Sulit menata hati kembali setelah patah, itu yang dirasakan Iis, melihat orang di sekitarnya berpura-pura baik-baik saja justru membuat Iis lebih patah lagi.
Gadis itu selalu bertanya dalam hati 'Mau sampai kapan?' Akhirnya Iis memutuskan keluar kamar hari ini, setidaknya ia harus berjalan-jalan sebentar menghilangkan suntuk.
"Nduk, kok nyetrika baju? Mau kemana toh?" Teguran sang Ibu dibalas senyum lebar Iis, senyum yang seolah ingin menunjukkan ia sudah baik-baik saja.
"Mau jalan-jalan Bu, ke mall. Nonton mungkin, Iis bosen di rumah." Iis menyemprotkan pengharum pakaian sebelum menyeterikanya.
"Wes, bagus itu. Segarkan pikiran kamu. Gak ketemu teman-teman mu Is? Si itu siapa namanya? Gita, Rani sama Jo... Jo?" Sang Ibu mencoba mengingat nama yang tidak biasa itu.
"Jose bu." Iis mengingatkan.
"Iya, Jose. Ajak sekalian, mungkin kamu butuh teman curhat."
Saran sang Ibu membuat Iis menggaruk pelipisnya.
"Iis bingung gimana ceritanya sama mereka? Mereka gak tahu Iis di Jakarta, gak tahu masalah rumah tangga Iis. Iis sempat cerita sih sama Gita tapi gak detail, cuma bilang Iis gak harmonis sama suami."
Iis melanjutkan kegiatannya, sesekali gadis itu melirik ponselnya di atas nakas sembari menimbang. Apa ia harus menghubungi sahabat-sahabatnya itu?
Jujur saja Iis hanya ingin berbagi suka cita dengan ketiganya, tidak untuk berita buruk. Meski Iis memang membutuhkan tempat berbagi dukanya.
"Telepon mu bunyi itu nduk," Sang ibu mengintip. "Dari Yuris bhs. Jepang. Siapa toh?"
Iis berdecih malas, sungguh ia menghargai perhatian Yuris, pemuda itu jadi satu-satunya teman cerita Iis di Bogor dulu. Namun lama kelamaan Iis risih juga karena perhatian berlebihan itu.
Oh ayolah, ia baru berpisah dengan suaminya, ketuk palupun belum.
Iis sudah trauma terburu-buru, entah, mungkin ia juga sudah trauma terhadap cinta.
"Teman Iis ngajar dulu. Gak usah diangkat bu, ganggu lama-lama."
Iis menggantung kemeja bermotif bunga-bunga yang sudah distrikanya tadi dengan hanger, mengabaikan panggilan berkali-kali Yuris.
"Naksir kamu tah nduk?"
"Hem. Tapi Iis udah gak mau gegabah bu, cukup yang pertama Iis buru-buru bikin keputusan karena diburu umur,"
Iis menggeleng.
"Iis gak mau lagi, nikah ternyata gak boleh karena kita diburu umur, atau karena ada yang suka, ada yang naksir, ada yang lamar. Nikah ternyata komitmen berat, udalah intinya Iis mau sendiri dulu." Putusnya.
🍉🍉🍉
Ponsel Iis berbunyi lagi, baru Iis akan menolak panggilan itu namun urung karena nama Rani muncul di sana.
"Loh Rani? Tumben banget ini anak." Iis bermonolog sebelum mengangkat ponselnya.
"Assalamu alaikum Ran,"
"IIS! Aduh Is, gimana ini Is?" Panik Rani.
"Assalamu alaikum," Iis mengulangi.
"Walaikum salam," Rani menjawab terburu-buru. "Lo pulang ke Jakarta sekarang, kita harus meet up. Ini udah deh Is siaga satu Iis!" Cerocos Rani.
"Haha," Iis tertawa mendengarnya. "Pelan-pelan Ran, iya iya. Kebetulan gue di Jakarta nih, elo kenapa sampai panik begitu? Ayo ceritanya."
Rani di ujung sana mondar-mandir mengigiti kuku tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I DON'T WANNA GET MARRIED!
General FictionMarriage just like walk in the park. Yes, jurassic park! Gue gak mau nikah!!!!