"Cieee jomblo nih sekarang?" kata Arga. Aku yang mendengar kata-kata itu, langsung menoleh ke arah Arga dan Arfan. Dan mulai menguping.
"Emangnya elo? Dasar jomblo. Sirik aja liat orang punya pacar," jawab Arfan. Apa?! Jadi Arfan sama Nina gak jadi putus? Terus yang waktu itu... Udahlah dengerin lagi aja.
"Lah kemarin bukannya lo update story di Instagram kalo lo galau ya?" kata Arga.
"Emangnya gak boleh galau? Udah sana! Ganggu aja," kata Arfan nyolot. Dari cara nyolotnya, aku tau kalo Arfan itu punya masalah dan lagi galau—mmmh, kayak psikolog aja haha.
"Dooorr! Hayo, ngapain?" Tiba-tiba ada yang mengagetkanku dari belakang. Tentu saja itu Raisa. Aku yang mudah kaget, langsung terlonjak dan sukses menjatuhkan buku-buku tugas yang belum sempat dikumpulkan kemarin. Ya, aku tadi menguping di balik tumpukan buku itu.
"Lho Rania? Ngapain di situ?" tanya Arfan. Aku sukses juga menarik perhatian Arfan di saat yang tidak tepat. Selalu di saat yang memalukan. Aku panik dan menjawab alakadarnya.
"Mmmh, aku lagi... lagi... ngitung buku tugas ini! Iya, ngitung buku. Hehe... Aku cuma mastiin aja bukunya kurang apa nggak. Takutnya kan ada yang belum ngumpulin ya. Siapa tau Arga mungkin yang belum ngumpulin. Ya kan?" kataku.
"Eh, sembarangan! Gue udah ngumpulin, tauk! Cari aja buku gue di situ! Ngitung buku kok gak bener," kata Arga ngegas.
"Eh, aku kan bilangnya 'siapa tau'. Gak usah ngegas gitu lah," kataku yang ikutan ngegas.
"Udah, gimana kalo kamu kumpulin bukunya ke Bu Oris. Nanti beliau marah lho. Kemarin aku mau ngumpulin sih, tapi ruang gurunya udah dikunci. Ya udah aku kembaliin di sini."
"Ya udah deh, aku kumpulin. Sa, anterin aku ke Bu Oris ya!" ujarku.
"Iya. Nanti sekalian ke koperasi ya. Aku pengen beli tisu."
"Iya."
Aku dan Raisa menuju ke ruang guru. Kulihat Bu Oris sudah datang. Entah itu hanya perasaanku atau memang begitu, raut wajah Bu Oris seperti sedang tidak mood. Cemberut dan terlihat marah. Mudah-mudahan cuma perasaanku.
"Ran, perasaanku kok tiba-tiba gak enak gini ya?" tanya Raisa tiba-tiba.
"Udah, kan cuma perasaanmu aja. Yuk ah."
Aku dan Raisa menaruh bukuku di meja Bu Oris dan bersalaman dengannya.
"Mohon maaf Bu, saya mau mengumpulkan tugas yang kemarin. Kemarin Arfan mau mengumpulkan buku ini di sini tapi ruang gurunya sudah tutup Bu..."
"Udah, gak usah kalian kumpulin aja sekalian! Saya juga gak akan sudi ngasih nilai ke anak-anak yang gak disiplin. Percuma kalian kumpulin di sini! Cuma bikin meja saya penuh aja! Sekarang, kalian bawa buku kalian, kalian balik ke kelas, dan panggil ketua kelas kalian yang kemarin saya kasih tanggung jawab untuk ngumpulin buku temen-temennya sekelas. Cepet!" perintah Bu Oris.
Benar ternyata. Bu Oris lagi nggak mood.
"Fan! Arfan! Dipanggil Bu Oris di ruang guru. Cepetan!" seruku.
Tanpa ba-bi-bu lagi, Arfan berlari ke ruang guru. Aku dan Raisa mengikutinya. Tapi kami menunggu di depan ruang guru.
"Kamu Arfan kan?! Kamu lupa sama tanggungjawabmu sebagai ketua kelas? Kemarin saya sudah kasih kamu tanggungjawab untuk mengumpulkan tugas tepat waktu. Tapi apa? Saya dari kemarin nunggu kamu ngumpulin, tapi nihil! Kenapa kamu gak ngumpulin, ha?"
"Mohon maaf Bu... Saya kemarin sudah mengumpulkan waktu jam pulang. Tapi ruang gurunya dikunci. Akhirnya saya tidak jadi mengumpulkan Bu. Saya mohon maaf Bu..." kata Arfan yang kemudian menunduk. Duh, kasihan Arfan.
"Kenapa kamu gak ngumpulin waktu istirahat? Dasar kelas malas! Ketua kelasnya aja gak becus!"
"Tapi kemarin saya sama teman-teman saya belum selesai mengerjakan Bu... Kemarin juga Bu Nessa memberi tugas banyak sekali. Jadi kami harus membagi waktu saat mengerjakan Bu..."
"Alasan aja! Saya gak mau tau. Sebagai hukuman, kamu sama temen-temenmu saya kasih tugas tambahan. Tapi inget, tugas yang ini tidak akan saya masukin nilai dan tidak akan saya beri nilai. Mengerti?"
"Iya Bu, saya mengerti."
"Nanti kasih tau ke temen-temenmu buat ngerjain LKS sampai habis. Kumpulkan besok pagi. Mengerti?"
"Tapi, mohon maaf Bu... Kan materi selanjutnya belum diajarkan Bu?"
"Kan saya sudah tegaskan tadi. SAYA—TIDAK—MAU—TAHU!!!"
"E... Eh iya Bu. Saya segera beri tahu teman-teman saya. Permisi Bu..."
Arfan keluar ruang guru dengan wajah tertekuk dan menunduk. Aku pun merasa kasihan melihatnya. Ingin sekali kurangkul—ngayal aja sih, Ran.
"Fan, gimana? Dihukum ya sama Bu Oris?" tanyaku.
"Iya, disuruh ngerjain LKS fisika sampai habis, nih," jawab Arfan.
"Sekelas? Apa cuma kamu aja?" tanya Raisa.
"Sekelas," jawab Arfan singkat.
Aku dan Raisa spontan ber-haaah ria. Mana mungkin bisa kami menyelesaikan tugas sebanyak itu dalam waktu sehari. Bisa sih kalo semua kapasitas otak kami sangat besar—seperti Einstein.
"Bukan sekarang kan ngumpulinnya?" tanyaku.
"Bukan. Tapi besok," jawab Arfan.
"Itu sih sama aja bo'ong. Kita kan gak pernah disuruh ngerjain LKS. Bahkan kita belum ngerjain LKS-nya sama sekali. Lagipula, Bu Oris belum pernah ngajarin materi yang selanjutnya kan? Gimana kita ngerjainnya?" kata Raisa.
"Nah, aku tadi juga udah bilang gitu ke Bu Oris. Dan kalian tau dia jawabnya gimana?" tanya Arfan.
"Gimana?"
"Saya nggak mau tau. Pokoknya harus dikerjakan sampai selesai! Gitu." Dengan mimik yang dibuat-buat marah dan nada bicaranya yang dimirip-miripin kayak Bu Oris, Arfan sukses membuatku tertawa. Harusnya aku kaget.
"Kok malah ketawa sih? Ini bukan masalah sepele, Ran. Kalo kita gak ngelakuin hukuman ini, kita bakal dikasih hukuman tambahan," kata Arfan bijak. Uhhh, gemes!
"Eh, i—iya. Maaf, habisnya kamu niruinnya lucu," kataku sedikit merasa bersalah.
Sesampainya di kelas, Arfan langsung memberikan kabar yang amat buruk ini.
Tentu saja direspon dengan "haaahh" oleh semua anak di kelas. Akhirnya, dengan sangat bijak—di mataku— Arfan memutuskan untuk bekerjasama sekelas. Jadi, kami tak perlu susah-susah mengerjakan tugas sendirian.
"Kita mengerjakan sesuai deret aja, ya. Jadi, deret pertama ngerjain yang uji kompetensi 1-2. Pokoknya perderet dua uji kompetensi. Kalian udah tau kan harus ngerjakan yang mana?" kata Arfan.
"Iyaa."
"Siip. Kalo udah selesai, perwakilan perderet nanti harus bagiin hasil kerjanya di grup kelas ya. Kalo bisa secepatnya. Supaya cepet selesai."
"Iyaa."
"Kerjain mulai sekarang aja. Kan sekarang jam kosong. Bu Ani tadi udah bilang kalo beliau gak bisa ngajar karena harus rapat. Tugasnya masih minggu depan kok dikumpulkannya. Nanti aku kasih tau harus ngerjakan yang mana aja di grup kelas."
"Ada tugas lagi? Astagaaa! Pecah otak gue!" Arga tiba-tiba menyahut. Kemudian disambut dengan tawa anak sekelas.
Ya, seenggaknya karena kebijakan Arfan, kami gak perlu susah payah ngerjain tugas sebanyak itu. Apalagi, waktu ngeliat dia dimarahin sama Bu Oris tadi. Aku makin ngerasa kagum. Bahkan dia gak ngebantah sedikitpun. Aku makin suka sama kamu, Fan!
Hi, Readers! 💞
Jangan lupa vote dan share ceritaku ini, ya!
Thank u 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sendiri [COMPLETED]
Teen Fiction[COMPLETED] Siapa yang tak punya pujaan hati? Semua orang pasti punya. Terutama para cewek yang hobinya memendam perasaan. Itu bagi yang berpegang teguh pada prinsip "Perempuan itu menunggu, bukan mengejar". Aku salah satu penganut prinsip itu. Lalu...