"Rania, kamu mau nggak jadi pacarku?"
Kata-kata itu terngiang-ngiang di kepalaku. Dito memberiku waktu untuk memikirkan jawaban selama seminggu. Tapi kurasa, seminggu adalah waktu yang sangat singkat untuk memikirkan jawaban karena pertanyaan yang diajukan menyangkut perasaan. Tak hanya perasaanku. Perasaan Dito juga. Bahkan aku tak tahu bagaimana perasaan Raisa terhadap Dito. Apakah berubah atau malah semakin suka dengan Dito. Tak ada yang tahu.
Aku sempat berpikir, apa aku bertanya pada Raisa bagaimana perasaannya terhadap Dito? Tapi, pasti ia tak mau cerita. Karena menurutnya, menceritakan hal seperti ini adalah hal yang tabu alias hanya dia yang tahu bagaimana isi hatinya.
Aku memutuskan untuk curhat ke Kak Keano. Menurutku, untuk hal yang seperti ini, dialah ahlinya.
"Kak Keano pernah nembak cewek nggak?" tanyaku.
"Pernah. Udah lama banget sih, dua tahun yang lalu. Nembak si Gina." Gina adalah pacar Kak Keano.
"Kalo ditolak rasanya sakit banget nggak?" Entahlah, hanya itu pertanyaan yang ada di kepalaku. Pertanyaan retoris. Kak Keano hanya mengedikkan bahu sebagai jawaban.
"Aku ditembak Dito, Kak." Langsung saja kukatakan. Kak Keano yang semula tak tertarik dengan topik pembicaraanku, langsung membelalak kaget.
"Yang bener? Wah, akhirnya kamu ada yang nembak." Aku langsung menonjok lengan Kak Keano. Diajak serius malah bercanda.
"Serius Kak! Tapi sampai sekarang aku belum jawab. Dia ngasih aku waktu seminggu. Besok hari terakhir. Aku sampai sekarang belum nemu jawaban Kak. Aku bingung banget," jelasku.
"Kamu suka nggak sama Dito?" tanya Kak Keano. Aku hanya mengangguk pelan. "Kalo gitu, masalahnya apa? Terima aja. Dito meskipun tengil gitu, anaknya baik kok."
Aku menonjok lengan Kak Keano. Kali ini lebih keras. Kak Keano hanya mengaduh. Kemudian, aku menjelaskan tentang perasaan Raisa terhadap Dito hingga menceritakan ekspresi Raisa saat Dito menembakku.
"Raisa pernah cerita nggak perihal dia suka Dito apa nggak? Nggak kan? Kamu pasti cuma ngira-ngira lewat ekspresi Raisa aja. Mungkin aja, Raisa sekarang udah gak punya rasa ke Dito, cuma anggap dia sahabat. Kita gak pernah tahu isi hati orang lain, kalo orang itu nggak ngungkapin. Dan asal kamu tau, perasaan itu seiring berjalannya waktu bisa berubah. Jadi, berhenti nyalahin diri kamu sendiri ya. Kamu berhak bahagia."
Mataku berkaca-kaca. Ternyata Kak Keano bisa jadi Mario Teguh juga.
"Sekarang kamu udah punya jawabannya?" tanya Kak Keano. Aku mengangguk mantap.
"Makasih, Kak. Sekarang aku udah lega. Karena aku nggak harus mengemban perasaanku sendiri. Dan aku juga belajar buat curhat tentang perasaanku ke orang yang aku percaya. Kayak kakak. Aku nggak mau lagi bertepuk sebelah tangan. Dan aku gak mau orang lain ngalamin hal yang sama kayak aku. Karena rasanya sakit banget."
"Bener banget. Si adek udah dewasa juga ya. Padahal baru kemarin masih ngedot." Aku memukul-mukul bahu Kak Keano yang berotot.
***
Hari ini aku memutuskan hal yang menyangkut persahabatanku. Aku telah membulatkan tekad.
Aku mengajak Dito untuk membicarakan ini. Aku tak mau menyakiti perasaan Raisa. Dito memutuskan untuk membicarakannya di Library Cafe. Tempat biasa aku, Raisa, dan Dito nongkrong.
"Jadi gimana, Ran? Kamu udah mikirin jawabannya?" tanya Dito.
"Ya," jawabku.
"Jadi, jawabannya apa?"
"Jawabannya..." Aku menghela napas sejenak.
"Apa? Jangan bikin tegang dong, Ran..."
"Mmmm..."
"Kamu tau nggak, aku udah suka sama kamu sejak kelas sebelas. Kamu itu unik, Ran."
"M-makasih pujiannya. Tapi, sebelum aku ngasih jawabannya, ada hal yang harus kamu tau juga. Sesuatu yang juga menyangkut perasaan suka. Pastikan kamu nggak menyesal," ujarku. Aku menghembuskan napas perlahan. "Aku ngerasa Raisa juga punya perasaan suka sama kamu sejak kelas sebelas."
Dito berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Namun, masih tetap terlihat di wajahnya.
"Kamu yakin? Memangnya keliatan banget kalo dia suka sama aku? Kenapa aku nggak tau?"
"Aku sahabatnya. Aku tau dia gimana ekspresinya waktu natap kamu. Ada perasaan yang tersembunyi. Raisa nggak pernah cerita apapun soal perasaannya ke aku. Tapi aku yakin, dia ingin kamu lebih dari sahabat. Kamu nyesel nggak, gara-gara nggak peka sama perasaan Raisa?"
"Aku nggak pernah nyesel, Ran. Gimana aku tau kalo Raisa suka sama aku? Dia bahkan cuma natap aku waktu aku nggak natap dia. Nggak pernah ngungkapin apa sebenernya perasaannya ke aku. Aku akui, perasaan itu rumit, Ran. Nggak bisa kalo cuma dipendem. Memang, ngungkapin perasaan itu susah banget. Butuh keberanian. Tapi, aku yakin 100% kalo kamu nggak pernah ngungkapin perasaan, cuma kode-kode nggak jelas, dia gak bakalan tau apa isi hatimu."
"Tapi..." Aku bingung harus berkata apa. Aku pun tak bisa berbohong pada hatiku. Semenjak Dito masuk dalam kehidupanku, aku mulai melupakan Arfan. Seseorang yang tak pernah bisa kuraih. Ia selalu membuatku tertawa.
Namun, aku juga tak ingin menyakiti hati Raisa. Meskipun apa yang kupikirkan belum tentu benar. Raisa belum tentu menaruh perasaannya pada Dito.
"Rania! Terima, Ran! Apa yang kamu pikirin itu salah! Aku nggak pernah naruh perasaan suka sedikit pun ke Dito! Kamu tau sendiri kan, aku ini jarang berinteraksi sama laki-laki. Jadi, aku selalu gugup kalo berinteraksi sama cowok. Itu bukan perasaan suka, Ran!" Tiba-tiba Raisa berlari ke arahku dan Dito sambil terengah-engah.
Tak terasa aku menitikkan air mata. Agak alay sebenarnya. Tapi, ada perasaan hangat di dadaku yang membuatku ingin menangis terharu.
"Beneran, Sa? Kukira selama ini kamu suka sama Dito?" tanyaku yang masih belum percaya. Raisa mengangguk, meyakinkanku. Sementara Dito tersenyum tulus. Belum pernah aku melihat Dito tersenyum sehangat itu. Ia terlihat... lebih tampan.
Aku hanya mengangguk ke arah Dito. Itu jawabanku.
Dito tersenyum lebar. Kekonyolannya kumat. Kesan 'tampan' yang tadi kunobatkan lenyap seketika. Tiba-tiba ia melonjak-lonjak kegirangan di Library Cafe. Tatapan para pengunjung kafe mengarah pada kami. Aku sangat malu!
Mungkin ini yang dimaksud dengan "terkadang yang ditunggu bukanlah yang seharusnya dinanti". Selama ini aku hanya mengagumi Arfan. Aku dibutakan olehnya. Sehingga aku tak melihat yang nyata di depanku. Dito.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sendiri [COMPLETED]
Teen Fiction[COMPLETED] Siapa yang tak punya pujaan hati? Semua orang pasti punya. Terutama para cewek yang hobinya memendam perasaan. Itu bagi yang berpegang teguh pada prinsip "Perempuan itu menunggu, bukan mengejar". Aku salah satu penganut prinsip itu. Lalu...