9. Penyerangan

16 5 0
                                    

"Kita diserang!" wajah semua pemuda menegang.

"Kau, Abra dan Raznick. Tolong pindahkan pemuda ini ke kubah sarang. Lepaskan ikatan kakinya agar ia bisa berjalan. Lekas," salaknya. Ikatan di kaki Gentala dipotong menggunakan ujung pisau panah. Dua pemuda itu—Abra dan Raznick—memaksa Gentala berdiri sedangkan tiga pemuda lainnya bergegas turun.

Ketika Gentala menuruni rumah pohon melalui tangga spiral, dilihatnya hujan batu besar-besar dan ratusan panah terbang melewati pintu gerbang. Sementara itu banyak prajurit mencoba menahan dobrakan dari entah apa yang ada di balik gerbang.

BRAKK! Suara keras kayu membentur sesuatu yang sangat kuat. Terlihatlah apa yang memaksa gerbang itu jebol. Cula seekor badaklah yang barusan mendobrak gerbang. Selanjutnya pemandangannya lebih rusuh lagi. Puluhan prajurit musuh datang menyerang membawa senjata parang dan tombak. Jika suku Inzen menato tribal hitam seluruh tubuhnya, suku Hasca menato tribal putih di sekujur tubuhnya.

Terdengar suara umpatan keras dari mulut Abra, "Sialan! Mereka berhasil mendobrak gerbang! Kau tunggu disini, jangan kemana-mana," perintah Abra. Abra dan Raznick tampaknya sudah tak peduli dengan Gentala, mereka lebih memilih bergabung bertempur dengan rekan-rekannya. Tapi tekad itu tak lama terlaksana. Sebab, begitu mereka berbalik dan mengangkat tinggi-tinggi panahnya, dua anak panah meluncur tepat menembusi jantung mereka. Seketika mereka mati. Tinggal Gentala yang ngeri sendiri. Berdiri di tengah pertempuran dengan tangan terikat, tanpa senjata dan tanpa perlindungan sama sekali. Satu-satunya jalan keluar yang terpikir di benaknya yang cekak adalah: lari. Tapi ia ingat tangannya masih terikat. Ia kembali mendekati jasad Abra. Diambilnya panah Abra, panah itu ia gunakan untuk memotong ikatan tambang. Simpul mati itupun terputus. Untuk jaga-jaga ia mengambil panah dan busur yang ada di punggung Abra dan Raznick. Kemudian melanjutkan berlari menjauh dari pertempuran, ditengah usaha kaburnya, ia melihat seorang perempuan menunggangi babi hutan Albino. Dari atas tunggangannya, ia meneriakkan komando-komando kepada prajurit lain.

Kemampuan berpedangnya sungguh fantastis. Meski ia wanita, ia baru saja membunuh 6 prajurit musuh dengan sabetannya yang secepat kilat.

"ASQA!" Gentala menoleh melihat si empu-nya suara. Seseorang pria dengan badan besar dan kekar menaiki babi hutan hitam dengan taring mencuat dari mulutnya, melotot seolah menantang si komandan wanita. Dalam hati Gentala, seandainya ini bukan pertempuran tentunya ia akan jingkrak-jingkrak senang. Sebab, sedekat ini bertemu dengan Asqarini Hasbi. Penutur ketiga...

"KONJAK!" Asqa balas menantang. Ternyata itu yang bernama Konjak, pikir Gentala. Pertarungan sengit sebentar lagi akan terjadi. Gentala menyembunyikan dirinya dibalik pohon besar.

"Hadapi aku Asqa! Kali ini aku pasti membunuhmu dan otakmu akan jadi hidangan makan malamku."

Tantangan disambut dengan tawa menggelegar Asqa, "Kau pikir setelah memakan otakku lantas kau dapat khasiat eliksir imajinasi? Eliksir ini sudah meluruh ke peredaran darah tubuhku."

Konjak menggeram, "Kalau begitu kau harus mati. Sebab aku ingin meminum darahmu!"

"Jangan mimpi!"

Tepat setelah obrolan ingin membunuh ini, keduanya berteriak mengangkat tinggi-tinggi pedang masing-masing. Dan mulai menyerang satu sama lain. Denting pedang tak terhindarkan. Kadang saking kuatnya tekanan, pedang itu mengeluarkan percikan kilat kecil. Gentala nyaris tak percaya, tubuh langsing Asqa mampu mengimbangi kekuatan Konjak yang nyaris sebesar raksasa. Asqa meliuk-liukkan tubuhnya dengan lentur ketika Konjak bergerak menyerang dengan menusuk, menyabet, dan memuntir pedangnya.

Asqa tertawa atas usaha Konjak yang tak kunjung kena sasaran. Tubuh besarnya rupanya membuat gerakannya lebih lamban, sehingga serangannya mudah diperkirakan oleh Asqa. Tapi kesombongan Asqa berbuah pahit. Tawa mengejeknya membuat perutnya terbuka tanpa penjagaan. Sabetan pedang Konjak pun akhirnya berhasil mengiris perut Asqa. Asqa meringis lalu terjatuh dari tunggangannya. Sekarang ganti Konjak yang tertawa.

Konjak turun dari babi hutannya, menghampiri Asqa yang meringis terlentang di tanah. Dengan tawa kasarnya, Konjak berkata,"Sadarilah, kematianmu sudah dekat." Posisi pedang Konjak sudah tepat diatas jantung Asqa. Asqa sudah pasrah. Ia memejamkan matanya, berharap sakaratul maut akan berbaik hati mengurangi sakitnya sehingga ia bisa mati dengan cepat.

Gentala tak bisa berharap yang sama dengan Asqa. Sebab hidup dan matinya Asqa sangat berhubungan dengan nasib negerinya. Terlintaslah inisiatif tergila yang pernah ada di benaknya. Konjak mengangkat tinggi pedangnya, bersiap menghujam jantung Asqa. Gentala mengambil busur dan panah Abra. Sebelumnya ia tak pernah sekalipun memanah. Tapi ia mahir menombak ikan di sungai bersama gurunya. Mungkin caranya kurang lebih sama, gumam Gentala pada diri sendiri. Ia mulai membidik tengkuk Konjak. Panahnya harus cepat dan tepat sasaran. Gentala menghirup napas dalam-dalam. Fokus sudah terkunci. Helaan napasnya bersamaan dengan meluncurnya panah dari jemari Gentala. Meluncur ... menusuk tengkuk Konjak. Terdengar raung kesakitan dari Konjak. Tangannya terlempar ke tengkuknya. Wajah bengisnya mencari-cari pelaku serangan tak adil ini. Matanya bertemu dengan mata Gentala.

Wajahnya berubah murka. Konjak mencabut panah di tengkuknya, lalu berlari kearah Gentala seperti banteng terluka. Gelagapan Gentala, cepat-cepat mengambil anak panah lagi dan membidik ke arah jantung Konjak. Satu. Tepat mengenai jantung. Dua. Hati. Tiga. Lambung. Tiga anak panah sudah menusuk bagian vital tubuh Konjak, tapi dengan susah payah ia menahan sakit ia terus berlari. Hingga anak panah keempat kembali diluncurkan Gentala ke kepala. Wuzz ... Anak panah itu tepat menancap di dahi Konjak. Sejenak tubuhnya bergeming, matanya tetap melotot pada Gentala. Lalu, tubuh raksasa itu ambruk.

Gentala segera menghampiri Asqa yang masih kesakitan. Gentala membantunya berdiri. "Terima kasih banyak. Maukah kau antar aku ke jasad Konjak?" Gentala mengangguk. Diatas jasad Konjak, Asqa menyembelih Konjak. Diangkatnya kepala tanpa tubuh itu. "Tolong bantu aku naik ke menara." Dipapahnya Asqa menaiki tangga menuju menara pengawas.

Diatas Menara, Asqa membunyikan lonceng. Semua pertarungan berhenti. Dengan sisa-sisa tenaganya Asqa berteriak kepada prajurit yang masih bertarung di bawah, "DENGARKAN KALIAN! KELUAR DARI RUMAH KAMI SEKARANG JUGA! KONJAK, JENDERAL PERANG KALIAN SUDAH MATI!" lalu dilemparkannyalah kepala Konjak kepada prajurit Hasca. Prajurit Inzen bersorak sementara prajurit Hasca mundur, lari terbirit-birit keluar berbondong-bondong melewati gerbang sambil membawa jenazah Konjak beserta kepalanya.

Asqa tersenyum kearah Gentala. "Terima kasih sekali lagi. Siapa namamu?"

"Gentala."

Journey Into The Mind [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang