuanya serta Kaffi.
Pada akhirnya Iis mengalah, menyerah pada sisi baiknya, ia memutuskan melakukan panggilan telepon namun baru Iis akan menekan 'call' sebuah pesan masuk dan membuat tangisnya tidak bisa terbendung lagi.
Kaffi Mas tahu kamu sudah pulang ke Jakarta, tidak usah kembali lagi Is, cari bahagia yang tidak kamu dapat disini.
Kaffi Mas sudah menunjuk kuasa hukum untuk mengurus perceraian kita, aku harap kamu juga bisa menunjuk satu agar semuanya cepat selesai.
Kaffi Terimakasih untuk semua ini, Mas akan blokir nomor kamu, jangan hubungi keluarga Mas lagi baik ayah atau ibu. Untuk masalah perceraian hubungi kuasa hukum Mas saja nanti Mas kasi kontaknya.
Kaffi Terimakasih Is. Sampaikan maaf Mas pada orang tua kamu karena tidak memulangkan kamu baik-baik sama seperti Mas meminang kamu dulu.
Kaffi Dengan ini talak ku pada mu jatuh.
Perempuan di sebelah Iis mengepak barangnya siap turun diperhetian selanjutnya, namun kegiatan itu dihentikannya begitu melihat Iis yang duduk di sampingnya menutup wajahnya dengan kedua terlapak tangannya, menangis hingga sulit bernafas.
"Mba, mba kenapa? Turun di stasiun mana?"
Iis tidak sanggup menjawabnya, meski tahu ia dan Kaffi sudah tidak ada harapan namun tetap saja ini terlalu sakit untuk hatinya yang seluruhnya sudah diberikan kepada Kaffi sejak awal.
"Mba, hpnya bunyi tuh. Diangkat dulu, siapa tahu jemputannya di stasiun." Iis baru mengangkat wajahnya, merogoh kantong dan dengan tangan gemetar mengangkat ponselnya.
"Udah sampe Is?"
"Yuris hhhhhhh, sakit..."
"Is? Iis? Kok nangis Is?"
"Hhhhhh sakit, hati ku sakit, sakit sekali, ini lebih parah dari sekedar patah hati, rasanya hati ku dihancurkan, dan kepingannya hilang tertiup angin." Ucap Iis diujung telepon dengan terbata-bata, berusaha menghisap oksigen namun yang ada, dadanya makin sesak dan sakit saja.
"Aku gak tahu kamu habis lihat, dengar atau baca apa sampai kayak gini Is, tapi... setiap orang melewati fase patah hati di hidupnya dan patah hati itu memang sakit, aku tahu patah hati mu mungkin sudah ditingkat yang lebih tinggi tapi semuanya bisa sembuh Is,"
Iis berusaha menyeka air matanya.
"Sembuh? Caranya?"
"Bahagia."
I'm broken in two, I'm drowning in deep blue, my feelings for you has drowned with me too.
The sky start changing but my heart keep tracing, the strom are ranging but my heart keep falling.

KAMU SEDANG MEMBACA
I DON'T WANNA GET MARRIED!
General FictionMarriage just like walk in the park. Yes, jurassic park! Gue gak mau nikah!!!!