6. Tundra

18 6 0
                                    

Untungnya Ari berbaik hati memberikan kamar untuknya beristirahat. Langit diluar masih malam, tapi tubuh Gentala sudah segar dan kantuknya hilang. Peduli setan-lah tak berpamitan. Ia merasa harus segera pergi dari sini. Maka, keluarlah ia menembus malam menuju... Madrayasca. Berdasarkan penuturan Ari, daerah itu berada di bagian barat pulau ini. Ya, Madrayasca merupakan sebuah Hutan Hujan Tropis yang sangat luas. Disanalah ilmuwan Asqarini Hasbi tinggal.

Lokasinya delapan kilo dari dataran tinggi Strockfold mungkin ditempuh sekitar 5-6 jam kalau berjalan cepat dan tanpa istirahat atau 8-10 jam berjalan santai dengan istirahat. Gentala memilih opsi kedua.

Untuk mencapai wilayah Madrayasca, separuh perjalanan Gentala harus melewati daerah tundra dan separuh lagi wilayah sabana yang cenderung lebih hangat bahkan panas.

Setelah 2 jam berjalan kaki, Gentala tiba di wilayah tundra yang anginnya berhembus kencang dan dingin. Gentala merapatkan mantelnya, kuku-kuku jari tangannya mulai membiru, asap putih menghembus tiap kali ia bernapas. Di beberapa lokasi masih terlihat tumpukan salju yang mulai mencair. Tak jauh dari tempatnya berdiri, sekitar kurang lebih 200 langkah disana terdapat batu besar. Gentala memutuskan melepas lelah.

Telapak dan tungkai kakinya sudah terasa getas, seakan kapan saja bisa meluruh. Lumer seperti siput digarami. Begitu tiba dibalik batu, ia segera menjatuhkan pantatnya di sedikit vegetasi empuk dan menyelonjorkan kakinya. Mantelnya ia selubungi ke seluruh tubuh. Lalu, ia terlelap. Tanpa sadar mengorok.

Udara tak kasat mata yang berbau baru saja mampir tak sengaja terhirup hidung Gentala. Membuatnya bergerak kembang kempis. Gentala membuka mata. Sontak, bau ini terhubung langsung dengan perutnya yang serta merta berbunyi keroncongan. Rasa lapar mendera. Matanya mencari-cari dimana gerangan bau daging bakar yang lezat ini.

Tak jauh darinya, tampak punggung lebar seorang pria yang dibalut mantel bulu beruang yang lebat. Tampak hangat dan berat. Tubuhnya bergerak bangkit mendekati sosok asing tersebut.

"Apa?" pria asing itu bertanya, ketika ia mendongak dan melihat Gentala berdiri di depannya sambil memegangi perut. Gentala tak menjawab, hanya menelan ludah. Matanya menatap lekat-lekat daging kelinci bakar matang berwarna cokelat keemasan yang digenggam si pria asing. "Takkan kubagi!" katanya sambil memalingkan muka. Gentala tetap bergeming.

Pria asing itu lalu menggeram kemudian mendengus, "baiklah...baiklah! Duduk kau!" katanya. Gentala menurut. Ia duduk persis di hadapan si pria asing. "Siapa namamu, Nak? Jangan diam saja. Apa kau bisu? Tuli? Kau bisa bicara kan?"

"Namaku Gentala," ucap Gentala lirih dan tak fokus. Sebab matanya masih menatap sisa-sisa daging kelinci bakar di tangan si pria.

Pria asing itupun menyadari arah sorot mata Gentala yang lama-lama makin bernafsu. Sebelah tangannya merogoh dalam-dalam sebuah tas kulit besar. Dilemparkannya kelinci bakar lain kearah Gentala, "tadinya mau kubuat sebagai bekal. Tapi aku tak tega melihatmu kelaparan."

"Terima kasih. Terima kasih." Gentala menyambarnya secepat kilat dan melahapnya. Tak sampai 15 menit, daging itu tandas tersisa tulang belulang. Gentala bersendawa dan mengusap perutnya yang tak lagi lapar.

"Nah, anak muda. Sebagai sopan santun. Bagaimana kalau kau sedikit bercerita. Aku senang mendengarkan cerita. Oh iya. Namaku Erg," katanya sambil mengulurkan tangan. Mereka pun berjabat tangan. "Oke Gentala. Silahkan bercerita."

"Aku murid Hidasir. Asalku bukan dari sini, melainkan di sebuah negeri yang jauh dari Edenesia. Negeriku terserang sebuah bencana. Tiba-tiba saja kami kehilangan imajinasi. Ilmuwan, pelukis, penulis dan berbagai profesi lainnya kehilangan inspirasi. Itu terjadi setelah awan hijau menyelimuti negeri kami. Hanya ada dua orang yang selamat. Aku dan guruku. Sebab kami tinggal jauh dari kota dan desa. Kami tinggal di hutan. Lalu, suatu kali, Raja negeri kami bertandang kerumah. Raja ingin mencari solusi dan bertanya pada orang yang paling bijak di negeri yaitu guruku. Aku tak tau mereka berbicara apa, sebab guru memintaku menunggu diluar agar mereka bisa berbicara empat mata.

Tak lama Raja pun pulang. Dan keesokannya aku mendapat tugas melakukan perjalanan untuk menemukan ke-18 ilmuwan yang menelan eliksir imajinasi. Sudah dua ilmuwan yang kutemui. Dan sekarang aku dalam perjalanan menemui Asqarini Hasbi. Dia tinggal di Madrayasca."

"Hmm ... kau harus hati-hati Nak. Aku kenal siapa Asqarini Hasbi itu. Dia tidak kenal aku, tapi aku kenal dia. Dia anak kepala suku Inzen. Suku yang terkenal menolak kedatangan orang asing di wilayah mereka. Hati-hati Nak, kau bisa mati kalau masuk Madrayasca tanpa permisi." Erg mewanti-wanti. "Nak, sebaiknya kau cepat pergi, sebentar lagi fajar menjelang. Kau harus tiba di hutan sebelum tengah hari."

"Mengapa?"

"Sebab, kalau kau sampai di sabana siang hari. Kau bisa terpanggang seperti kelinci yang baru kau makan," ucapnya disertai tawa kasar. Gentala pun bangkit berdiri, membungkuk dalam-dalam pada Erg sebagai wujud rasa terima kasih. Erg membalas dengan senyum simpul. Mereka pun berpisah.

Journey Into The Mind [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang