8. Madrayasca

17 4 0
                                    

Milyaran anak rumput sudah ditapaki. Langit kini dipenuhi awan sejuk, penanda perubahan daerah vegetasi. Rumput gersang nan menguning kini terganti dengan rumput hijau basah dan lembab. Satu, dua, kemudian lima lalu lebih dari sepuluh pohon-pohon mereka lalui. Pohon yang mulanya kurus-kurus, semakin masuk ke dalam hutan pohon-pohon gendut tinggi besar rimbun daunnya makin banyak ditemui.

Sebelum jalan setapak menyempit terdapat barikade panjang yang seolah melingkari sebuah wilayah luas yang terlarang. Dua laki-laki penjaga berpakaian yang terbuat dari perkamen kayu. Yang satu kurus pendek dan satunya tinggi tambun keduanya sama-sama menyorongkan tombaknya. Tombak si kurus pendek sejengkal lagi pasti menyentuh hidung Gentala. Tapi lain perlakuan dengan si kakek dan cucunya. Tampaknya kedua penjaga ini cukup mengenal mereka. Salah seorang penjaga meniup sebuah sangkakala. Sebentar kemudian muncul sebuah gerobak kereta besar dari balik gerbang pintu kayu.

Si kakek dan cucunya mengosongkan cikar mereka dan menaruhnya di gerobak kereta tersebut. Si kakek menatap Gentala sambil menepuk pundaknya, "Nak, sampai sini saja kami bisa mengantar. Selanjutnya adalah perjalananmu sendiri. Orang yang ingin kau temui ada dibalik pintu ini. Semoga berhasil." Si kakek bersiap untuk pulang, ia memutar pedatinya menuju jalan keluar hutan. Si cucu melempar senyum pada Gentala. Dan akhirnya mereka tidak menoleh lagi. Gentala hanya bisa menatap punggung mereka menjauh, namun tiba-tiba ia ingat sesuatu. Ia lupa berterima kasih!

"Hei ... hei ... ! Tunggu ... Tunggu ... " Gentala berlari mengejar gerobak kereta mereka. Gerobak itu berhenti dan dua penumpangnya menoleh ke belakang. "Terima kasih ... terima kasih banyak atas tumpangan kalian. Maaf aku baru ingat. Aku tidak tahu bisa memberi kalian apa. Sebab, aku memang nyaris tidak membawa apa-apa. Tapi terima kasih ..." Gentala membungkuk dalam-dalam.

"Hahaha ... Nak, santai saja. Kau tak perlu memberi kami apapun. Sampai jumpa. Silahkan lanjutkan tugasmu! Semoga beruntung," kata si Kakek kembali mengembangkan senyum khasnya. Dan akhirnya Gentala tuntas mengikhlaskan mereka pergi. Kini Gentala benar-benar bingung. Ia lebih bingung dari itik buruk rupa yang ditinggal saudara dan induknya pergi.

Ia kembali menuju pos penjagaan tadi. Bermaksud untuk bertanya atau mungkin merayu penjaga agar bisa masuk dan bertemu penutur ketiga.

Tersenyum. Bibir Gentala mengurva tatkala menghadapi penjaga. Si kurus pendek tiba-tiba bertanya, "Apa urusan kamu disini?"

"Saya ingin bertemu dengan Asqarini Hasbi. Boleh saya masuk?"

"Darimana kau?"

"Saya tinggal di negara yang jauh dari Edenesia. Saya tinggal di negeri Albashita."

"Tunggu disini sebentar kalau begitu."

Sementara si tinggi tambun berjaga diluar, kurus pendek masuk ke dalam gerbang kayu dan menutup gerbang diikuti suara debam yang keras dan berat.

Cukup lama Gentala menunggu, akhirnya penjaga kurus pendek itu keluar lagi dari gerbang. Masih dengan raut wajah tak menyenangkan, si kurus pendek berkata, "Ayo masuk."

Begitu Gentala melewati pagar kayu tebal, matanya membelalak. Kehidupan di balik gerbang sangat menakjubkan, tanpa sadar Gentala ber-"Whoa" ria. Warna hijau botol mendadak dominan. Matanya menyapu sekeliling. Pohon-pohon tinggi besar tampak agung dan kokoh. Rimbunnya dedaunan membuat areal habitat suku Inzen sejuk. Dan mereka membangun hunian yang tidak menjejak tanah. Rumah pohon melingkari pohon berbatang raksasa. Selain rumah pohon terdapat juga kepompong-kepompong yang Gentala duga adalah kantong tidur melayang bahannya berupa campuran anyaman serat kayu dan dedaunan rumbai. Diantara sela-sela antar pohon terdapat jembatan gantung kayu untuk menghubungkan tiap-tiap hunian, baik rumah pohon maupun kepompong tidur.

Kehadiran Gentala yang lain sendiri mengenakan gamis putih tampaknya tak mengusik kesibukan masyarakat disana.

"Tolong ikut saya ...," ujar si kurus pendek. Gentala pun patuh mengikuti. Dibawanya ia menaiki tangga spiral di salah satu pohon terdekat. Tibalah ia berada di dalam rumah pohon. Ruangan itu kosong, bahkan gelaran kain sebagai alas tidur pun tak ditemukan. BUK! Bunyi debup, diiringi sedikit erangan dan tubuh itu roboh. Gentala tergeletak tak bergeming di lantai.

Lama Gentala merasakan gelap dan sunyi. Tiba-tiba tendangan di ulu hati membangunkannya. Ada rasa nyeri di leher belakang dan bagian diafragma sebelah kanan. Tubuhnya nyeri sehingga ia tak bisa bergerak banyak. Kesadarannya terbangun pelan-pelan. Tangan dan kakinya serasa dipaksa disatukan. Gentala mengecek tubuhnya sendiri. Ternyata kedua kaki dan kedua tangannya terikat tali tambang disimpul mati.

"Bangun bodoh! Pasti kau suruhan Konjak dari suku Hasca?"

'Siapa pria-pria ini?'

Di hadapan Gentala, berdiri 5 orang pemuda bertubuh kekar, masing-masing menyiratkan wajah yang sama—mata mendelik dan raut gusar. Dan kesemuanya membawa busur dan panah di punggungnya.

"Siapa itu Konjak?" tanya Gentala masih dalam keadaan linglung.

Pertanyaan ini menghadiahi Gentala sebuah jab telak di ulu hati—lagi.

"Dasar pembohong!" teriak pemuda yang paling kekar dan berkharisma, "buat dia mengaku," perintahnya. Perintah ini dipatuhi dengan aksi kekerasan yang diarahkan pada Gentala. Segala bentuk pukulan dan tendangan mampir ke seluruh tubuh Gentala secara bertubi-tubi. Gentala berusaha melindungi diri dengan meringkukkan tubuhnya.

"Saya mohon ... dengarkan penjelasan saya dulu!" repet Gentala ditengah usahanya melindungi wajah dan kepalanya dari serangan. "Saya akan berkata jujur!" Sang pemimpin—yang semula hanya memperhatikan—mengangkat tangan. Kekerasan pun berhenti. Sang pemimpin jongkok di depan Gentala, menyejajarkan matanya dengan mata Gentala.

"Ceritakan identitasmu."

"Baiklah, tapi tolong jangan pukuli saya ... " ujar Gentala lirih dan memelas. Gentala bersiap cerita. Ia mengambil posisi duduk tegak. Berdeham lalu berkata, "Nama saya Gentala. Murid Hidasir. Saya berasal dari negeri yang jauh. Saya ingin bertemu Asqarini Hasbi karena—" suaranya terpotong ketika bunyi lonceng dan sangkakala saling bersahutan.

Journey Into The Mind [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang