Arlaya
Aku siap dengan kaus biru langit dan jeans juga sepatu Vans warna beige sebagai alasnya. Mengapa begitu siap? Sedangkan ini masih pukul 8 pagi?Bunda memintaku menemaninya check up kesehatan karena ayah sedang mendapat tugas diluar kota selama seminggu dan aku yang akan menemaninya hari minggu ini.
Aku turun dari kamar dan segera menuju kekamar bunda dan mengetuknya terlebih dahulu.
"Bun, Arlaya udah siap." Ucapku dan tak lama kemudian bunda membuka pintunya dan tersenyum kearahku.
"Yuk, kamu nyetir ya?" Ucapnya memberikan kunci mobil miliknya dan aku menerimanya seraya mengangguk. Lalu setelah itu kami beriringan keluar dan tak lupa mengunci pintu untuk berjaga - jaga.
Kami memasuki mobil dan memasang sit belt dan aku menyalakan mesin mobil sebelum akhirnya mobil perlahan berjalan keluar rumah dan semakin jauh semakin meninggalkan daerah komplek perumahan.
Rumah sakit hanya berjarak 2 km dari rumah. Setelah sampai aku langsung memarkirkan mobil di basement dan aku dan bunda langsung keluar dari mobil dan tak lupa untuk mengunci mobil, lalu menaiki lift yang tersedia di basement.
Saat sudah ada di dalam gedung, aku mengikuti bunda kearah resepsionis terlebih dahulu untuk mengkonfirmasi janji pada dokter check up dan setelah mendapat izin kami langsung naik lift satu lantai lagi.
Sesampainya di lantai yang dituju. Kami kembali berjalan menuju ruangan check up.
Aku berjalan dibelakang bunda dan ditengah - tengah berjalan, aku menatap kearah ruangan nomor 18 dengan tulisan 'Ruang Psikiater'. Pintu ruangan tersebut diberikan kaca yang persegi panjang yang di posisikan vertikal sehingga orang lain pun bisa mengintip apa yang di dalam ruangan tersebut.
Sekilas aku menatap sedikit kearah kaca tersebut dan cukup terkejut melihat sosok didalam yang sedang bersandar pada sofa dengan psikiater perempuan didepannya itu. Sosoknya mirip dengan Alavan. Seusai melihatnya sekejap, aku langsung menggeleng dan mencoba membuang pikiran negatif dari itu semua. Kalau itu memang Alavan, mungkin ia sedang punya masalah yang tentu saja aku tak tahu. Tapi dilihat dari wajahnya ia tampak tak mau ditanya dan terlihat marah. Ah sudahlah.
Aku kembali mengikuti jalan menuju ruangan check up dan bunda menyuruhku untuk menunggu diruang tunggu sementara karena peraturan dari rumah sakit untuk tidak masuk kedalam ruangan jika bukannyang berkepentingan.
Akhirnya aku duduk disebuah kursi tunggu dengan ponsel yang kupegang dan tak lupa memasangkan earphone untuk menghapus rasa bosan selagi menunggu bunda.
Dan saat aku melamun, entah mengapa aku teringat dengan ruangan psikiater tadi. Ini sungguh aneh mengapa ini malah membekas dipikiranku, padahal jika orang berkonsultasi ke psikiater itu bukan tentu mereka gangguan mental kan? Bisa saja hanya karena terlalu banyak beban pikiran.
Hingga tanpa sadar, akhirnya bunda keluar dari ruangan dan mengajakku untuk pulang dan aku mengangguk, lalu berjalan kearah apotek rumah sakit dahulu karena kata bunda ada obat yang harus ia beli dahulu karena resep anjuran dokter.
Bunda menyuruhku untuk duluan ke mobil karena ia mungkin akan agak lama di apotek, aku mengangguk dan berjalan duluan menaiki lift menuju basement dan setelahnya aku memasuki mobil seraya menguncinya.
Didalam basement, aku mengetikkan pesan untuk bunda.
Arlaya: Bun, aku pindah di parkiran aja ya?
Bunda: Iya Arl kamu tunggu disana aja.
Setelahnya aku tak membalas lagi dan menyalakan mesin, lalu menjalankan mobil keluar dari basement yang membuatku kekurangan sedikit oksigen dan setelahnya aku kembali memarkirkan mobil di bawah pohon rindang dengan oksigen yang lebih baik daripada basement tadi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Obsessed [COMPLETE]
Teen FictionObsesi, adalah keinginan akan sesuatu disertai usaha keras bahkan terkesan memaksa untuk mencapai keinginannya itu. Obsesi merupakan sebuah keinginan yang disertai tindakan emosi yang tidak terkendali atau berlebihan serta tidak beralasan untuk mewu...