18. Airmata Bidadari Abadi

17 5 0
                                    

"Imagining in a feint ... " kata ilmuwan Dicky mengakhiri pembacaan puisinya dengan dramatis. Lalu, kami terdiam, menyisakan keheningan. Gentala mencoba memecah kesunyian dengan berdeham, "Ehem ... ehem ... " Ilmuwan Dicky pun tersadar dari lamunannya dan menolehkan kepalanya, "Ya?" tanyanya dengan raut sedikit terganggu.

"Mengenai ilmuwan Farabi Bee, kudengar dia bukan manusia seperti beberapa ilmuwan lainnya?" tanya Gentala kepada ilmuwan Dicky.

"Dia memang bukan manusia. Dia adalah peri hutan," jawab ilmuwan Dicky dengan sembari memutar tubuhnya membelakangi Gentala.

Gentala mulai membayangkan sosok peri hutan ini dalam benaknya.

"Peri hutan. Dengan telinga runcing, hidung mancung, kulit putih mulus, tubuh langsing, wajah oval, alis pirang, rambut putih, dan mata bulat berwarna hijau. Salah satu makhluk paling memikat yang pernah ada di bumi."

"Dimana mereka tinggal?" tanya Gentala.

"Habitat asli peri hutan adalah di hutan keramat Aavra, lokasinya dekat dengan hutan Madrayasca hanya saja kau tak bisa melihat hutan ini sejelas hutan Madrayasca sebab ini hutan gaib. Hutan ini banyak dihuni makhluk-makhluk magis lainnya dan peri hutanlah penjaganya," jelas ilmuwan Dicky.

"Bagaimana aku mencapai hutan Aavra?"

"Caranya sungguh tak mudah. Kau harus terus berjalan ke arah Barat Daya, hampir mendekati titik terdingin area ini. Kemudian, kau akan menemukan sebuah telaga di tengah tundra. Itulah yang disebut dengan airmata bidadari abadi. Kau harus menumpahkan darahmu ke dalam telaga itu. Lalu, katakan keinginanmu di dalam hati bahwa kau ingin menemukan hutan Aavra. Tunggulah. Setelah beberapa saat, telaga tersebut akan berubah warna menjadi emas. Menyelamlah ke dalam telaga tersebut. Ketika kau merasa nafasmu hampir habis dan mulai melihat cahaya kematianmu sendiri. Maka detik itu juga duniamu akan terbalik dan kau akan menemukan hutan magis Aavra."

"Aku harus mengalami pengalaman hampir mati terlebih dahulu baru akan menemukan hutan itu?" tanya Gentala, tak bisa menutupi keterkejutannya.

"Ya, cara ini dilakukan agar hutan tetap bersih dari jamahan manusia. Hanya makhluk yang tidak takut akan kematianlah yang dapat menjangkaunya," katanya sambil membukakan pintu gubuknya pada Gentala.

"Kalau begitu terima kasih ilmuwan Dicky. Aku sangat berterima kasih." Ilmuwan Dicky memberinya senyuman perpisahan dan Gentala pun berpamitan.

Gentala melanjutkan perjalanannya menuju airmata bidadari abadi. Siang berganti malam, malam pun berganti siang. Hingga ia tiba di daerah tundra yang suhunya amat dingin. Tak jauh dari pandangannya ia melihat sebuah telaga beku di tengah tundra. Ia turun dari kudanya. Dengan lembut Gentala berkata kepada Germa, "Tak jauh dari sini kau bisa pulang ke desa Teratai. Disana ada Cecilia. Kau bisa pulang. Terima kasih sudah menemani perjalananku," diarahkannya Germa menuju arah pulangnya lalu Gentala menepuk ringan punggung Germa. Kuda itu pun mengerti. Ia mulai berjalan meninggalkan Gentala dan sesekali menoleh, Gentala mengangguk meyakinkan. Germa pun mulai memacu kaki-kakinya berlari. Pulang. Menuju tuannya yang sesungguhnya: Cecilia.

Airmata Bidadari Abadi

Danau itu tertutup lapisan es. Gentala berpikir apa dia mampu menahan suhu dinginnya dan melihat cahaya kematian sebelum ia benar-benar mati? Dan dengan apa ia bisa memecah esnya? Ilmuwan Dicky tak sekalipun menyebut-nyebut bahwa danau ini beku. Apa yang harus dilakukannya? Haruskah ia meninju berulang kali untuk menciptakan lubang yang cukup untuk tubuhnya dimasuki?

"Ya, sepertinya hanya itu caranya ... " gumam Gentala pada diri sendiri. Ia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya untuk menimbulkan panas, kemudian mengepalkan tangannya dan berjalan ke tengah-tengah danau.

Ia mulai mengepalkan tinjunya, menariknya ke udara kemudian menghantamkan keras-keras ke danau beku. Dingin yang menusuk kulitnya membuatnya mengerang panjang. Lagi! Lagi! Lagi! Lagi! Ditahannya rasa sakit dengan menggigit bibir dari dingin yang menjalar sampai ke sarafnya menimbulkan nyeri tiada tara. Namun, usahanya mulai menampakkan hasil. Retakan akibat tinjunya mulai bereaksi. Kretek ... kretek ...  danau beku itu mulai menciptakan retakan-retakan yang menyebar.

"Uwaaaarrrgggghhh ... " Danau beku itu pecah dan Gentala amblas kedalamnya. Dingin yang menusuk seluruh tubuhnya bagai ribuan jarum berusaha menembusi kulitnya dirasakan Gentala ketika ia tenggelam kedalam danau. Ia segera ingat kata-kata ilmuwan Dicky. Darah. Gentala sekuat tenaga menggigit ibu jarinya. Cairan merah itupun keluar dari ibu jari Gentala dan membaur bersama air danau. Gentala pun tersenyum sumringah. Dari darah Gentala, perlahan air danau berubah sewarna emas. Air emas itu merambat dari dasar danau menjalar kakinya hingga akhirnya mencapai mata Gentala. Dalam kegelapan; ia tak bisa melihat, kehabisan napas dan kedinginan, Gentala tetap bertahan. Belum. Belum saatnya. Ajalnya sudah naik sampai tenggorokannya. Tapi ia belum juga melihat cahaya kematiannya. Ia memejamkan matanya lebih keras. Cahaya. Cahaya. Kumohon datanglah cahaya. Tenang Gentala. Tenang ... Gentala memejamkan matanya dan membiarkan tubuhnya tenggelam semakin dalam. Ia membiarkan ajalnya semakin naik. Paru-parunya mulai sakit luar biasa. Rasa panas menjalar di dadanya. Sakitnya luar biasa. Giginya gemeletuk. Rasa dingin dikulitnya membuat seluruh tubuhnya remuk redam diikuti rasa panas dan nyeri di dada yang mulai menyerangnya. Ketika nafasnya hampir habis. Akhirnya, cahaya menyilaukan itu datang. Ya, cahaya kematian. Gentala pun tersenyum menyambutnya.

Journey Into The Mind [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang