Bagian 19 (pindah?)

333 32 4
                                    

***

Selamat membaca

*#*

Luna sibuk dengan ponselnya di meja makan. Ia menunggu email masuk dari Fandu. Sudah dua bulan cowok itu hilang tanpa kabar. Dan Luna juga tidak tahu Fandu kemana.

"Lun! Dari kemaren sibuk sama ponsel saja. Mama nggak mau dengar lagi yah kamu kalah sama anak kemaren itu. Yang sok belagu nyalahin kamu itu." ucapnya mama Luna sontak membuat Luna menoleh serius.

"Namanya Fandu mah. Bukan anak kemaren. Terus mama nggak usah khawatir lagi. Fandu udah pindahin ke Amerika sama mama nya." balasnya sontak membuat Yuli menoleh serius.

"Pindah? Wah bagus lah. Mama senang banget dengarnya. Dengan begitu mama bisa tidur nyenyak." balasnya membuat Luna menatap mamanya tak percaya.

"Fandu itu baik mah. Disekolah aku sama teman aku yang lain dekat banget sama dia. Dia juga dewasa. Satu sekolah kehilangan dia mah. Mama malah bersyukur nggak ada dia. Aku nggak juara itu bukan karena dia. Tapi belajar aku udah menurun. Dan aku malu banget sama dia saat mama bilang gitu ke dia. Tapi dia maafin mama gitu aja. Trus dia juga nggak pernah bahas masalah itu sampai detik ini. Dan mama nya juga baik banget sama aku. Beda banget sama mama." Luna berdiri.

Mamanya menatap Luna tak percaya.

"Kamu kerumah anak itu. Ketemu mamanya juga." tanya mamanya tak percaya. Luna mengangguk mantap.

"Yah. Sering. Hari ini aku juga mau kesana mampir. Mamanya baik. Ramah dan pasti beda 100 persen dari mama." balas Luna serius.

"Luna kamu nggak boleh kesana." teriak mamanya. Luna tersenyum samar.

"Kenapa ma. Mama nyuruh aku ngapain dirumah. Diam. Pas aku ultah aja mama liburan keluar negri. Mama Fandu masakin aku masak enak. Kasih kado. Lah mama?" Luna beranjak pergi.

"Kamu punya hubungan apa sama Anak itu." ucap mamanya membuat Luna menghentikan langkahnya. Menunjukan cincinya.

"Pacaran..." balasnya beranjak pergi membuat mamanya dan Yuli menatapnya tak berkedip. Saling pandang.

Tak lama kemudian Luna muncul membawa tas kecil dan membawa sepatu. Memasangnya dan beranjak pergi.

"Aku mau kerumah Fandu. Pulang jam lima sore." pamitnya kearah Yuli dan mamanya yang masih diam tak berkutik. Melihat Luna beranjak pergi dan menghilang.

Sampai diluar rumah Luna menarik napas berat dan menghembuskan perlahan.

Selalu begitu. Padahal ia ingin sekali berbaikan dengan mamanya. Luna mulai memasang helmnya dan memacu motornya.

Tiga puluh menit kemudian Luna sudah berada didepan rumah Fandu. Memencet bel nya beberapa kali. Tidak ada jawaban. Hingga satu tepukan dari Lika sontak membuat Luna menoleh serius.

"Hay Lun?" sapanya ramah. Luna mengangguk sedikit tersenyum.

"Lo udah baikan?" tanyanya refleks ingat kejadian beberapa waktu lalu. Dan sejak itu mereka juga tak bertemu.

"Udah Lun. Mau kerumah Fandu yah?" tanya nya serius. Luna mengangguk pelan.

"Iya. Tapi kok kayaknya kosong?" tanya Luna heran. Lika mengangguk pelan.

"Dua hari lalu. Kakak Fandu kecelakaan. Mungkin mamanya masih dirumah sakit. Lo kesana aja. Kemaren sore Fandu juga balik ko. Lihatin kakakbya. Dia nggak nyamperin lo?" jelas Lika sontak membuat Luna diam. Ia menggeleng sedikit. Ia tidak tahu masalah ini sama sekali.

Kabar Fandu pulang saja ia tidak tahu. Bagaimana bisa Fandu tidak mengunjunginya walau hanya sejam saja. Padahal ia sudah berharap banyak.

"Samperin aja kesana. Rumah sakit tempat mamanya kerja kok. Fandu juga pasti ada disana. Kemarin malam dia bilang mau berangkat besok pagi." tambah Lika. Luna mengangguk sedikit.

"Oh iya deh. Makasih Ka. Gue cabut." Luna kembali masuk ke motornya. Sialnya kembali meningkat.

Dan Luna memilih ke makam kakaknya. Bercerita banyak hingga sore menjelang. Dan pulang setelah berkeliling toko buku

***

Langkah Luna terhenti saat hendak masuk kedalam rumahnya. Papanya sedang duduk di sofa diruang tengah. Menatapnya tersenyum.

"Sudah pulang?" sapanya serius. Luna mengangguk sedikit.

"Papa kok disini?" tanyanya dingin.

"Papa kesini mau jemput kamu."ucapnya serius. Alis Luna terangkat tak mengerti.

"Kemana? Lain kali saja yah pa. Aku capek, " ucapnya serius. Papanya tersenyum. Menunjuk ke dua koper di samping Yuli.

"Mulai sekarang kamu tinggal sama papa. Kamu lupa janji kita dulu." ucapnya berdiri berjalan mendekat ke arah Luna. Alis Luna terangkat. Ia menatap Yuli yang kini menatapnya tak berkedip.

"Janji?" ulang Luna terbata.
Ia rasa ia tak punya janji.

"Iya. Kan kita janji kalau umur Luna 16 tahun dan harus tinggal sama papa. Dan mama udah nyuruh juga. Katanya kamu mulai aneh." balasnya serius. Luna menggeleng serius. Ini memang janjinya dulu. Ia ingat. Tapi bukan sekarang. Dan ia tidak mau.

"Pa. Aku masih mau tinggal sama mama." balasnya.

"Rumahnya mau dijual Lun. Dan mama mau tinggal di bogor." ucap papanya sontak Luna menggeleng cepat.

"Enggak. Aku nggak mau pa. Aku tetap disini sama mbak Yuli. Aku nggak mau tinggal sama papa dan wanita itu."

"Papa kan banyak uang. Beli saja rumah ini. Dan aku nggak bakal pergi." ucapnya menarik kembali kopernya dan membawanya pergi.

Diikuti papanya dari belakang.

"Dengarin papa! Papa nggak punya uang 1M buat lunasin utang mama kamu. Ini salah satu usaha papa buat bantuin mama kamu." ucapnya serius. Alis Luna terangkat. Menghentikan langkahnya. Menatap papanya serius.

"Dengan menjual rumah ini." ucap Luna serius. Papanya mengangguk.

"Yah...dan mama juga udah nyuruh Yuli pergi ke kampungnya ." tambahnya sontak membuat Luna menatap Yuli yang kini menunduk.

"Mbak. Itu beneran?" tanya Luna serius. Mau tak mau Yuli mengangguk sedikit.

"Mau ikut mama ke Bogor? Belum tentu kamu bisa kuliah disana. Ini jalan terbaik lun." jelas papanya serius. Luna terdiam. Ia mengusap air matanya kasar. Sialnya makin meningkat. Ketiganya diam.

"Ya udah papa cariin aku kos saja sama mbak Yuli." balasnya kesal.

"Enggak Lun. Kamu sama papa. Rumah papa sepuluh kali lebih besar dan bunda juga baik. Dia udah beresin kamar kamu dan kita juga sudah setuju untuk membawa Yuli." ucapnya tegas sontak membuat Yuli menoleh serius.

"Oke aku mau kalau mbak Yuli dibawa." balasnya serius. Menyeka air matanya.

"Ayo mbak." balasnya jutek. Papanya menarik napas berat dan menghembuskan perlahan.

"Papa bawa aja barang kita dulu. Aku mau ketemu mama dulu."

"Dia di bogor Lun. Besok saja. Semua alat kamu udah mbak kemas. Rumahnya mau ditempatin besok." jelas Yuli angkat bicara. Luna menoleh kesal. Menarik kopernya.

"Sial banget yah mbak hidup aku ini. Kadang aku pengen mati aja." ucapnya kesal membuat papanya terdiam.

"Kadang aku pengen ilang biar kalian..."

"Lun sudah." cegah Yuli serius. Luna menggaruk kepala nya serius dan beranjak pergi keluar dari kamarnya.
Merasa kesal sendiri dengan hidupnya.

***

Maafkan typo...

Hhaahaha

Yes or No (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang