04

10K 1.8K 264
                                    


Chenle menaruh nampan di belakang kasir setelah selesai mengantar pesanan. Ia menatap jarinya yang agak sakit. Menghela nafas pelan, matanya menatap jam yang ada di dinding. 2 jam lagi ia bisa pulang ke rumah.

Kadang Chenle berharap ibu peri akan datang dalam hidupnya, mengubah semua ini menjadi lebih baik. Atau mungkin seseorang akan datang dan hidupnya akan berubah 180 derajat seperti di drama korea.

Namun ini hidup, ini kenyataan. Berbeda dengan fiksi dan khayalan. Hidup ini kejam dan tidak adil. Tidak seperti fiksi yang semua terlihat gampang bagi sang pemeran utama.

"Pesanan nomor 12!"

Chenle tersentak dari lamunannya dan mengambil makanan untuk disajikan. 

"Ini pesananmu." ucapnya sambil memasang senyum palsu yang manis. 

"Senyummu manis. Ini untukmu." ucap lelaki berusia 40 tahun itu sambil memberikan uang tip. 

Chenle tersenyum kecil dan mengucapkan terima kasih lalu beranjak pergi secepat mungkin dari om menyeramkan itu. Tidak jarang ia digoda tante girang atau om-om seperti mereka. Namun hal baiknya dari mereka, ia bisa mendapat tip tambahan. Setidaknya penderitaannya ada bayarannya. 

"Pesanan nomor 15!" 

"Baik!"

Chenle mengambil makanan agar disajikan. Matanya melirik rekan kerjanya yang sibuk berdandan di balik kasir. Ia memutar bola matanya, perempuan-perempuan itu. Tidak niat bekerja. 


"HAHAHA!"


"Insung hati-hati!" 


Chenle menatap anak kecil yang kini berlari ke arahnya dan menubruknya. Mengakibatkan nampan dan piring berisi makanan itu jatuh. Namun dengan cepat ia melindungi tubuh anak itu agar tidak kejatuhan piring itu. 


PRANG!


Ya tuhan, kenapa ia harus terkena pecahan beling lagi? Apa hari ini ia memang harus terus menjatuhkan barang pecah belah seperti ini? 

"INSUNG!"

Teriakan dan suara pecahan itu mengalihkan atensi seluruh orang di cafe itu. Ibu anak itu menarik anaknya dari Chenle dan mengecek kondisinya. "Kau tidak apa-apa kan? Tidak ada yang terluka kan?" tanyanya cepat. Setelah mendapat jawaban bahwa ia tidak apa-apa, ibu itu langsung menatap Chenle marah.

"Bagaimana sih? Kalau berjalan liat-liat dong! Anak saya bisa-bisa terkena pecahan piring itu! Apa kau mau bertanggung jawab?!"

Chenle melotot. Apa ibu ini serius menyalahkan dia? Anak kecil inilah yang menabraknya!

"Dengan segala hormat, maaf, tapi anak anda yang menabrak saya dulu!"

"Apa? Kau menyalahkan anak saya? Laki-laki macam apa kau?!"

"Aku tidak menyalahkan. Itu fakta. Dia berlari di cafe ini dan menabrak saya dan beruntung saya melindungi dia dari pecahan itu." ucap Chenle. 

"KAU—"


"Ada apa ini?"


Chenle dan ibu itu menoleh melihat manager cafe keluar dari ruangan. Si ibu tersenyum penuh kemenangan dan menunjuk Chenle. "Dia menjatuhkan makanannya dan masih menyalahkan anak saya. Tolong pecat saja dia." 

Chenle memutar bola matanya. Ingin sekali ia jambak rambut ibu ini.

"Maafkan saya. Akan saya ganti kerugiannya jika ada. Chenle, ayo ikut saya ke dalam." Ucap manager cafe dan pada akhirnya Chenle mengikutinya dengan pasrah. 

Mereka masuk ke dalam ruangan manager. Chenle duduk di sofa lalu menunduk.

"Lagi? Sudah berapa kali kau menyebabkan masalah disini?!"

Ia memang sudah sering membuat masalah. Tidak murni kesalahannya, terkadang karena kelakuan rekan kerjanya yang menyebalkan, karena pelanggan yang menyebalkan, dan hal-hal lain yang menyebalkan. 

"Maafkan saya."

"Apa kau tau berapa kerugian yang harus kubayar setiap kau berbuat kesalahan?! Kalau begini caranya kita bisa bangkrut hanya karena kau!" 

Manager itu menatap Chenle kesal. "Kau dipecat." 

Chenle mendongak kaget. "A..apa?"

"Kau dipecat. Pergilah. Kau benar-benar tidak berguna dan menyusahkan. Apa sih yang orangtuamu ajarkan padamu?" 

Lelaki itu menatap manager itu dengan terluka. Ia tau ia memang tidak berguna tapi membawa-bawa orang tuanya? Itu benar-benar diluar batas. 

Dengan marah, ia berdiri dan melempar celemek yang ia pakai. "Ya, baiklah. Saya memang tidak berguna. Lagipula untuk apa aku bekerja disini? Disini tempat kerja yang payah." 

Chenle pergi meninggalkan ruang manager itu dan mengganti bajunya. Lalu pergi tanpa menengok tempat itu lagi. 



***


Alarm berbunyi. 

Chenle membuka matanya dan bangkit dari posisi tidurnya yang tidak enak. Kakinya menggantung semalaman sehingga sekarang terasa sangat pegal. Kemarin pun ia tidak makan malam karena terlalu lelah dengan kejadian kemarin. 

Ia mengganti baju seragamnya yang dari kemarin ia pakai dan masuk ke kamar mandi. Chenle menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya yang kurus sehingga rahangnya terlihat menonjol, kantung matanya yang semakin menghitamm serta wajahnya yang semakin pucat. Kulitnya sudah pucat dan sekarang bertambah pucat. Ia benar-benar terlihat seperti mayat hidup. 

Menggelengkan kepalanya, ia bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. 

Semoga saja hari ini tidak seburuk kemarin. 




Chenle keluar dari kamar mandi lalu mengenakan seragam yang sudah terlipat rapi di lemarinya. Menata buku-bukunya sesuai pelajaran hari ini, lalu menyisir rambutnya agar rapi. Ia keluar kamar dan membuka kulkasnya yang kosong. Hanya ada 1 telur tersisa. Itu lumayan. Pernah kulkasnya sangat kosong. 

Akhirnya ia menggoreng nasi dengan telur. Sederhana tapi baginya itu sudah enak. Setelah selesai menggoreng, ia duduk di meja makan sendirian sambil menyantap makanannya. 

Suasana sunyi. Tidak ada orang yang ada disana. 

Tidak ada yang menyiapkan sarapan ataupun yang mengucapkan selamat pagi padanya. 

Tidak ada yang memberinya ciuman selamat pagi dan mengantarnya ke sekolah. 


Dia sendiri, di dunia yang gelap ini. 



To Be Continued

abandon.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang