"Duh, Rania! Kenapa sih kok tiba-tiba narik aku kayak tadi? Kenapa kamu gak deketin Arfan tadi? Kan tadi ada Arfan di depanmu," protes Raisa.
"Ih, kamu gak tau sih tadi kejadiannya kayak gimana. Tadi itu, aku hampir aja keceplosan ngomong ke Arfan sama Dito kalo aku suka seseorang. Kamu tau sendiri Dito itu anaknya suka kepo sama urusan orang. Jadi, daripada diintrogasi sama cowok-cowok itu," jelasku.
"Kalo gitu, siap-siap aja besok pas di sekolah ditanyain sama anak-anak. Siapin mental kamu, ya Ran!" kata Raisa sambil menepuk-nepuk bahuku dan mengepalkan tangan, menyemangatiku.
"Hmmh, iya iya... Palingan juga nanti aku gak bakalan jawab, kok. Mana ada anak yang mau ngaku kalo dia suka sama seseorang. Ya nggak?"
"Tergantung. Tau sendiri si Dito itu anaknya kayak gimana. Suka mendesak dia itu," ujar Raisa.
Aku tak menanggapi. Memang benar kata Raisa. Dito suka mendesak dan memaksa. Kalo dia udah kepo, dia akan melakukan apa aja. Termasuk mengancam. Dan ancamannya pun bakal beneran dia lakuin. Bukan main-main.
Aku dan Raisa sedari tadi menunggu angkot di halte depan mall. Angkot yang lewat selalu penuh, sehingga tak mau berhenti. Alhasil, kami terpaksa menunggu.
Tiiin, tiiin! Klakson mobil siapa itu? Aku dan Raisa sampai melonjak kaget. Aku kayak kenal itu mobil siapa. Dito.
"Sa! Ayo, lari! Kita naik ojek yang ada di sana aja! Cepetan!" Aku lagi-lagi menarik lengan Raisa. Raisa juga hanya pasrah.
Tak menyerah mengejar kami, mobil Dito menyusul hingga pangkalan ojek. Padahal, aku dan Raisa masih dua meter di depan pangkalan ojek. Dito turun dari mobilnya dan berteriak pada tukang ojek yang sedang mangkal.
"Pak, jangan mau ditumpangi sama dua anak itu, ya! Mereka gak bawa uang, pak. Emang Bapak mau gak dibayar? Rumah mereka juga jauh banget pak! Dua kilometer lho pak, dua kilometer!" seru Dito sambil menunjuk-nunjuk aku dan Raisa. Pak ojek itu hanya manggut-manggut saja.
"Bohong dia, pak! Saya rumahnya deket kok pak. Cuma 500 meter aja. Ini saya bawa uang lho, pak. Liat, nih," ujarku pada pak ojek itu. Raisa pun begitu.
"Ini yang bener yang mana, sih? Jangan bikin saya bingung lah mbak, mas. Masnya juga jangan menghalangi rejeki saya, dong. Ayo mbak kalo mau ngojek saya anter," kata Pak ojek. Untung orangnya baik.
Aku dan Raisa segera naik ke motor. Tentunya, kami nggak gonceng tiga. Ada tukang ojek lain di pangkalan itu. Dito hanya bisa bengong melihatku dan Raisa kabur dari kejarannya
***
"Kok tumben pulangnya lebih sore, Ran?" tanya ibuku.
"Iya nih, tadi masih ngerjain tugas sama Raisa. Aku mandi dulu ya, Bu," jawabku. Ibu mengangguk.
Selepas mandi, hapeku berbunyi. Aku membuka notifikasi tersebut.
Arfan? Tumben dia nge-chat?
Arfan
17.05
Udah sampai rumah?Astaga, sejak kapan Arfan mengkhawatirkanku? Apa gara-gara tadi waktu di mall? Perasaanku campur aduk. Antara senang, bingung, dan kaget.
Rania
17.06
Udah kok.Kujawab singkat saja. Aku gak mau dikira centil—tapi mungkin Arfan gak akan berpikir kayak gitu, dia kan gak peka. Tak sampai semenit, Arfan sudah membalas pesanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sendiri [COMPLETED]
Teen Fiction[COMPLETED] Siapa yang tak punya pujaan hati? Semua orang pasti punya. Terutama para cewek yang hobinya memendam perasaan. Itu bagi yang berpegang teguh pada prinsip "Perempuan itu menunggu, bukan mengejar". Aku salah satu penganut prinsip itu. Lalu...