18. Retak

531 264 180
                                    

22 September 2020 malam dimana Byne dan seluruh anggota keluarganya pergi terbang ke Paris, Perancis untuk menyelenggarakan acara pertunangan mas Fero.

Dihari pertunangan semua berjalan dengan lancar tepatnya pada tanggal 24 September 2020, sisa satu hari lagi waktu mereka setanah dengan Menara terkenal dunia yaitu Menara Eifell.

Sudah dua hari Byne tidak bersekolah, dan tidak ada satupun diantara keempat sahabatnya yang bertanya tentang keadaannya.

Hanya Alex, Alex dan Alex yang selalu bertanya apakah keadaan Byne baik-baik saja ataukah tidak.

Byne-pun meminta izin kepada seluruh keluarga yang sedang berkumpul ditengah ruangan itu, untuk pergi berjalan kecil disekitaran menara Eifell.

Dan kebetulan Hotel yang sedang dijadikan penginapan antara kedua keluarga itu berada tidak jauh dari Menara Eifell.

"Ayah, Bunda?" Tegur Byne yang membuat semua mata diruangan itu menghadap kearahnya.

"Iya sayang?" Jawab sang Ayah.

"Aku ijin mencari udara segar diluar dulu."
"Jangan lama-lama ya."
"Iya."

Setelah mendapatkan ijin, Byne pergi keluar mengenakan celana panjang hitam dan hoodie berwarna senada dengan celananya.

Diluar udaranya lumayan dingin, digosok-gosoknya kedua telapak tangannya itu.

"Lihatlah, untuk pertama kalinya kesini dulu aku merasa bahagia tetapi kenapa sekarang terasa biasa saja?" Tanyanya seorang diri.

Kakinya terus melangkah dan sampailah ia didepan Menara indah itu. Tak seperti orang-orang yang langsung mengambil ponsel mereka lalu mengabadikan beberapa foto, Byne hanya menatap Menara itu dengan tatapan tak bersemangat.

"Aku merindukanmu, Alfa. Benar-benar merindukanmu. Ditengah dinginnya malam yang menusukku tajam, aku masih bisa memikirkan dirimu. Apakah kamu disana juga seperti itu? ataukah kamu sudah melupakanku serta kenangan-kenangan indah yang terekayasa didalamnya?"

Byne terus berdiri menatap Menara itu tanpa minat untuk kembali pulang. Tanpa sadar, rintik-rintik air hujan mulai turun tanpa meminta.

Byne yang tersadar, mulai melangkahkan kakinya mencari tempat berteduh. Untungnya ada sebuah toko kecil disamping kiri jalan, ia lalu berlari sehingga membuat handphone-nya terjatuh dari kantong hoodie yang ia pakai itu.

Sampailah diteras toko kecil itu. Byne mulai mengutuki dirinya, sudah lengkaplah deritanya malam ini. Sendirian, kehujanan, kedinginan, serta merindukan seseorang tak mesti ia dirindukan.

Pukul sudah mulai larut, hujan tetap saja tidak mau menurut. Byne yang mulai tercekam dengan keadaanpun mulai meringis tidak tau apa yang ingin dilakukan.

Berjongkok didepan toko adalah hal satu-satunya yang bisa ia lakukan. Beberapa detik kemudian terdengar suara gemuruh dari langit, "Aㅡalfa aku takut." Ucap Byne sambil meringis ketakukan serta kedinginan yang menjadi satu.

Mengapa taksi tidak ada yang lewat? Apa benar malam ini dirancang untuk membuat Byne menderita?

Setengah jam ia habiskan sendiri, ia tak tahan lagi. Dengan berani, ia langkahkan kakinya menuju derain hujan yang terus memaksanya untuk kembali berteduh tetapi ia lawan.

Berjalan sendiri ditengah derain hujan, mungkin hal yang menyenangkan bagi sosok yang sedang patah hati jika itu didalam sebuah film atau novel, tidak dalam keadaan nyata ini.

Untung saja jalanan saat ini sedang sepi, setidaknya tak ada yang menjadikan Byne sebuah tontonan dari seorang yang tak berotak.

"Are you okay, girl? " Tanya seorang pria paruh baya ketika melihat Byne yang basah kuyup masuk kedalam hotel.

Hiraeth.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang