Iis menarik nafas sebelum membuka pintu gerbang rumah orang tuanya yang memang jarang terkunci.
Iis sudah menyiapkan jika saja orang tuanya bertanya macam-macam tentang kehadirannya yang membawa koper besar layaknya orang yang kabur dari rumah, ya meski Iis tidak bisa dikatakan kabur juga sih.
"Assalamualaikum," Baru dua kali ketukan, pintu kayu itu sudah terbuka lebar, Ayah Iis terlihat terkejut namun tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya dengan tersenyum lebar.
"Ayah, Iis kangen." Iis melebarkan lengannya.
"Loh Nduk? Kok mendadak datangnya? Tidak nelpon dulu? Ayahkan bisa jemput ke stasiun."
Iis dipeluk singkat, mau sudah sebesar apapun anak bungsunya itu masih terlihat seperti bayi di matanya.
"Iis bisa naik taksi online, lagian nanti Ayah repot. Ibu mana yah?"
Ayah Iis berdecih, anak-anak selalu seperti itu, selalu mencari ibunya meski Ayah sudah ada di depan mata. Coba Ibu Iis yang menyambutnya, ayahnya tebak, Iis pasti tidak akan mencarinya.
"Ada di dalam. Eh mana menantu bapak? Kaffi, mana Kaffi?" Ayah sudah celingak-celinguk menunggu seseorang melintas gerbang rumahnya, namun nihil.
"Kamu sendirian ke sini?"
Iis mengangguk sementara Ayahnya menatap curiga koper besar yang bawa anak perempuannya itu.
"Ibu! Ini anaknya dateng kok di dalam aja," Teriakan sang ayah membuat Ibu Iis terburu-buru memasang jilbab pasanganya dan berlari kecil keluar.
"Iis!" Ibu Iis antusias memeluk erat anak bungsunya itu, setelah acara cipika-cipiki dan bercengkrama yang pada akhirnya di interupsi Ayah yang kembali mencari menantunya.
"Kaffi sibuk dengan pekerjaannya sampai tidak bisa mengantar kamu pulang apa bagaimana?"
Iis terdiam, bagaimana ia bilang kalau Kaffi sudah resign beberapa waktu lalu? Ah bukan itu. Bagaimana Iis menceritakan semuanya?
Iis membuang badannya ke sofa ruang tengah, rasanya lelah secara fisik dan perasaan, hingga pada akhirnya gadis itu hanya menghela nafas panjang dan berat, ia bahkan sulit tersenyum pada Ibu yang membawakan segelas air putih untuknya.
"Kamu ada masalah sama Kaffi? Berantem?" Tanya sang Ibu.
"Bha, sudah tua masa masih berantem? Kaffi tuh orangnya ngemong. Iis walaupun bungsung, dia dewasa. Lebih dewasa bahkan dari mas-masnya." Timpal sang Ayah.
Kedua orang tua yang sudah renta, pensiun dan hanya ingin anak-anak mereka bahagia, cucu mereka sehat, tentu tidak mengharapkan masalah besar bagi rumah tangga anak-anaknya terutama rumah tangga si Bungsu yang baru seumur jagung.
Namun sepertinya masalah itu tak bisa diungkap dengan kata karena Iis menutupi wajahnya dengan telapak tangan dan mulai menangis.
Ayah dan Ibunya serentak memandang bingung.
"Hhhhh, maafin Iis ngecewain Ibu sama Ayah," Ucapnya Parau.
"Loh kenapa toh nduk? Masalah rumah tangga begini jangan dibawa emosi, harus tenang berpikir jernih, udah jangan nangis toh." Sang Ibu sigap mengelus-elus punggung anaknya menenangkan sementara si Ayah berdehem canggung dan menatap nanar.
"Kamu dipukul si Kaffi?"
Iis menggeleng keras.
"Terus?"
Iis berusaha mengatur nafasnya, menghapus sisa air matanya dan mendongkak, dengan segenap kekuatan yang dikumpulkannya, Iis memaksa bibirnya tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
I DON'T WANNA GET MARRIED!
General FictionMarriage just like walk in the park. Yes, jurassic park! Gue gak mau nikah!!!!