9b) Gas

13 4 1
                                    

Hari itu ia termenung di depan korannya, lagi lagi ia keheranan. Sudah berkali kali ia baca di surat kabar, di majalah tapi tetap ia tidak bisa menemukan jawaban atas pertanyaan hatinya yang mendesak itu.

Ia bingung dengan yang dinamakan "gas ioksida". Dimana-mana sekarang banyak orang membicarakannya. Di hotel berbintang, di rumah sakit, di warung tegal, di stasiun, di jalanan, semua orang membicarakannya. Dari bupati sampai tukang becak semua membicarakannya. Gas ioksida, sebuah gas baru.

Tugino, nama orang itu, heran bagaimana gas ioksida itu bisa ada. Dulu ketika masih bersekolah, tak pernahlah ia mendengar nama gas semacam itu. Yang ia pernah dengar hanya gas hydrogen -gas mayoritas di bumi-, gas oksigen, argon, helium atau apalah itu hingga kini ia sampai lupa. Tapi gas ioksida ini? Mendengar namanya saja baru sekarang.

Ia buka lagi lembaran korannya. Di situ memuat berita tentang gas ioksida yang lagi laris-larisnya diberitakan bak kacang rebus.

"Seperti sudah diketahui, kita manusia bumi mendapat suatu gas baru. Dunia ramai membicarakannya. Sebenarnya gas ini bukan baru, tetapi sudah lama ada semenjak ribuan tahun yang lalu. Tetapi baru kali ini ditemukan oleh seorang profesor ternama dari kampus negeri favorit di Indonesia. Sayang, profesor itu masih merahasiakan tentang wujud dan ciri ciri tentang gas baru yang dinamakan gas ioksida itu," tulis koran Elpiji yang dibaca Tugino.

Beberapa surat kabar malah ada yang mencoba mengira-ngira dan menebak bagaimana ciri-ciri gas ioksida itu.

"Berhubung belum ada kepastian tentang gas itu, Profesor Rudi Sugiharjo dari Universitas Nusantara, membuat semacam penelitian ilmiahdi laboratoriumnya. Ia kemudian mengumumkan kepada masyarakat tentang ciri gas ioksida itu. Menurut penelitian terbarunya, yang telah banyak mendapat pengakuan internasional itu, gas itu berwarna pekat dan dapat mengakibatkan gangguan kesehatan permanen dalam jangka panjang," berikut kutipan dari Harian Negara. Semua itu tidak membuat Tugino tahu lebih banyak tentang gas ioksida itu. Ia tetap saja bimbang.

***

Tugino tidak tahu wujud atau ciri ciri gas itu. Tak ada gunanya bertanya ke tetangga, penjual tempe, polisi bahkan ke presiden sekalipun. Sementara ini, menurut Harian Merdeka, Indonesia masih belum tahu. Maklum, masih negara berkembang, imbuh Teve 8.

Bukan apa apa. Tugino ingin sekali tahu bukan karena agar ia dianggap pintar. Tapi karena ia cemas. Ia cemas kalau kalau gas ioksida itu menghambur ke hidungnya secara tiba tiba, lalu ia terkontaminasi penyakit.

Tugino, entah kenapa, berpikir kalau gas ioksida itu beracun. Padahal dari sekian banyak sumber berita yang dibacanya, masih samar tentang sifat-sifat gas itu. Pun para ahli di luar sana masih meneliti kebenarannya.

Ketika Tugino berpikir seperti itu, ia tersadar. Dengan sigap ia ambil masker yang baru saja dibelinya. Ia pakai masker itu seolah ia melihat sebuah gas aneh lewat di depan matanya.

Ia tak enak pikiran selama berhari hari. Dihidupkannya tv dan radio guna mendengar berita lebih lanjut. Tak ingin ia lewatkan barang satu detik pun berita yang menyiarkan tentang gas ioksida. Meskipun lebih banyak berita itu tak memuaskannya karena lebih sering menampilkan ocehan-ocehan tak berarti daripada berita yang sesungguhnya.

Tugino berpikir pula, seperti acuan dalam berita, bahwa gas itu bisa menjadi ancaman skala besar. Dampaknya akan sangat besar bagi kehidupan masyarakat di waktu yang akan datang. Ia sama sekali tak mengerti juga heran yang teramat sangat. Berarti, gas ioksida itu pasti berbahaya, doktrin Tugino. Ia mondar-mandir dalam kamarnya, tentu saja pakai masker, sambil merenung-renung.

"Dunia tak aman lagi," doktrin Tugino untuk kesekian kali. Hatinya sedih campur gusar kenapa ia bisa tinggal di pelosok desa yang kecil. Ia berpikir jika ia tinggal di kota sebesar Jakarta, ia akan langsung mendamprat laboratorium tempat penyelidikan gas itu. Ia akan langsung melabrak para profesor dan memaksanya agar cepat menentukan keberadaan gas ioksida yang nyaris membuatnya stres itu.

Tugino geram jika mengingat dunia yang sudah penuh oleh bolongan-bolongan ozon ini semakin parah keadaannya akibat manusia-manusia serakah pencari kepopuleran.

"Profesor profesor serakah! Berharap terkenal dengan mengulur waktu!" kata Tugino dengan sinis. Ia meyakini para ilmuwan dan pemangku kepentingan di Indonesiasangat pelit memberi keterangan. Tugino yakin mereka hanya mencari kepopuleran saja.

Tapi Tugino segera seolah mendapat ilham. Ia berpikir justru karena lapisan ozon yang berlubang itulah yang melahirkan sebuah gas baru. Yakni gas ioksida itu. Ya, pasti karena itu, kata Tugino dengan yakin.

Ia selama ini memang tak terlalu peduli dengan lapisan ozon. Lapisan pelindung bumi dari cahaya ultra violet itu selama ini dianggapnya angin. Ia tak peduli dengan bahayanya jika lapisan itu memudar. Ia hanya tahu teorinya dan ia hanya mengangguk saja jika ada kenalannya yang bercerita panjang lebar tentang bahaya tipisnya lapisan ozon.

Dan kini baru Tugino seakan mengerti permasalahannya. Ia yakin kalau gas ioksida itu berasal dari luar lapisan ozon. Ia berpikir jika mungkin gas ioksida itu berasal dari luar planet bumi.

Ketika berpikir itu, ia mengambil gerakan seribu. Dengan segera dijualnya kulkas seukuran tubuh dewasa miliknya yang sudah delapan tahun menjadi teman baiknya. Ia tiba-tiba ingat tentang pengaruh kulkas dengan lapisan ozon dan gas ioksida tentunya. Ia menganggap kulkas dapat menjadi penyebab rusaknya lapisan ozon, dan dapat menimbulkan petaka bagi dirinya.

"Ini bisa berbahaya! Merusak ozon, menyebarkan gas ioksida!" kata Tugino penuh tekanan. Dan setelahnya ia puas. Ia berpikir ia akan membantu mengurangi menyebarnya gas ioksida.

Tapi ia berpikir pula, masih ada yang kurang.

***

Sampai sekarang Tugino masih belum tahu juga perihal gas ioksida. Para profesor dan ilmuwan pun belum tahu secara persis meskipun mereka telah berkutat dengan laboratoriumnya selama 24 jam penuh. Tugino semakin lama semakin muak juga semakin kesal.

Di kala ketidakberdayaannya itu, ia menyumpah-nyumpah. Merutuk-rutuk. Ia kesal kenapa dalam masa canggih seperti ini, keadaan malah serba susah. Hidupnya terdesak, semakin dalam. Pikirannya ruwet. Terisi pelbagai macam emosi suntuk. Dan sensasi-sensasi buruk yang selama ini mengintipnya dari celah sempit. Belum lagi awan kesumpekan yang menggelembung begitu besar dalam otaknya. Hidupnya seolah terinjak sepatu.

Tiba tiba dalam pikiran jenuh yang berbelit itu, Tugino merasakan perubahan aneh dalam dirinya. Tiba tiba di sekelilingnya ia merasakan hawa panas dari sekumpulan asap, (asap?), yang menyungkupnya dan mengaburkan penglihatannya. Asap itu memenuhi langit-langit udara dan membuat udara semakin pekat. Jarak pandangnya menjadi terbatas, dan udaranya semakin sesak. Tugino kaget, segera ia menghambur keluar. Ternyata seluruh wilayah kotanya telah tertutup oleh asap tebal, yang memenuhi udara di sekitar tempat tinggalnya. Ia melihat seluruh kota dipenuhi asap. Langit-langit kota menjadi kelabu dan menggelap. Tak ada lagi langit berwarna biru cerah. Tak ada lagi pagi berselimut harapan dan impian. Semua yang ada hanya kabut asap. Asap, asap dan asap.

Karena kaget, ia sempatkan menengok siaran berita di teve. Dalam siaran berita itu disebutkan bahwa kini kabut asap mulai melanda sebagian wilayah Indonesia. Dampak kabut asap tersebut kini mulai melanda Sumatra, Kalimantan hingga Papua. Dampak terparah asap kini dialami oleh Sumatra dan Kalimantan. Dari berita itu juga ia mendapat kabar bahwa telah jatuh korban sebanyak 10 orang meninggal dunia dan ratusan ribu lainnya mulai mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan gangguan kesehatan lainnya. Ia kaget, bolak-balik ia tonton berita di televisi, berita di surat kabar dan media cetak lainnya. Ini sih bukan gas baru, tapi asap, batinnya. Semuanya memberitakan hal yang sama: asap. Segera ia keluar dari rumahnya dan melihat ke jalanan. Asap nampak menebal memenuhi udaranya. Di jalanan, asap tebal semakin menyungkup menyelimuti kota, entah sampai kapan.

Journey Into The Mind [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang