#29 : Tembak

223 13 0
                                    

Dua tahun berlalu. Perlahan aku mulai bosan dengan perasaan ini. Rasanya pecuma saja aku memikirkan Arfan setiap harinya. Aku berniat untuk melupakan perasaan ini. Ditambah lagi sekarang aku sudah kelas 12. Saatnya aku fokus dengan masa depanku. Setiap hari aku melaksanakan tryout dan latihan soal UN dan ikut bimbel. Sebenarnya, tanpa aku harus berniat melupakan perasaanku terhadap Arfan, perasaan itu hilang sendiri karena kesibukanku. Mungkin bukan hilang, tapi sejenak hilang. Tak tahu lagi kalau aku sudah tidak sibuk.

"Kamu pilih UN apa, Ran?" tanya Raisa. 

"Biologi. Kamu?" jawabku.

"Sama dong kita! Hore! Kalo sama ngambilnya, kita juga sekelas, terus, sebangku lagi deh! Hehehe..." Raisa memang begitu. Sifat kekanak-kanakannya tak pernah hilang. Padahal sudah kelas 12. Mungkin itu yang membuat wajahnya awet muda dan masih terlihat seperti bocah SMP.

"Sa, ngomong-ngomong Arfan ngambil UN apa, ya?" tanyaku.

"Denger-denger sih dia ambil fisika. Kan nantinya dia pengen kuliah di teknik. Hebat banget ya dia ambil fisika." Aku sedikit kecewa. Tapi, kenapa aku harus kecewa? Bukannya aku sudah melupakan perasaannya? Ah, iya aku lupa kalau perasaan itu 'sejenak' hilang saat aku sibuk. 

"Raniaaaa!" Suara yang familiar dan khas memanggilku. Dito. Ya, asal kalian tahu, aku dan Dito sekarang menjadi sahabat. Eh, ralat. Aku, Raisa, dan Dito. Ya. 

"Nggak usah teriak-teriak kenapa sih? Hobi banget teriak-teriak. Ada apa?"

"Kamu ambil biologi kan? Kalo iya, aku juga," ujar Dito. 

"Bukannya kamu mau ambil teknik ya? Kenapa nggak ambil fisika aja?" 

"Nggak, fisika kan susah. Nanti otakku kebakar kalo ngerjain itu."

Kami asyik mengobrol hingga waktu istirahat usai. Entah mengapa persahabatan ini terjalin begitu saja. Karena Dito sering mengajakku ke kafe, mall, atau toko buku dan aku selalu menolak jika hanya pergi berdua, maka aku mengajak Raisa. Dito tak masalah. 

***

Tak terasa, aku telah menempuh UN dan sebentar lagi aku melaksanakan SBMPTN. Karena aku tidak diterima jalur SNMPTN. Dito dan Raisa juga begitu. Mungkin, kami memang ditakdirkan untuk berjuang bersama-sama. 

Setelah melewati sulitnya soal SBMPTN, akhirnya hasil telah diumumkan. Betapa senangnya aku. Akhirnya sebagian cita-citaku terwujud. Aku masuk jurusan gizi Universitas Indonesia, Raisa masuk kedokteran, dan Dito masuk arsitek. Kami sangat bahagia. 

Tak lama setelah kebahagiaan itu, hal tak terduga terjadi. 

"Rania, kamu mau nggak jadi pacarku?" tembak Dito tiba-tiba. Di depan Raisa. Aku tahu, Raisa menyukai Dito. Aku kaget bukan main. Raisa tak kalah terkejut, namun ia menyembunyikan keterkejutannya. Ia hanya tersenyum sambil tepuk tangan. Sungguh, aku kagum dengan sifat dewasanya dibalik wajah imutnya. 

Aku bingung harus menjawab apa. Sebenarnya, semenjak bersahabat dengan Dito, aku merasakan perasaan yang berbeda dengan perasaan sahabatan. Bisa dibilang, lebih dari sahabat. Aku merutuk diriku sendiri. Kenapa harus tumbuh perasaan itu? Apakah aku terlalu egois karena telah menyakiti perasaan Raisa yang juga memiliki perasaan suka dengan Dito sejak awal?  Aku tak tahu harus bagaimana.

Aku menatap mata Raisa. Raisa menjawab dengan anggukan. Apakah dia telah melupakan perasaannya dengan Dito? Berdosakah aku jika aku menerima Dito? 

***

Cinta Sendiri [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang