Kulangkahkan kaki menuju halaman rumah. Suasana lengang. Ayah dan bunda pasti tengah nenyiapkan dagangan untuk nanti sore. Adika sepertinya belum pulang dari sekolah.
“Assalamu'alaikum.”
“Wa'alaikumussalam.”
Kudengar suara Ayah dan Bunda kompak menjawab salamku. Kubuka sepatuku, lalu aku letakkan di rak. Aku menuju dapur. Ayah dan Bunda tengah menyiapkan pesanan catering. Kucuci tanganku di wastafel. Aliran air kran terasa begitu menyejukkan.
“Sudah pulang, Dir?” Bunda tersenyum padaku.
“Iya, Bun. Dira nggak ada kuliah siang.”
“Makan dulu, ya,” ujar Bunda lagi.
Aku mengangguk. Setelah berganti baju, sholat Dhuhur, dan makan siang, aku membantu Bunda menyiapkan barang dagangan. Ayah mengantar pesanan catering. Ada kotak yang diletakkan di jok motor bagian belakang untuk memudahkan mengangkut kotak-kotak menu.
Ayah punya impian untuk kembali membangun rumah makan yang menyediakan jasa catering dan delivery order. Alhamdulillah meski belum ada rumah makan, usaha catering keluarga kami mulai diminati pelanggan-pelanggan baru. Saat ini Ayah dan Bunda masih mengerjakan berdua. Kata Ayah, dia berencana untuk merekrut pekerja untuk membantu usahanya.Selesai membantu Bunda, aku duduk sejenak di ruang tengah. Masih ada waktu untuk beristirahat sejenak sebelum berangkat kerja.
“Dira, bos kamu ngasih bonus sepatu dua pasang?” tanya Bunda melirik sepatu dari Axel yang aku letakkan di rak.
Aku mengerti kenapa Bunda bertanya seperti ini. Kenapa aku tidak memikirkan hal ini sebelumnya? Apa yang harus kukatakan?
“Mas Revan cuma ngasih sepasang.”
“Terus itu sepatu dari mana? Perasaan yang dari Mas Revan warna abu-abu, ya? Ini warna navy.”
Aku gelagapan. Bagaimana menjelaskan semua ini ke Bunda?
“Ini...ini sepatu dari teman,” balasku dengan berusaha tetap tenang.
“Teman yang mana?”
Mendadak lidahku kelu. Apa yang harus aku jawab? Aku takut Bunda marah.
“Axel,” jawabku pelan.
Bunda mengernyitkan alisnya.
“Axel siapa? Cowok?”
Raut wajah Bunda tak terbaca, apakah dia marah atau tidak. Ekspresi wajahnya masih saja datar. Namun aku tahu, Bunda begitu penasaran.
Aku mengangguk, “Iya, cowok.”“Dia ngasih Dira sepatu dalam rangka apa?”
Aku bisa membaca rasa ingin tahu yang begitu besar tergambar dari setiap gurat di wajahnya.
“Dia... Dia bilang termotivasi untuk mencari penghasilan mandiri. Dia terinspirasi Dira yang kuliah sambil bekerja. Dia belajar bekerja. Dia ingin Dira ikut menikmati hasil jerih payahnya.” Aku mencoba menjelaskan dengan kata-kata yang tepat agar Bunda tidak berpikir macam-macam.
“Beneran itu alasannya? Dira menerima gitu aja barang pemberian cowok?”
Pertanyaan Bunda seakan menyalahkan sikapku yang menerima pemberian Axel.
“Dira terima karena untuk menghargai pemberiannya. Dia udah bekerja keras. Kalau Dira menolak, itu akan membuatnya sedih.”
Bunda terdiam sejenak. Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal pikiran Bunda. Kok aku jadi deg-degan gini ya?
“Terus sepatu yang bonus kinerja kamu mana?”
Aku kembali gelagapan. Pertanyaan Bunda terdengar seperti mengintogerasi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Adira-Axel (Completed)
Ficção GeralRank #1 muslimah-26/11/2019 Rank #1 religi-16/04/2019 Rank #1 kehidupan-14/07/2019 Rank #2 lifestory-29/06/2019 Rank #2 kehidupan-07/07/2019 Rank #2 hijab-02/01/2020 "Kerudungnya lebar amat, apa nggak gerah? Pakaianmu itu kuno, kayak emak-emak. Sese...