5. Baper

54.9K 6.7K 796
                                        

Kulirik jarum jam. Sudah pukul sembilan malam. Sebentar lagi distro tutup. Biasanya ayah sudah datang menjemput. Ini belum sampai juga. Vida mengambil jaket lalu mengenakannya.

“Ayahmu belum datang, Dir?” tanyanya sembari menarik resleting jaketnya.

“Iya, nih. Tadi udah WA sih, katanya lagi di jalan.”

“Dir, aku duluan, ya. Aku mau ngerjain tugas, besok pagi mesti dikumpulin.” Vida menjinjing tas punggungnya lalu terburu-buru mendekat ke arah pintu.

Assalamu’alaikum.”

“Wa'alaikumussalam.”

Kupandangi derap langkah Vida yang tengah menyeberang jalan.

“Ayahmu belum datang, Dir?”

Suara yang terdengar familiar dalam dua hari ini membuyarkan konsentrasiku yang tengah memasukkan buku ke dalam tas. Aku lupa, masih ada Mas Revan di sini. Astaghfirullah...

“Iya, Mas. Tadi waktu berangkat sih ngabari di whatsapp. Tapi ini belum sampai juga.”

Aku merasakan ada kecanggungan menguar begitu kental. Rasanya tak nyaman berada di ruangan berdua dengan Mas Revan.

“Mas, saya nunggu di luar, ya.” Aku bersiap melangkah.

“Dira...”

Aku menghentikan langkahku. Aku merasa semakin tak nyaman saat Mas Revan melangkah mendekat.

“Biar saya saja yang di luar. Kamu di dalam saja. Di luar dingin. Kamu bisa manfaatin waktu dengan membaca atau main hape. Saya akan menunggu di luar sampai ayah kamu datang.”

Aku merasa tak enak sendiri.

“Saya saja yang di luar, Mas.”

“Kamu turuti saya saja. Kamu tunggu ayah kamu di sini. Saya akan menunggu di luar.”

Kalau sudah begini, aku hanya bisa menurut. Mas Revan membuka pintu dan keluar ruangan. Ia mematung di emperan. Sebagai atasan, Mas Revan memang begitu perhatian pada bawahannya. Dia tidak hanya perhatian padaku, tapi juga karyawan yang lain.

Kendaraan masih terlihat hilir mudik, tapi ayah belum juga tiba. Aku mengirim satu pesan padanya. Aku menanyakan kenapa ayah belum tiba jua. Tak lama setelah aku kirim WA, ayah membalas whatsapp-ku.

Ayah lagi di bengkel. Ban motornya bocor. Tunggu sebentar ya, Nak.

Rupanya ban motor ayah bocor. Pantas saja ayah belum datang.
Rasanya bosan menunggu. Aku melihat-lihat aksesoris yang dijual di distro ini. Perhatianku terfokus pada gelang karet yang menurutku unik dan lucu. Beberapa kali aku melihat mahasiswi mengenakan gelang seperti ini. Saat aku berbalik, aku tak sengaja menyenggol manekin yang mengenakan kaos rancangan terbaru dari distro ini. Aku kaget saat manekin itu terjatuh dan mengeluarkan bunyi yang cukup keras.

Mas Revan yang tengah berada di luar bergegas masuk ke dalam. Ia membantuku mendirikan manekin itu.

“Kamu nggak apa-apa, Dir?” tanya Mas Revan dengan raut wajah yang terlihat cemas.

Alhamdulillah, nggak apa-apa. Maafkan saya, Mas. Saya ceroboh nyenggol manekinnya, sampai jatuh gini.” Aku menunduk. Rasanya begitu sungkan jika harus menatap pemilik distro ini.

“Nggak perlu minta maaf. Kamu juga nggak sengaja nyenggol.”

Hening sesaat.

“Oya, kamu ambil jurusan apa?” tanyanya seakan memecah kesunyian.

“Manajemen, Mas.”

Dia tersenyum dengan lesung di pipinya.

“Dulu saya juga mengambil jurusan itu. Sama seperti kamu, dulu saya kuliah sambil bekerja juga. Awal mendirikan distro itu karena saya suka jualan kaos dan kemeja. Awalnya jualin produk orang, lama-lama nyoba design sendiri dan menjual secara online. Sampai akhirnya usaha saya semakin berkembang.”

Adira-Axel (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang