11a) Apa yang Terjadi Jika Gairahmu Hanya Berlari ?

12 3 0
                                    

"Apa yang akan kamu lakukan untuk perusahaan ini jika kamu diterima?"

Aku tidak mengerti kenapa pertanyaan bodoh ini harus ditanya kepadaku setiap wawancara. Jelaslah aku akan melakukan apa yang disuruh agar saya tetap digaji. Memangnya hal lain yang bisa aku lakukan. Memangnya jadi karyawan itu bela negara, harus mengusung panji-panji patriotisme dan berjuang hingga titik darah terakhir.

"Aku akan memberikan yang terbaik itu pasti. Aku adalah pekerja yang sarat pengalaman dan sangat kompeten di bidangnya. Aku sudah punya bayangan akan apa yang akan aku kerjakan di tempat ini dan bagaimana aku akan membawa perusahaan ini menuju sukses yang lebih besar lagi."

Olesin saja terus dengan gula sampai terdengar manis. Kurang manis padahal menurutku. Harusnya kutambahi saja kalau aku akan tiarap setiap pemilik saham yang lewat, demi menunjukkan loyalitas yang kelewat hebat. Tetapi, terlalu manis malah nanti ketahuan kalau aku putus asa.

"Kira-kira kapan bisa memulai kerja di tempat ini?"

Tiba-tiba saja aku tidak berselera, tidak bersemangat untuk bekerja dengan orang ini. Hilang begitu saja. Mungkin karena suhu ruang wawancara ini yang seketika bikin gerah. Asumsiku kantor ini bakal panas sepanjang masa, hanya ketika ada tamu saja dikondisikan sejuk. Atau, karena aku mulai tidak nyaman dengan cara orang ini berbicara.

"Kalau disuruh bekerja hari ini juga, saya juga mau."

Sudah pasti palsu. Orang itu tersenyum lalu bilang beberapa hal basa-basi yang intinya adalah butuh waktu untuk merekrutku. Aku juga cuma bikin orang itu senang saja. Sekarang jelas kenapa aku tidak suka dengan orang ini. Setiap dia mengatakan sesuatu yang mengandung konsonan R, ada yang mengganjal. Dia itu cedal, tetapi mati-matian berusaha tidak terdengar begitu. Jadi terdengar ganjil.

"Aku akan bekerja detik ini juga, lalu berlari meninggalkan kalian. Berlari seolah aku hanya peduli akan apa yang di depanku, menganggap yang di belakang aku hanya kabut dan bayangan. Berkelebat menjauh tanpa kujadikan makna dalam hidupku."

Tidak, kata-kata itu tidak kuutarakan dalam sesi wawancara ini. Sesinya sudah berakhir kok, aku sudah di luar gedung kantor. Aku sudah tidak lagi berada di ruangan pengap itu. Walau bukan berarti lepas dari penderitaan, di luar juga panas. Tetapi, setidaknya pengapnya tidak bercampur dengan nafas tidak sedap orang yang mewawancaraiku tadi. Hal yang membuatku tidak sengan dengan orang itu. Tunggu, tadi aku bilang kalau aku tidak nyaman dengan rasa malu pada kecedalannya. Aku jadi tidak yakin sebenarnya aku tidak senang di kantor tadi karena apa.

"Hei, lari sih lari, tapi pake mata dong!"

Bapak-bapak yang perutnya ke bergoyang ke sana ke mari seperti agar-agar kena gempa itu memaki perempuan muda yang baru saja melintas. Perempuan itu hanya terlihat sekilas, larinya cepat dan sudah menjauh dari pandangan. Satu yang pasti, dia lari karena ingin lari. Lari bukan karena dikejar waktu, ini kalau kutebak dari pakaiannya. Sport bra ungu dan celana mini berwarna senada. Sepatu keds juga ungu dengan strip kehijauan yang aku yakin kalau malam bisa menyala kalau tertimpa cahaya. Setelan khusus buat lari.

Perempuan itu tidak peduli sama laki-laki berperut agar-agar. Mungkin juga karena makian laki-laki itu tidak sempat diterima pendengarannya. Di kedua telinga perempuan itu memang ada kabel yang keluar dari lubangnya, menjulur keluar menusuk telepon genggam yang diikat di lengannya. Kabel yang menghisap getaran lagu atau bisa juga pidato motivasi dari teleponnya.

Lari, hal yang aku pernah senangi. Ketika itu aku lari karena lari. Bukan ikutan tren, bukan karena mau sehat. Karena memang suka lari. Setiap aku lari, aku lari sejadi-jadinya, seenak aku mau lari kapan saja. Keringat basah sampai bikin celana dalam bau kucing got, aku tidak peduli. Nafas sesak sampai hanya sakit tersisa di dada, aku pacu terus. Pokoknya energi yang keluar saat lari bikin aku... meledak!

Journey Into The Mind [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang