Chapter 11 (Dingin)

424 38 3
                                    

Menghindari Papanya bukan hal yang baik. Toh, sejak pulang sekolah Papanya sudah di rumah Luna. Dan lagi-lagi Luna terpaksa mengikutinya. Tanpa sepatah katapun Luna sudah menjalani semua pengobatan yang disuruh Papanya. Dan mobil itu akan membawanya kembali pulang. Luna bersyukur semua cepat berlalu. Dan kesialan Luna meningkat 100% menghindari tadi sore, berakhir dengan ketinggal jam les malam ini. Memang menyebalkan.

Luna menyandarkan pungungnya di sandaran kursi mobil Papanya sejak tadi, menatap ke arah jalan yang dilaluinya. Berat dan sangat berat. Hanya itu yang terlintas di kepalanya. Hidupnya begitu berat. Padahal ia belum menginjak umur 16 tahun. Ia sudah merasa bosan dengan kehidupannya.

"Kita makan di mana dulu Lun?" Papanya menoleh ke arah Luna yang masih fokus ke depan. Ia tak sadar akan ucapan itu.

"Nanti pas mau sesuatu bilang Papa aja."

"Uang kamu masih ada?"

"Nanti papa transfer lagi kalau kurang."

"Aluna? Jawab dong Papa." suara papanya yang mulai meninggi sontak membuat Luna menoleh. Sedikit kaget.

"Oh, enggak ada Pa, nggak butuh apapun." sahutnya terdengar dingin. Papanya mengangguk. Bukan sekali dua kali lagi ia mendapat perlakuan dingin sama anak satu-satunya ini.

"Dan Papa beliin ponsel baru tu sama buku." tunjuknya ke arah bangku belakang. Luna menoleh serius ke arah tatapan Papanya. Melirik satu kantong plastik berisi buku kumpulan soal dan satu paper bag bewarna coklat yang berisi ponsel itu. Ia tak butuh itu. Ia butuh les ditempat yang mahal sekarang. Tapi ia tidak mungkin mengatakan hal itu pada Papanya. Papanya tidak akan menolak tapi hatinya yang menolak.

"Kemaren Papa beliin Alie ponsel, ingat kamu juga. Jadi warnanya Papa bedain." jelasnya. Luna tersenyum samar. Ia benci mendengar nama itu disebut. Orang yang merebut Papanya dengan sebutan Papa juga.

"Dan semuanya sudah oke, tinggal di pake. Papa tahu kamu nggak mau ribet. Yang lama simpan aja." ucap Papanya tersenyum sedikit. Luna masih diam. Memikirkan ucapan Papanya kalau Papanya hanya membelikannya karena kebetulan. Luna kembali tersenyum samar. Memang tidak menarik sekali hidupnya. Dering ponselnya membuat Luna menoleh ke ponsel yang ia letakan di pangkuannya itu, melihat nama Fandu muncul di layar ponselnya. Luna mengeser layar jawab, menempelkan benda itu di telinganya.

"Lun, dimana? nggak masuk lu?" suara Fandu terdengar samar di seberang sana. Ia pasti sedang di kelas. Terdengar cukup heboh. Mungkin sedang istirahat untuk sesi kedua.

"Enggak Fan, gue lagi sama Papa," ucapnya serius.

"Ohh. Oke,"

"Iya." sahut Luna singkat.

"Ya udah, see you yah. Semangat. Gue tutup." ucapnya menutup teleponnya, Luna menurunkan ponselnya, memasukan kembali ke dalam tas yang di bawanya. Kembali menatap lurus ke depannya.

"Kapan sih Lun? Tanyain kabar Papa. Papa baik? Papa di mana? Aku boleh minta beliin ini itu nggak?" suara Papanya merendah, Papanya menarik napas berat dan menghembuskan perlahan. Luna masih diam. Ia memang tak pernah menanyakan hal itu pada Papanya. Memang tidak pernah.

"Papa pasti bahagia banget dengarnya." sambung Papanya. Luna masih diam. Papanya ikut diam. Hingga tiba di depan rumahnya. Papanya Menepikan mobilnya di depan gerbang rumah Luna. Luna hendak turun dan Papanya meraih barang pembeliannya dan menyodorkan ke arah Luna.

"Papa nggak apa ditolak. Tapi barang Papa jangan yah," lirihnya. Luna diam, ia menatap lelaki paruh bayah itu yang kini tersenyum ke arahnya, detik berikutnya Luna terpaksa meraihnya.

"Makasih Pa, dan hati hati." ucapnya serius. Papanya mengangguk sedikit tersenyum. Luna turun dari mobil Papanya dan di ikuti Papanya di belakang.

"Semangat belajar yah. Jangan mau kalah sama teman." ucapnya lagi. Luna hanya diam. Berjalan masuk. Membiarkan Papanya yang kini diam mematung di sana. Anaknya masih membenci dirinya.

Yes or No (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang