Titip Gita

16.1K 3.1K 556
                                    

Rumah keluarga Januar di salah satu sudut kota Jakarta sejak pagi ramai, penyebabnya tentu saudara-saudaranya dari daerah datang karena dua hari lagi Januar akan melangsukan lamaran dengan Maria.

Tidak ada yang salah dengan Maria, Januar sudah terlampau lama mengenalnya bahkan pernah berpacaran dengannya.

Maria yang dulu kekanakanpun sekarang sudah berubah, mungkin tinggal sendirian di luar negeri membuatnya lebih dewasa. Maria bahkan jauh lebih cantik sekarang, inner beautynya terpancar kata orang itu efek jadi calon pengantin.

Hhhh, Siapa yang menduga gadis itu berakhir menjadi calon istrinya?

Jujur saja ada beban di dada Januar, terutama tentang Gita. Entah mengapa Januar terlalu lemah untuk bisa memperjuangkannya.

Keluarganya dan Maria amat senang dengan perjodohan ini. Rasa tidak tega menghancurkan perasaan mereka dengan keegoisannya, meski ada rasa tidak tega yang sama untuk Gita.

"Hhhhh," Januar menghela nafas berat memandang Jendelanya, kontak Gita sudah sejak sejam yang lalu dipandanginya tanpa tindakan.

"Aku harus bilang apa sama kamu Git?"

Tok! Tok!

Januar berbalik ke arah pintu kamarnya, di sana sudah ada sang ibu yang mengajaknya turun menemui sepupu-sepupunya hingga Januar langsung bergegas memasang baju kaos dan mengambil ponselnya.

"Maria tuh dari dulu memang mandiri dan ngerjain semuanya sendiri ya Jan?" Pertanyaan sang ibu dibalas kekehan pelan Januar.

"Enggak, Ria tuh manja banget dulu bu."

"Oh ya? Tapi kata Mamanya dia loh yang repot sendiri, bahkan sampai ke kantor WO sendiri tadi. Harusnya kamu anterin dong Jan," Januar hanya tersenyum singkat sebagai balasan.

"Ria ga bilang mau dianterin bu."

"Ya inisiatif dong nak, ditanyakan. Maria itu sebentar lagi jadi istri mu, tanpa kamu tanyakan kamu harus tahu dan melalukan apapun yang menunjung kebahagiannya. Kamu juga pasti gak tau wedding plannernya digantikan?"

Januar menggeleng, sungguh ia tidak tahu apa-apa dan tidak mau tahu apa-apa. Setidak tertarik itu Januar dengan ini semua.

"Makanya tadi Maria ke kantor WOnya, dia punya wedding dream yang mau diwujudkan, jadi semuanya harus perfect katanya. Dia juga nanya sama ibu apa kamu gak ada tambahan?"

"Enggak Bu, terserah Ria aja. Itukan wedding dreamnya. Oh iya, jadi Ria udah dapat wedding planner yang baru?" Januar berusaha bertanya agar terdengar antusias.

"Katanya bos WOnya langsung yang jadi wedding plannernya, kata Maria bos WOnya baik banget dan bener-bener nurutin semua yang dia pengenin."

Ibu Januar menyamakan langkahnya dengan anak sulungnya, menyilangkan tangannya ke lengan Januar dan mengelusnya sayang.

"Jan, ini semua mungkin memang wedding dream Maria, ibu tahu kamu juga setengah hati dengan ini semua, tapi tolong jangan kamu sakiti Maria  dengan kamu kayak gini—"

"Bu, aku sudah menyakiti hati perempuan lain yang mengharapkan aku. Bagaimana bisa aku bahagia dan antusias dengan ini semua?" Januar mencoba mengendalikan pikiran dan emosinya.

"Tolong jangan berharap banyak sama Januar bu, Januar sudah memenuhi keinganan Ayah dan Ibu untuk menikah, dengan pilihan kalian, ya udah. Aku harap tidak akan lagi keinginan kalian yang bertentangan dengan kebahagiaan aku, cukup ya bu?"

"Januar?" Januar melepaskan pelan tangan ibunya dan berjalan cepat menuruni tangga meninggalkan perempuan paruh baya itu menghela nafas berat di tempatnya.

I DON'T WANNA GET MARRIED!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang