"Rania, besok lagi kalau si Dito masih ngomong kasar ke kamu, ibu gak akan izinin kamu buat main bareng lagi sama dia. Oke?" kata ibu memperingatkanku. Sejak saat Dito berkata kasar, ibu menjadi tak begitu suka lagi dengan Dito. Seharusnya aku senang dengan sikap ibu yang sekarang. Tapi ada rasa yang mengganjal dalam hatiku. Tapi aku sendiri tak paham rasa apa itu. Belum pernah kurasakan sebelumnya.
"Iya bu," jawabku. Kemudian, aku beranjak ke kamarku. Aku beralasan mengerjakan tugas. Padahal hari ini tak ada tugas.
Aku memutuskan untuk chat Raisa saja. Tapi aku bingung, apakah aku harus menceritakan rasa mengganjal ini padanya, atau tidak. Aku takut dia marah, karena 'sepertinya' Raisa menyukai Dito. Akhirnya kuputuskan untuk tidak menceritakan rasa yang mengganjal dalam hatiku.
Aku melihat buku diary-ku teronggok di meja belajar. Berdebu sekali. Kuputuskan mulai detik ini aku menuliskan segala perasaanku di buku diary ini.
***
Pagi. Seperti biasa, aku siap-siap ke sekolah dan sarapan bersama ibu. Tapi, pagi ini tak seperti kemarin. Kemarin rame, ada Dito. Sekarang dia nggak datang. Mungkin dia takut keceplosan ngomong kasar lagi. Dia kan kebiasaan ngomong kasar di kelas.
"Ran, kok diem aja? Biasanya kan kamu suka nasihatin ibu tentang info makanan sehat yang sering kamu dapetin di buku. Ada masalah? Cerita sama ibu," kata ibu. Ibu selalu tau isi hatiku. Penerawang hatiku.
"Nggak ada apa-apa kok Bu. Aku cuma mikirin besok itu ulangan matematika yang aku gak paham materinya. Aku takut dapet nilai jelek Bu," jawabku sekenanya.
"Coba kamu tanya Kak Keano. Mungkin dia tau."
"Ah, Kak Keano mah selalu gak serius kalo ajarin aku. Udah ya Bu, aku berangkat dulu." Aku berpamitan. Kebetulan, makananku memang sudah habis. Selain karena makananku sudah habis, aku nggak mau diintrogasi lebih dalam lagi dengan ibu.
Aku menunggu angkot di halte. Aku melihat Dito lewat di depanku mengendarai motornya. Tak seperti biasa, Dito hanya melengos, tak menyapa sedikitpun. Padahal tadi dia melihatku. Perasaan aneh ini muncul lagi. Sangat mengganjal.
Sesampainya di sekolah, aku bertemu lagi dengan Dito di parkiran. Lagi-lagi dia melihatku. Tapi, dia melengos lagi. Aku tak habis pikir. Apa yang ada di pikirannya saat ini. Sikapnya berubah drastis. Kemarin, dia sangat ramah padaku. Sekarang? Melihatku saja sepertinya dia malas.
"Hai, Rania!"
"Hai, To! Eh... Maksudku Arga!" Tuh kan, gara-gara mikirin Dito yang sikapnya berubah, jadi malu sama Arga. Fokus dong, Ran!
"Cieee, yang daritadi mikirin Dito! Dito kayaknya juga dari kemarin mikirin kamu elo terus, Ran! Wah, jodoh kali ya? Hehe..." Kumat deh si Arga jailin aku.
"Apaan sih, Ga! Siapa juga yang mikirin Dito? Mending aku mikirin ulangan matematika besok."
"Emangnya besok matematika ulangan ya? Ya ampun, kok gue bisa lupa sih?" seru Arga sambil menepuk dahinya.
"Ah, kalo kamu sih mana ada mikirin ulangan. Yang ada di otakmu kan cuma game! Yakan?"
"Itu elo tau. Makanya, besok gue liat jawaban lo ya! Hehe..."
"Aduh, ngapain ya aku tadi ngomongin ulangan matematika. Kamu jadi minta aku liatin jawabanku besok deh."
Sesampainya di kelas, tak seperti biasanya, Dito duduk sendirian, tak bergerombol dengan geng tengilnya sambil memainkan penggaris dan melamun. Jangan-jangan gara-gara kemarin dimarahi ibu. Eh, kenapa aku malah khawatir sama Dito, sih?
"Ran! Kok elo ngeliatin Dito terus sih? Dito emang suka gak jelas gitu. Tiba-tiba dia pecicilan, terus tiba-tiba bengong gak jelas gitu. Gue heran, deh. Apa sih sebenernya yang ada di pikiran Dito? Jangan-jangan dia mikirin kamu!" kata Arga. Sumpah deh nih si Arga. Kenapa orang-orang ngiranya Dito suka sama aku? Apa jangan-jangan Dito udah koar-koar?
"To! Elo diliatin terus sama Rania, tuh. Katanya dia khawatir sama kamu. Kamunya suka ngelamun gak jelas sih!" Lamunanku buyar. Entah sejak kapan Arga sudah menghampiri Dito. Ditambah lagi pernyataan Arga yang membuatku ingin mengelak
"Ah, masa? Masa sih, Ran? Jangan jaim gitu, ngaku aja. Aku lagi sibuk mikirin kamu, nih. Makanya aku dari tadi ngelamun, hehe..." kata Dito. Aku tak tau harus jawab apa. Akhirnya aku diam saja. Rasanya pingin ngilang aja waktu itu. Pipiku juga rasanya panas. Apa ini yang namanya salting?
Kriiingg! Bel masuk berbunyi. Ini pertama kalinya aku girang saat bel berbunyi. Aku langsung berlari menuju tempat dudukku. Namun, sepertinya nasib sial menghampiriku. Aku tersandung kabel gulung yang terurai di lantai. Tepatnya, di sebelah meja Arfan. Oh, tidak!
Apa yang terjadi setelah itu?
Hello readers! ✨
Maaf ya, buat pembaca-pembaca kalo aku jarang update... Soalnya akhir-akhir ini aku gak sempet nulis, tugasnya banyak banget *ciecurhat😶
Jangan lupa vote, share, dan tinggalin komentar ya! 🤩Thankyou.❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sendiri [COMPLETED]
Teen Fiction[COMPLETED] Siapa yang tak punya pujaan hati? Semua orang pasti punya. Terutama para cewek yang hobinya memendam perasaan. Itu bagi yang berpegang teguh pada prinsip "Perempuan itu menunggu, bukan mengejar". Aku salah satu penganut prinsip itu. Lalu...