"Emang temen yang mau kamu temuin itu cewek apa cowok, sih? Seumuran kita apa lebih tua? Apa lebih muda? Sekolahnya dimana? Bla bla bla..." Ocehan Dito kubiarkan layaknya angin lalu. Habisnya, gak berenti-berenti sih ngocehnya.
"Jawab dong, Ran... Penasaran banget, nih. Siapa tau kan aku kenal sama anak yang ketemuan sama kamu. Aku kan terkenal... Hehehe," kata Dito dengan tampang pede dan tak berdosanya.
"Bukan urusan kamu! Inget janji kita sebelum ke mall nggak? Aku aduin ke BK kalo kamu masih ngotot nanya mulu," ancamku.
"Lho, kan kamu bakal ngaduin kalo aku ngikutin kamu ketemuan sama temen kamu. Jadi gapapa kan kalo aku nanya-nanya," kata Dito sambil tersenyum puas, pertanda dia berhasil menjebakku.
"Terserah. Yang penting aku gak bakal ngasih tau ke kamu. Kalo masih nanya mulu, aku kuncir bibirmu!" ancamku sekali lagi. Sepertinya ancamanku kali ini berhasil. Dito akhirnya bungkam.
"Pfft!" Tiba-tiba aku mendengar Raisa menahan tawa. Ini merupakan kebiasaannya. Raisa terkenal jaim. Bahkan, waktu di sekolah semua tertawa, dia hanya diam saja dan menahan tawa. Hanya 'pfft' yang ia ekspresikan.
"Kalo mau ketawa, ketawa aja. Gak ada yang ngelarang kok," kata Dito. Raisa diam saja. Tapi ada semburat merah di pipinya yang agak tembem. Aku pun cuma diam, agar tidak merusak suasana.
"Udah sampai nih. Kalian turun di basement sekalian ya. Males kalo di lobby-nya entar macet," kata Dito. Aku dan Raisa mengangguk.
Akhirnya kami sampai. Saat Dito memarkirkan mobilnya di basement, aku melihat Arfan dan Nina berjalan menuju pintu masuk mall. Benar dugaanku. Mereka berdua memang selalu ke mall saat bucin. Spontan aku menyenggol lengan Raisa yang duduk bersebelahan denganku. Raisa ternyata sudah tau maksudku. Ia langsung mencari apa yang kutunjukkan.
Kami bertiga turun dari mobil. Aku dan Raisa langsung berpencar dengan Dito. Ternyata dia takut dengan ancamanku. Dia tidak mengikutiku.
Aku dan Raisa langsung menuju ke kafe yang menjual boba tea. Aku dan Raisa kebingungan mencari kafe itu. Wajar, kami tak pernah nongkrong di mall ataupun kafe. Kami anak rumahan. Kami berputar-putar hingga sepuluh menit. Di tengah-tengah pencarian, kami berpapasan dengan Dito yang menenteng kresek kecil yang sepertinya berisi komik Conan.
"Lho, kalian berdua nggak jadi ketemuan sama temen kalian? Apa udah selesai urusannya?" tanya Dito. Mampus, gimana kalo dia tau kita berdua kebingungan mencari tempat tujuan kami? Dia pasti bakal ngikutin.
"Tanya dia aja, Ran..." bisik Raisa. Gimana, nih? Kalo aku nanya Dito, nanti dia ngikutin dan gak mau pergi. Apa nanya aja? Nanya aja deh.
"Nggak, kita belum ketemu. Aku janjian sama dia di kafe yang jual boba tea. Tapi aku nggak tau kafe itu di mana. Kamu tau?" tanyaku.
"Wah, kafe itu ya? Ikutin aku aja. Aku suka banget nongkrong di sana. Tapi aku seringnya nongkrong sendiri. Malu sih sebenernya. Habisnya yang nongkrong di sana itu anak-anak yang lagi bucin. Aku sering banget mergokin Arfan sama Nina lagi pacaran di sana. Intim banget tau nggak. Pake pegang-pegangan tangan segala," jelas Dito menggebu-gebu.
"Beneran?!" Ups, kayaknya aku berlebihan nanggepin Dito. Aku pun berlagak cuek. "To, To. Kayak gak tau orang pacaran kayak gimana aja. Namanya aja pacaran, pasti mesra lah. Masa pacaran diem-dieman."
"Iya juga, sih. Tapi kan itu berlebihan," kata Dito. Kali ini aku tak menanggapi. Karena aku nggak mau munafik. Mungkin kalo aku pacaran sama Arfan, aku akan berharap tanganku digenggam Arfan.
Kami pun sampai di kafe yang dimaksud. Kafe Boba Lovers. Beruntung, aku belum ketinggalan sinetron dunia nyata-nya. Arfan dan Nina masih di sana dengan tangan yang saling menggenggam dan mata yang terpaut satu sama lain. Aku nggak habis pikir. Kenapa mereka berdua nggak malu pacaran seintim itu di tempat umum? Apa itu menurut mereka nggak intim? Biasa aja? Hmm...
"Aku pesen minuman kesukaanku dulu, ya. Kalian pesen sendiri aja. Apa mau aku pesenin?" tanya Dito. Aku dan Raisa memutuskan untuk pesan minuman sendiri. Aku pesan boba matcha tea, sementara Raisa pesan boba taro tea. Setelah memesan aku memilih tempat duduk. Tadinya, Dito ingin duduk denganku dan Raisa. Tapi, segera kuusir. Nanti bisa gagal rencanaku.
"Sa, siapin kuping kamu ya! Aku juga bakal nguping. Nanti kalo mereka ngomongin sesuatu, kasih tau aku. Barangkali aku gak kedengeran. Oke?" kataku. Beruntung, tempat dudukku dan Raisa dekat dengan Arfan dan Nina. Tapi Arfan tak menyadari kehadiran kami. Sementara aku mengawasi Dito siapa tau dia ngeliatin kami berdua. Tapi ternyata dia main game. Aku pun melanjutkan nguping Arfan dan Nina.
"Aku tau, kamu mau fokus belajar. Tapi, apa kamu nggak sayang sama hubungan kita? Udah tiga bulan kita pacaran. Belum setahun. Kita bahkan masih kelas 10. Kalo kita udah kelas 12, mungkin aku akan maklumi keputusanmu," kata Nina. Ternyata benar, mereka berdua mau putus. Tapi Nina nggak mau.
"Aku sayang sama hubungan kita dan kamu. Aku nggak mau hubungan kita renggang. Tapi, kamu tau sendiri ayahku gimana? Ayahku nuntut aku buat ngejar nilai akademik. Aku gak bisa ngelawan perintah orangtuaku, Nin," kata Arfan. Semakin kagum aja aku. Dia bahkan gak kayak anak lain yang suka membantah orangtuanya. "Lagipula, kamu masih berhubungan sama mantanmu itu, kan? Kamu pikir aku gak tau?"
"Kalo itu memang keputusanmu, aku nurut. Asal kamu tau, aku nggak seperti yang kamu pikirin. Kamu pengen hubungan kita berakhir di sini, kan? Kalo gitu, aku akan pulang sendiri," kata Nina. Aku dan Raisa benar-benar sedang menyaksikan drama yang nyata. Bedanya, Arfan nggak mengejar Nina. Aku juga baru tau, Nina ternyata seperti itu. Berkhianat. Meskipun aku belum tau itu bener apa nggak.
Kemudian, kulihat Arfan menjambak rambutnya sendiri sambil mengerang pelan. Rambutnya yang rapi dan khas seketika berantakan. Aku ikut terpukul saat melihat ekspresinya. Sepertinya dia dikhianati saat sedang sayang-sayangnya. Baru kali ini aku melihat pemandangan cowok yang dikhianati ceweknya. Biasanya, di novel maupun film, cewek yang dikhianati cowok.
"Hei, mana temen kalian? Gak jadi dateng, ya?" Tiba-tiba Dito menepuk bahuku dan Raisa sampai kami kaget.
"Eh, em... Katanya dia gak jadi dateng. Ada perlu lain," jawabku asal. Raisa tiba-tiba kebelet pipis. Dia pun pergi ke toilet. Alhasil, hanya ada aku dan Dito di sini.
"Lho, kalian pacaran? Kok cuma berdua di sini? Selamat, ya! Gak nyangka lho kalian ternyata pacaran. Tinggal nunggu pajak jadiannya, nih," kata Arfan tiba-tiba. Waduh, kenapa jadi begini. Udah gitu, aku cuma bisa ngelamun dan membatu. Tak menjawab.
"Iya, nih Fan. Kita baru jadian. Hehe..." celetuk Dito. Waduh, ini anak juga gitu. Aku harus jelasin!
"Fan, kita gak pacaran. Kita sebenernya bertiga dateng kesini. Sebenernya ada Raisa. Tapi dia masih di toilet. Jangan percaya omongan Dito! Sembarangan aja dia ngomong," jelasku. Aku lega bisa jelasin.
"Lah terus kalian ngapain kesini bertiga? Kalian tiba-tiba kok bisa sahabatan?" tanya Arfan penuh selidik.
"Ngghh... Kami kesini gara-gara Dito maksa anterin aku sama Raisa ke mall. Aku sama Raisa sebenernya mau ketemuan sama temen lama di kafe ini. Tapi, dia gak jadi dateng karena mendadak ada urusan lain. Gitu," kataku. Semoga dia percaya.
"Aku nyium bau-bau PDKT di sini. Kayaknya Dito suka sama kamu, Ran. Liat tuh mukanya," kata Arfan. Aku melirik wajah Dito. Konyol banget mukanya.
"Hiih, nggak mungkin lah! Aku kan suka sama yang lain... Eh!" Mampus aku! Keceplosan! Untung gak nyebut nama Arfan.
" SIAPA, RAN?" seru mereka bebarengan.
"Rahasia," jawabku.
"Kasih tau dong, Ran..." kata Dito memohon dan Arfan mengiyakan.
Aku tak menjawab. Raisa sudah selesai pipis. Refleks, aku kabur dengan cara menarik lengan Raisa keluar mall. Sepertinya tingkahku ini semakin membuat mereka berdua curiga. Sementara Raisa pasrah lengannya kutarik.
Entah apa yang terjadi besok. Sepertinya kekacauan yang sebenarnya akan terjadi. Entah.
***
Hi, Readers! 🙌
Jangan lupa vote, share, dan tinggalkan komentar di ceritaku ini, ya!
Thank u,
Spread Love 💞
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sendiri [COMPLETED]
Teen Fiction[COMPLETED] Siapa yang tak punya pujaan hati? Semua orang pasti punya. Terutama para cewek yang hobinya memendam perasaan. Itu bagi yang berpegang teguh pada prinsip "Perempuan itu menunggu, bukan mengejar". Aku salah satu penganut prinsip itu. Lalu...