#19 : We Just Friend

270 19 12
                                    

Kriiiing! Bel tanda pulang berbunyi. Tanpa pikir panjang, kutarik lengan Raisa dan kuajak ke kantin. Raisa terlihat malas. Tapi biar deh.

Kulihat di kantin sudah ada Dito yang sedang memainkan smartphone-nya. Tapi bukan main game. Saat ia melihat aku sudah tiba di kantin, ia langsung meletakkan smartphone-nya dan tersenyum. Kenapa aku malah geli ya ngeliat senyumnya?

Raisa yang tadinya memberontak langsung diam. Kemudian kami duduk di sebelah Dito. Raisa kusuruh duduk duluan supaya dia bisa berdampingan dengan Dito. Tapi dia malu-malu. Terpaksa sedikit kudorong tubuhnya.

Mungkin karena dia lemes ngeliat pujaan hatinya, dorongan dariku membuat tubuhnya jatuh menimpa Dito! OMG! Ini kayak adegan di novel atau film! Aku aja gak pernah sama Arfan (pfft!).

"Aduh! Maaf, To. Ini gara-gara Rania dorong-dorong badan aku. A... aku kan jadi jatuhin kamu. Maaf, ya!"

Aku semakin gemas melihatnya karena Dito malah salah tingkah. Baru kali ini kulihat Dito salting. Mukanya gak banget! Kemudian terjadi keheningan dan kekakuan di antara mereka.

"Ayo dong jangan kaku-kakuan gitu. Ini ngerjain tugasnya jadi nggak? Keburu sore lho," ujarku memecah keheningan.

Saat mengerjakan tugas pun mereka tetap saling diam. Mungkin Raisa malu dan tak tahu mau ngomong apa. Sementara Dito pun mungkin masih salting dengan kejadian kejatuhan Raisa tadi.

"Sa, kamu bisa ajarin aku matematika nggak? Kamu kan pinter matematika. Boleh nggak?" kata Dito memecah kesunyian. Yes! Akhirnya aku bisa bikin Dito ngomong ke Raisa duluan. Gak sia-sia pulang kesorean.

"Eh... Emm... Bisa kok. Tapi kalo matematika itu butuh latihan banyak. Jadi, kamu harus rajin latihan soal biar bisa terbiasa ngerjain soal susah kayak ulangannya Bu Nari. Emang kamu bisa?" kata Raisa. Baru kali ini aku liat Raisa ngobrol sama cowok. Biasanya, kalo ngomong panjang lebar gini cuma sama aku aja.

"Jangan gitu dong. Aku kan rajin. Memang di sini keliatannya nge-game mulu. Tapi kalian gak tau sebenernya aku kalo di rumah tuh ya, ngabisin waktu aku buat belajar, belajar, dan belajar. Sampai lupa waktu makan, mandi, tidur..."

"Halah! Banyak omong! Udah cepetan kerjain tugasnya. Nanti aku keburu diomelin ibuku gara-gara pulang kesorean," selaku.

"Manja banget sih. Udah lah nanti kan aku anterin. Searah 'kan rumah kita?" kata Dito.

"Eh, bentar ya ada telpon dari ibu aku," kataku. Padahal sebenernya aku pura-pura. Aku udah chat ibuku sebelumnya supaya nelpon aku.

"To, Sa, aku pulang duluan ya. Aku udah ditungguin ibuku di depan, nih. Diajak belanja. Duluan, ya... Daaah!" pamitku. "Oh iya, To. Titip sahabatku yang tercinta ini ya. Nanti anterin pulang, lho. Kalo nggak, nanti Raisa aku larang ngajarin kamu matematika. Oke?"

"Iya iya. Udah sana, katanya ditungguin ibumu. Sana!" usir Dito. Gapapa deh diusir, yang penting Raisa bisa deket sama Dito.

"Iya, bawel. Daahh!"

Sebenarnya aku enggak dijemput sama ibuku. Tadi itu cuma alasanku supaya Dito dan Raisa bisa berduaan dan pulang bareng. Pasti Raisa seneng.

Aku berjalan sendiri menuju pangkalan angkot. Sendiri. Kulihat ada pengendara motor yang sangat familiar. Itu kan Arfan? Tumben gak sama Nina? Dia lagi beli jus di depan minimarket. Aku lewat di depan minimarket itu. Aku pura-pura tak melihatnya. Aku takut gugup pas natap Arfan.

"Rania!" Ada yang memanggilku. Apakah itu Arfan? Aku berhenti berjalan. Kejadian ini mulai dramatis. Kuharap kejadian ini mirip seperti adegan di drama. Perlahan-lahan aku menoleh ke sumber suara—kuharap kalian membayangkan adegan ini.

"Ran! Sini!" Benar! Yang memanggil benar Arfan. Aku segera berbalik arah menuju Arfan.

"Lho kamu juga tumben gak bareng sama Nina? Biasanya kan sama Nina." Ingin sekali kukatai dia sebagai bucin. Tapi aku takut dia tersinggung dan gak mau ngomong lagi sama aku—tapi kayaknya berlebihan, ya.

"Iya nih. Aku lagi pengen sendiri. Memangnya aku harus sama Nina terus? Nggak, kan?" Memangnya mereka lagi berantem, ya?

"Em, gitu. Ya udah. Aku sekarang memang lagi pulang sendiri. Raisa lagi ngerjain tugas di perpus soalnya. Ya udah, aku duluan," pamitku. Saat aku akan berjalan menuju pangkalan angkot, ada yang menahan tanganku. Arfan.

"Eh, ada apa, ya Fan?" tanyaku sambil melihat tanganku yang dipegang oleh Arfan. Kurasakan jantungku berdetak kencang hingga aku merasa sesak. Aku harap dia tak mendengar napasku yang memburu dan jantungku yang berdegup kencang.

"Pulang sama aku aja. Kebetulan kan kita sejalan kan rumahnya? Aku udah mau pulang kok ini. Gapapa," kata Arfan sambil melepas genggaman tangannya. Aku terkejut bukan main. Apa dia bercanda? Apa aku lagi mimpi? Aku mencubit tanganku. INI BUKAN MIMPI!

"Apa nggak ngerepotin? Terus nanti Nina marah, lho."

"Nggaklah. Kan kita temen. Ayo," katanya dengan enteng. Kata-katanya tadi tepat menusuk telingaku. Teman katanya. Hanya teman. Itu saja. Tak lebih. Kurasakan diriku melambung tinggi lalu dijatuhkan lagi ke jurang yang sangat dalam. Oh, sabarlah Rania! Ini baru permulaan. Mungkin perasaannya akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Dan hanya waktu yang bisa menjawab.

Setidaknya aku pernah merasakan dibonceng oleh Arfan. Bahkan aku tak berani duduk berdekatan dengannya. Tanganku kubiarkan tergantung. Bukan memeluk pinggangnya. Ini bukan adegan di drama atau film. Rasanya sedih, tapi untuk apa sedih? Seharusnya aku tak terlalu berharap.

Apa-apaan kamu Rania?! Cuma begini aja galau? Kamu kan bukan siapa-siapanya. Kamu cuma TEMAN-nya! Gak lebih. Udahlah, lupain aja si Arfan. Logikaku berkata begitu. Tapi hatiku berkata lain...

Arfan tuh kejam banget sih? Aku sedih banget cuma dibilang temen sama dia. Iya aku beruntung pernah dibonceng. Tapi... Sebagai teman? Kapan dia peka? Aku sangat amat menyesal karena telah berharap dan berangan tinggi. Laki-laki semua sama aja! Kata hatiku dengan lebaynya. Sulit bagi cewek untuk mendengar logika. Jadi, kata-kata Arfan tentang sebatas teman tadi masih terngiang.

"Udah sampai, Ran," kata Arfan mengejutkanku.

"Eh iya, Fan. Makasih banyak ya... Jadi ngerepotin. Hati-hati ya, Fan," kataku.

"Iya, duluan ya," pamit Arfan sambil melambaikan tangan.

"Iya." Kak Keano yang membukakan pintu. Kebetulan hari ini Kak Keano gak ada kelas, jadi dia ada di rumah.

"Lho, bareng siapa tadi? Sama yang kemarin pas hari Minggu nganterin kamu pulang itu ya? Siapa namanya? Aku lupa," kata Kak Keano.

"Dito? Bukan! Udah deh gak usah nanya. Aku mau mandi," kataku sedikit kasar. Suasana hatiku sedang buruk. Mungkin Kak Keano kira aku sedang PMS. Jadi, dia akhirnya memilih untuk tak berkomentar lagi.


Hi, Readers! 💞
Author lagi sering update nih! Hehe...
Gimana? Semakin baper-kah sama ceritanya?
Kalo kalian penasaran sama kelanjutannya, ikuti aku di wattpad ya! @iindifa0106
Jangan lupa vote, comment, dan share di sosmed kalian, ya! Siapa tau ada temen kalian yang tertarik untuk baca cerita aku.

Spread love 💞

Cinta Sendiri [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang