7. Sabana

18 5 0
                                    

Matahari perlahan menghangat dan tak lagi malu-malu menampakkan wujudnya. Hembusan angin dingin dan tanah lembab bebatuan bersalju berganti menjadi ilalang kekuningan melambai-lambai dan padang-padang yang gersang. Nampak sejumlah kawanan herbivora sedang menguyah semak yang lumayan hijau.

Gentala berusaha mencecap-cecap sisa air yang menetes dari botol minumnya. Tapi dahaganya belum terobati. Matanya yang menyipit melihat sungai di kejauhan, entah itu nyata atau fatamorgana. Ia mencoba berjalan mendekati bahkan kini berlari. Rasa haus baru saja memecut kaki-kakinya. Terengah-engah ia sampai di depan ... mata air. Dikucek matanya sekali lagi untuk memastikan. Benar. Itu mata air. Haus ... haus ... haus ...

Tubuhnya segera menyusruk, tangannya meraup segenggam air lalu diminumnya dengan rakus. Lagi. Lagi. Lagi. Ia minum sampai dahaganya hilang. Diatas kepala, matahari semakin panas, hangatnya tak lagi terasa lembut melainkan kasar menggigit kulitnya yang terbuka. Buru-buru ia mengisi penuh-penuh botol minumnya dan minum sekali lagi. Ia harus segera mencapai Madrayasca sebelum tengah hari, kalau ia tak mau mati terpanggang di sabana.

Ia mendongak menatap terik matahari. Ia membatin, 'Seandainya ada pedagang atau saudagar yang lewat dengan kereta atau tunggangan dan barangkali aku bisa menumpang.' Kerongkongannya memang sudah tak mengering sekarang tapi ganti perutnya yang keroncongan. Padahal baru beberapa jam yang lalu, ia menyantap habis satu ekor kelinci gunung bakar. Apa pengaruh panas matahari dan gersang sabana?

Pelan-pelan Gentala mencoba kembali berjalan. Lamat-lamat, kakinya mulai melambat. Entah mengapa, perutnya malah makin melilit. Jonjot ususnya menggiling udara di saluran pencernaannya. Dengan tertatih-tatih, ia menahan perih. Sudut matahari perlahan membentuk separuh siku. Ia sudah tak tahan lagi. GABRUK! Tubuh Gentala rubuh ke tanah.

Lama hening, samar-samar ia mendengar suara. Ketoplak ... toplak ... toplak ... Derap kaki hewan ini tampaknya ia sangat familiar. Pelan-pelan ia membuka matanya. Pakaiannya basah oleh keringat yang terus-terusan mengucur. Seiring suara derap kaki hewan ini, tubuh Gentala juga berguncang-guncang sedikit kencang. Ia melihat dan menyentuh kulit hewan itu. Dia mereka-reka hewan apa yang dia tunggangi. Keledai. Matanya yang sempurna membuka akhirnya bisa menebak dengan benar hewan apa ini sebenarnya.

"Sudah bangun kau?" Gentala menoleh ke arah suara di belakangnya. Seorang kakek-kakek berserta anak kecil yang kemungkinan besar cucunya menatapnya balik. Dua orang itu duduk menaiki semacam gerobak beroda terbuka yang ditarik oleh empat keledai dengan keledai yang dia tunggangi salah satunya.

"Maaf, tapi kemana arah perjalanan kalian?" tanya Gentala sambil mencoba bangun, duduk tegak, dan mengambil posisi menunggangi keledai dengan wajar.

"Madrayasca," jawab si kakek.

"Kek, kurasa pemuda ini butuh baju baru. Pakaiannya sudah seperti kain pel," tunjuk anak kecil itu.

"Oke, kita bisa berhenti sejenak untuk istirahat," lalu si kakek menarik tali kekang keledai-keledainya, berhentilah gerobaknya.

"Nih, yang kau pakai buang saja. Satu kau pakai, satu simpan di ransel untuk nanti," kata kakek sembari memberikan dua stel pakaian. Satu pakaian berwarna putih dan satu pakaian berwarna hijau muda. Masing-masing terdiri dari atasan dan bawahan berupa celana panjang. Atasannya merupakan gamis berbelahan panjang di kiri dan kanannya sampai ke pinggul. Bahannya tipis dan ringan. Tidak panas, malah dingin. Adem. Gentala pun berganti pakaian yang putih di balik pohon besar.

Setelah berganti pakaian, mereka bertiga berteduh sebentar dibawah pohon besar nan rimbun sambil makan ubi rebus. Sebelum matahari jauh bergeser, mereka bergegas melanjutkan perjalanan. Kali ini Gentala tak lagi ditumpangkan di atas keledai, melainkan ikut naik gerobak kereta. Roda cikar berputar diiringi senandung anak sabana.

Matahari terik menari ...

Awan ...

Awan ...

Kembalilah kemari

Naungi kami

Lindungi kami dari sengatan mentari

Walau panas menusuk ...

Kami anak sabana kulit cokelat

Akan terus menari

Karena kami cinta matahari ...

Journey Into The Mind [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang