"Sa, kita sekelompok sama Arfan, kan? Hehe..." kataku.
"Emang ada tugas kelompok, ya? Kayaknya gak ada deh Ran."
"Lah tugas fisika itu udah kamu lupain, Sa? Yang bener aja, nih?"
"Oh iya! Terus nanti pas istirahat kita ajak dia aja ngerjainnya. Emang kita sama siapa aja kelompoknya?"
"Ada Arfan, Arga, Dito, Kesha, Gina, Adrian, Sahila, Dira, Luna, Shilla. Udah."
"Emm, gak terlalu buruk sih." Aku tahu, maksudnya Raisa bilang gak terlalu buruk itu pasti karena ada Dito. Ya... ya... ya...
Akhirnya bel istirahat berbunyi. Aku dan Raisa mulai menyuruh Arfan untuk mengajak teman-teman mengerjakan tugas dari Bu Oris.
"Ayo semuanya, kita kerjain bareng. Kita kerjain di perpus aja, biar kalo ada hal yang kita gak tau, kita bisa cari referensi di sana," kata Arfan.
"Iya bentar, Fan. Gue masih nyelesaiin makan makaroni ini dulu. Biar gak pada jatoh," kata Arga sambil kepedesan.
"Udah kelamaan! Sambil jalan juga bisa. Ini keburu masuk!" kata Arfan tak sabaran dan menarik lengan Arga. Alhasil, makaroni pedasnya jatuh semua. Aku dan Raisa langsung tertawa.
"Tuh, kan apa gue bilang! Jatoh semua, kan! Ini makaroni favorit gue, Fan! Tanggung jawab lo!"
"Duh, makaroni itu harganya cuma berapa, sih? Di kantin juga ada kok. Paling cuma 500 kalo gak ya 1000-an. Gue beliin!" jawab Arfan. Aku semakin tak bisa menahan tawa. Ekspresi Arfan yang berusaha untuk menahan tawa dan berusaha marah supaya Arga mau cepat-cepat mengerjakan tugas pun menjadi satu. Gak jelas deh pokoknya!
"Beliin lima, ya! Ini buat upah naik tangga ke perpus sama ngerjain tugas. Gue males banget, bro sebenernya ngerjain hukuman yang nantinya cuma ditumpuk di meja Bu Oris doang. Lo gak ngerasa males ya emang?" kata Arga.
"Ya males lah! Udah, gue tau lo cuma ngulur-ngulur waktu biar gak mulai ngerjain tugas kan?" kata Arfan.
Akhirnya Arga pasrah ditarik lengannya sama Arfan. Satu masalah terselesaikan, masalah baru muncul lagi. Dito. Dia sama malesnya kayak Arga. Ditambah, dia tak bisa lepas dengan gadgetnya karena game yang membuatnya candu.
Mungkin Arfan gemas melihat anggota kelompoknya yang malas, dia langsung menarik gadget milik Dito.
"Anjir! Eh, gimana sih! Gue udah mau menang nih! Tuh kan gue jadi mati! Dikiiiit lagi padahal! Gue gak bakal maafin elo, Fan!" Bisa ditebak. Seorang gamer kalo diganggu pasti bakal mencak-mencak. Kayak Dito. Ditambah logat elo-gue nya yang dibuat-buat. Menambah gelak tawa seisi kelas. Karena Dito baru kali ini menggunakan kata elo-gue.
"Cih. Ayo, ngerjain tugas! Game mulu yang diurus. Ayo!" Apa boleh buat, Arfan menarik lengan Dito seperti yang ia lakukan pada Arga tadi.
"Iya, iya! Duh, lengan gue sakit tauk. Lepas! Gue bisa jalan sendiri! Woiii!" Dito memekik seperti cewek. Benar-benar gak punya malu. Aku dan yang lainnya tertawa melihatnya.
Dito ditarik lengannya sampai perpustakaan. Para penjaga perpustakaan sampai marah-marah karena Dito masih ribut teriak-teriak karena Arfan tak kunjung melepas lengannya.
Aku dan Raisa duduk berdampingan. Tiba-tiba Dito menyela tempat dudukku dan menggeser Raisa. "Hai, Rania. Gue duduk di sini ya. Biar gue bisa nanya-nanya kalo ada yang gak bisa. Hehe..."
"Sejak kapan kamu pake elo-gue? Aku kok makin risih ya kalo kamu yang ngucapin. Aku mau di sebelah Raisa aja. Minggir." Sikapku ini bukannya apa-apa, tapi sebagai sahabat yang baik, aku tetap menjaga perasaan Raisa supaya dia gak cemburu. Sekarang aja udah merengut.
Dito menanggapi omonganku dengan wajah kecewa.
"Kamu kan bisa nanya Raisa. Raisa kan juga pinter fisika. Kamu sama Raisa aja. Sini," kataku sambil menyuruh Raisa menggeser letak duduknya. Dito hanya bisa menatapku pasrah.
Kami pun memulai diskusi pembagian soal dan mengerjakan bagian masing-masing.
"Ran, kamu bisa nomer 5 nggak? Aku kok bingung ini pake rumus yang mana sebenernya," tanya Arfan. Dengan senang hati aku menjawabnya.
"Oh, gini ya caranya. Makasih ya Ran," katanya. Langsung kujawab sama-sama semanis mungkin. Meskipun kami hanya berbicara sesingkat ini, aku sangat amat senang.
Kulihat Dito mulai bertanya ke Raisa. Aku senang melihat mereka berdua. Terlihat serasi. Meskipun Dito masih agak keberatan, tapi cinta kan tumbuh karena terbiasa.
Akhirnya setelah kami menghabiskan waktu istirahat dan dua jam kosong, kami bisa menyelesaikan hukuman dari Bu Oris. Kami puas dengan hasil keringat kami. Tanpa menunda lagi, kami langsung mengumpulkan tugas ini ke Bu Oris. Kalau kami harus menunggu yang lain, nanti Bu Oris marah lagi. Setidaknya ada yang sudah selesai. Arfan tak mau mengulangi kejadian kemarin.
Ini semua berkat tanggungjawab Arfan sebagai ketua kelas yang patut diacungi jempol. Aku sangat bangga bisa mengaguminya. Meskipun hanya mengaguminya dalam hatiku.
Hi, Readers! 🌸
Makasih buat kalian semua yang udah dukung cerita aku selama ini..
Buat yang masih pingin mendukung ceritaku dan pingin aku terus update cerita ini, jangan lupa vote, share, dan baca cerita ini sampai habis, ya!Spread love 💞
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sendiri [COMPLETED]
Teen Fiction[COMPLETED] Siapa yang tak punya pujaan hati? Semua orang pasti punya. Terutama para cewek yang hobinya memendam perasaan. Itu bagi yang berpegang teguh pada prinsip "Perempuan itu menunggu, bukan mengejar". Aku salah satu penganut prinsip itu. Lalu...