12. Desa Teratai

15 5 0
                                    

Asap mengepul nampak dari kejauhan. Hmm...bau manusia. Bukan, bukan manusia yang dibakar, tapi bau kehidupan manusia. Gentala tahu perjalanannya bersama Haidra akan segera berakhir. Kaki Gentala sekali lagi menghentak perut Haidra. Haidra pun menjawab dengan memacu kaki-kakinya lebih cepat lagi.

Gentala menarik tali kekang Haidra. Babi hutan albino itu pun menghentikan langkahnya. Gentala menuruni Haidra kemudian berkata sambil menatap mata hewan itu, "Kurasa perjalanan kita sampai sini saja. Terima kasih ya. Sampaikan salamku dan terima kasihku kepada Asqa." Ditepuknya pelan kepala Haidra. Binatang itupun berbalik dan berlari meninggalkan Gentala sendiri.

Di depan mata Gentala, terhampar 5 sampai 10 Yurt. Tenda-tenda rumah yang berbentuk melingkar berwarna putih dan memiliki puncak layaknya kerucut. Gentala bingung Yurt yang manakah yang merupakan tempat tinggal Cecilia Huang. Ia memutuskan mencoba bertanya kepada seseorang gadis dengan pipi bersemu merah dan bermata sipit yang terlihat sedang membakar daging yak.

"Permisi, saya Gentala ...,"gadis itu mendongak ke arah Gentala kemudian kembali lagi mengarahkan fokus pada pekerjaannya, Gentala mengusiknya lagi, "mau tanya, kau kenal dengan gadis bernama Cecilia Huang?"

Gadis itu terdiam. Tampak berpikir keras, haruskah ia bagikan informasinya kepada orang asing?

Dengan ragu-ragu dan lirih gadis itu menjawab, "Ya, aku kenal. Malah semua orang disini mengenalnya. Dia putri kepala suku kami, Jauzka."

"Bisa kau antar aku menemuinya?" tanya Gentala.

"Baiklah, silahkan tunggu disini." Lalu gadis itu membereskan bakaran dagingnya dan berlari memasuki salah satu Yurt.

Gentala terus menunggu ... dan menunggu ..., hingga malam tak terasa menjelang dan perutnya mulai keroncongan karena seharian belum diisi apapun. Bahkan Asqa yang baik pun lupa memberinya bekal untuk diperjalanan. Terpaksa ia menahan perih ususnya menggiling udara. Setelah matahari sudah benar-benar tenggelam di ufuk barat dan bulan menampakkan sinarnya, barulah gadis tadi datang. Gadis itu membawa baki yang harum baunya. Gentala kembali bersemangat.

"Maaf, kamu pasti lapar. Ini kubawakan makanan, makanlah dulu. Selesai makan akan kupertemukan kau dengan Nona Huang." Dengan suara parau Gentala berterimakasih. Udara dingin rupanya menghilangkan fungsi suaranya. Namun, ia sudah tak peduli, dengan segera ia menyambar daging yak dingin yang ia lihat siang tadi. Mungkin ini makanan sisa, tak apalah yang penting perutnya terisi, batin Gentala.

Rupanya satu potong paha yak terlalu besar untuk kapasitas perutnya. Kini perutnya menggembung seperti balon mau meletus, gamisnya pun tertarik sana-sini membuatnya mengetat di area perut. Rasa kenyang itu pun diakhiri dengan sendawa panjang, membuat si gadis berjengit jijik.

Si gadis mengambil bakinya kembali yang kini berisi tulang paha yak, "Ikuti saya," katanya. Gentala mengikutinya ke salah satu Yurt. "Tunggu disini," kata si gadis dengan raut wajah datar.

Selagi Gentala sibuk melihat-lihat isi dalam Yurt, tiba-tiba seorang gadis berpakaian Deel berwarna merah menyala memasuki ruangan. Muncullah gadis dengan pipi tembam kemerahan dengan bintik-bintik lucu di wajahnya, rambut hitamnya indah tergerai dan berkilau, mata segarisnya semakin menegaskan bahwa ia ras mongoloid yang cantik dan unik. Gentala refleks tersenyum hangat kepadanya. "Cecilia Huang?" tanyanya spontan. Gadis itu mengangguk.

Journey Into The Mind [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang