Pagi hari. Tak seperti pagi yang biasanya, aku bangun dengan otomatis, tanpa dibangunkan Kak Keano. Aku beranjak ke kamar mandi, sikat gigi selama mungkin, supaya tak ada karang gigi yang tertinggal dan napasku wangi.
Aku memakai bedak lebih tebal dari biasanya, pakai liptint—padahal biasanya paling ogah karena rasanya bibirku ada dua kalo pake liptint—yang sudah lama kubiarkan teronggok di meja rias, pakai parfum—biasanya pake cologne bayi—yang menurutku sedikit menyengat, dan mengurai rambutku, serta jepitan bentuk bunga yang dulu kuanggap sebagai pemberat kepala, makanya aku gak pernah pake.
Aku keluar dari kamar tidurku. Kak Keano yang baru mau masuk kamarku untuk membangunkanku tersentak melihatku. Mungkin karena dandananku yang tak seperti biasanya. Aku menyapanya sambil menunduk agar dia tak melihat wajahku. Meskipun kutahu, dia pasti sudah melihat wajahku yang putihnya setara batu gamping ini.
"Bwaaahahahaha! Kamu mau ke kondangan apa sekolah? Menor banget kayak ondel-ondel. Hahaha..." ledek Kak Keano. Aku hanya cemberut. Memangnya semenit itu ya mukaku? Aku sering liat tutorial makeup di youtube buat anak SMA yang bahkan jauh lebih menor dibanding aku.
"Apa salahnya kalo aku nyoba-nyoba nebelin dikit bedakku? Semenor itu ya mukaku?" tanyaku.
"Iya lah. Kayak udah emak-emak mukamu. Emang di sekolah gak dimarahi gurumu ya kalo pake makeup?"
"Nggg... Sebetulnya dilarang, tapi..."
"Ah, kakak tau! Pasti kamu lagi naksir cowok ya?" sela Kak Keano.
"Nggak kok, nggak! Aku tadi malem habis liat tutorial makeup di youtube buat anak SMA. Nah, tadi aku coba-coba. Gitu," jelasku mencari-cari alasan.
"Udah sana hapus makeup-nya. Kamu tuh bagusan gak pake makeup. Di mata cowok, cewek itu paling cantik kalo mukanya natural. Cepet, nanti keburu telat," ujar Kak Keano. Aku masih mematung. Mencerna kata-kata Kak Keano. Memangnya cowok lebih suka sama cewek yang gak makeup-an?
Kak Keano mendorongku ke kamar karena aku masih melongo. Aku segera mencuci wajahku dan pakai bedak seperti biasanya. Mengikat rambutku seperti biasanya. Menghapus liptint-ku dan membiarkan bibirku berwarna merah muda seperti biasanya.
Aku keluar kamar menuju meja makan. Kak Keano mengacungkan jempol ke arahku. "Nah, gitu kan bagus. Natural, sesuai umur, dan gak kayak ondel-ondel."
Aku hanya melengos dan duduk di kursi dekat ibu. Ibu yang sedang menyiapkan sarapan, mendengar percakapanku dan Kak Keano.
"Emang Rania habis ngapain sih, Ke?" tanya ibuku, penasaran.
"Itu, bu. Dia pake makeup tebel banget tadi. Kayak ondel-ondel. Pake gincu, pake batu gamping, rambutnya kayak Kunti—diurai, parfumnya bikin aku bersin. Pokoknya gitu deh, bu," kata Kak Keano berlebihan. Ibu hanya tersenyum menanggapinya.
"Nggak, Bu! Aku pake liptint aja! Aku cuma nebelin bedakku dikit. Aku cuma ngurai rambutku apa salahnya? Aku cuma pake parfum, habisnya bosen pake cologne bayi. Kak Keano aja gak pernah ngerasain jadi cewek!" kataku.
"Enak aja! Aku cowok maskulin! Cowok tulen! Bukan banci kalengan! Aku gak akan pernah mau ngerasain jadi cewek!" kata Kak Keano ngotot.
"Udah, udah. Kalian pagi-pagi udah berantem sih? Nanti ngerusak mood kalian di sekolah lho!" ujar ibu. Akhirnya aku dan Kak Keano diam. Tapi kami masih saling melotot.
Tiin, tiiin! Siapa yang membunyikan klakson sekeras itu? Aku mengintip lewat gorden. Dia mengendarai motor Ninja? Jangan-jangan...
"Rania! Kamu kenapa lari-lari gitu? Sarapan dulu! Nanti kamu telat!" seru ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sendiri [COMPLETED]
Teen Fiction[COMPLETED] Siapa yang tak punya pujaan hati? Semua orang pasti punya. Terutama para cewek yang hobinya memendam perasaan. Itu bagi yang berpegang teguh pada prinsip "Perempuan itu menunggu, bukan mengejar". Aku salah satu penganut prinsip itu. Lalu...