***
Selamat Membaca
***Kelas sudah sepi dan hanya tinggal Luna yang kini sibuk mengobrak abrik isi tasnya sendiri. Mulutnya manyun. Ia lupa dimana ia meletakkan ATM milik papanya kemaren. Ia rasa ia letakkan didalam dompetnya. Dan malah tidak ada.
Bingung memang. Secara Luna belum pernah menggunakan benda itu sebelumnya. Dan sekarang malah ilang.
"Sial. Mana sih pergi nya?" Luna mulai kesal. Ia kembali memasukan buku bukunya kedalam tasnya. Setelah beres. Ia beranjak dari kursinya. Keluar dari kelas dengan langkah cepat.
Berharap ia segera sampai dirumah dan mencari benda itu secepatnya.
Tapi langkah cepat Luna terhenti ketika melihat Lika berjalan dengan langkah gontai. Seperti orang kesakitan sambil memegang perutnya.
Awalnya Luna ragu untuk mendekat. Ia takut kalau tiba tiba Irwan muncul. Dan bisa gawat.
Dan Luna memilih berjalan dibelakang Lika. Lebih tepatnya mengikuti. Lika tampak menunduk. Masih terus memegang perutnya.
Luna makin tak tenang. Tak ada orang lain selain dirinya disana. Luna akhirnya mendekat. Ia cukup tak tega.
"Lo enggak apa?" ucap Luna melihat Lika kini bercucuran keringan dingin. Wajahnya tampak pucat.
Dan Lika menggeleng sedikit."Kayaknya lo butuh kerumah sakit deh. Gue anter yah." tawar Luna tanpa basa basi menuntun Lika. Untuk berjalan sedikit cepat.
"Gue bawa mobil kok. Lo bawa ya. Maag gue kambuh lagi kayaknya." ucapnya serius sambil menyodorkan kunci mobilnya ke arah Luna. Luna mengangguk sedikit. Ia meraihnya. Berpikir tak ada salahnya. Toh Lika memang sedang tidak baik ia lihat.
***
Lima belas menit sudah Luna duduk di kursi tunggu. Menanti Lika di periksa dokter. Dan satu telepon masuk ke ponselnya. Membuat Luna meraih benda yang ia letakkan di dalam saku rok seragamnya. Nama mamanya muncul. Luna menjawabnya dan menempelkan benda itu ditelinga kirinya.
"Hallo Lun? Dimana kamu? Kok belum pulang?" tanya mamanya. Luna menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tak biasanya mamanya menanyakan dirinya pulang tak pulangnya.
"Bentar lagi mah. Temanku sakit. Jadi nungguin dia." jelasnya serius.
"Oh ya udah. Cepat. Mama tunggu nih." ucap mamanya.
"Iya mah." sahut Luna dan setelahnya terdengar sambungan telepon dimatikan.
Luna kembali memasukan benda itu kedalam tasnya. Lalu beralih pandang ke arah pintu tempat Lika diperiksa. Gadis itu muncul bersama seorang perawat. Sontak saja Luna berdiri dan menghampirinya.
"Gimana? Lo nggak apa kan?" tanya Luna dengan nada khawatir. Lika tersenyum sedikit. Mengangguk.
"Gue enggak apa,"
"Makasih sus," ucapnya ke arah suster yang mengantarnya tadi
Suster tersebut mengangguk dan beranjak pergi meninggalkan keduanya."Makasih Luna. Gue enggak tahu kalo enggak ada lo. Gue mungkin udah pingsan disana." jelasnya serius. Luna hanya mengangguk sedikit.
"Sama-sama. Mending gue telpon mama lo deh. Kabari," sahut Luna serius. Lika menggeleng sedikit tersenyum.
"Enggak Lun. Mereka sibuk dan gue enggak mau mereka khawatir." jelasnya serius. Luna diam sejenak. Ia ragu uluntu
"Kok gitu sih. Setidaknya lo kasih kabar. Udah parah gitu maag nya." Kata Luna merasa tak terima. Lagi lagi Lika menggeleng.
"Lo pulang aja. Gue udah bisa pulang sendiri kok. Makasig banget." jelasnya serius.
"Gue telpon irwan aja yah. Biar dia jemput lo disini?" tawar Luna. Raut muka Lika berubah. Ia menatap Luna dalam dalam. Lalu detik berikutnya ia tersenyum.
"Gue berantem sama dia, dan gue udah kuat kok. Gue serius lo pulang aja." ucapnya serius. Luna tak bisa menolak. Ia mengangguk sedikit.
"Ya udah lo hati hati yah
Gue cabut dulu." ucap Luna serius. Mundur dari tempat berdirinya dan berjalan menjauh. Meraih ponselnya. Menggulir layarnya dan mencari nama Irwan disana. Dan menelponnya. Tak cukup lama Irwan menjawabnya."Hallo Lun?" suara cowok itu terdengar samar doseberang sana.
"Lo bisa jemput lika nggak? Dia lagi dirumah sakit. Maag nya kambuh. Dia masih pucat banget. Gue juga nggak bisa ajak dia pulang. Buru buru soalnya. Lo jemput yah," jelasnya tanpa basa basi.
"Oh oke Lun." sahut Irwam sontak membuat Luna tersenyum.
"Cepat yah. Makasih Wan. Gue tutup." Luna menutup sambungan telpon itu dan mempercepat langkahnya.
***
Baru sampai. Mamanya sudah menunggu didepan pintu masuk. Luna tambah bingung
Tak biasanya Mamanya seperti itu. Kalau tak ada sesuatu yang membuat Luna merasa tak enak hati."Lama banget sih Lun?"
"Mama karatan nih nunggu nya." jelas mamanya mengikuti Luna masuk.
"Kenapa emangnya ma?" tanya Luna heran. Berdiri didepan mamanya. Memasang muka heran.
Melihat mamanya mengeluarkan ATM milik nya yang ia cari tadi."Pinnya. Mama butuh ini?" Gleekk. Luna menelan ludahnya susah payah. Jadi benda itu ada ditangan mamanya sekarang
"Buat apa ma? Dan aku nggak tahu." jelasnya serius. Mama menatap Luna tajam.
"Telpon papa cepat. Mama butuh buat gaji Yuli."
"Mama nggak punya uang. Kamu mau Yuli mama pecat?" jelasnya serius. Luna mengerjitkan dahinya. Ia heran. Mamanya memang sudah berubah total.
"Biar aku yang bayar," Luna meraih benda itu dari tangan mamanya. Dan kembali berjalan.
"Eh nggak bisa. Mama juga butuh uang itu." jelas mamanya kembali membuat Luna menghentikan langkahnya. Menoleh serius?
"Aku nggak tahu pinnya mah. Dan ini mau mama kembaliin ke papa." jelasnya serius. Membuat mamanya menatap Luna serius.
"Mama mau ambil buat makan kamu. Jangan keras kepala Luna." jelasnya penuh penekanan pada semua ucapan yang ia lontarkan.
"Aku bisa kasih uang makan itu ke mbak Yuli. Mama jangan cari alasan kalau nyatanya mama mau arisan nggak jelas itu lagi kan. Mau kasih teman mama barang barang mahal itu lagi kan?" ucapnya sontak membuat satu tamparan mendarat di pipi Luna. Cukup kuat. Mata Luna membulat. Tamparan mamanya terasa cukup sakit memang.
"Dasar anak durhaka. Itu bukan urusan kamu." jelasnya. Luna menelan ludahnya susah payah. Melihat mamanya beranjak pergi dengan langkah cepat. Meraih tasnya di atas meja. Dan menghilang dibalik pintu masuk. Dari arah kejauhan Yuli melihatnya serius. Lalu mendekat.
"Luna nggak apa?" tanyanya.
"Nggak apa mbak?" Luna tersenyum sebisa mungkin. Ia memang salah karena sudah lancang dan tak seharusnya dia berkata seperti itu.
"Oh yah. Emang mbak belum digaji mama?" tanya Luna serius. Yuli diam sejenak. Lalu mengangguk.
"Belum. Udah tiga bulan Lun." Luna melotot serius. Ia tidak salag dengar bukan?
"Astaga mbak. Kok nggak mbak kasih tahu sih?" ucapnya serius. Yuli menggeleng sedikit.
"Dan tadi mbak dengar katanya toko bunganya dijual." ucap Yuli lirih. Sontak saja Luna kembali melotot.
"Apa? Mama udah gila yah?" Luna tak habis pikir. Bagaimana bisa mamanya menjual toko itu.
"Udah dibeli orang Lun. Tu barang barangnya udah digudang semua. Dibawa tadi pagi." jelasnya serius. Luna beranjak pergi. Berjalan ke arah gudang dan benar saja. Sebagian barang di toko sudah pindah kesana.
Luna terdiam membeku. Ia tak habis pikir apa yang di lakukan mamanya itu sekarang.
"Mbak aku pergi?" Luna beranjak keluar.
"Lun. Makan dulu?" teriak Yuli. Luna menggeleng. Berlari keluar. Ia akan ke toko dulu. Memastikan semuanya. Mesti semuanya udah jelas.
****
Terimakasih
Abaikan typo dan segala macem. Haha